PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN ANTAR KECAMATAN DI KABUPATEN BANYUMAS, 1993-2000
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain upaya menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, pembangunan harus pula berupaya untuk menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran atau upaya untuk menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000:24).
Arsyad (1999:108) menyatakan pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah Daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara Pemerintah Daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antarpenduduk, antardaerah dan antarsektor. Akan tetapi pada kenyataannya bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selamanya diikuti pemerataan secara memadai.
Di negara-negara sedang berkembang, perhatian utama terfokus pada dilema komplek antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sulit diwujudkan bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan Gross National Product (GNP) yang tinggi dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang
tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Namun yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana cara memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa yang melaksanakan dan berhak menikmati hasil-hasilnya. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan/kesenjangan pendapatan kini merupakan masalah pokok dalam pembangunan dan sasaran utama kebijakan pembangunan di banyak negara, (Todaro, 2000 : 177).
Hal tersebut di atas selalu terjadi karena pembangunan, dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu berlangsung sistemik. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena kurangnya sumber-sumber yang dimiliki, adanya kecenderungan peranan modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang telah memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, juga tenaga kerja yang trampil di samping itu adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari Pemerintah Pusat kepada daerah. Jadi jelas bahwa pembangunan ekonomi akan membawa (inherent) ketimpangan regional apabila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh dan hati-hati, sehingga untuk menghindari hal tersebut, strategi yang diambil adalah dengan perencanaan pembangunan (Tim P4N-UGM dan BAPPEDA Tingkat I Jawa Tengah, 1997 :1-2).
Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa. Pembangunan ekonomi seringkali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil per kapita, selain itu juga untuk menaikkan pendapatan riil nasional dan produktivitas , (Suparmoko, 1993 : 14).
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) berkaitan dengan peningkatan dalam produksi barang dan jasa, yang diukur dengan kenaikkan GNB atau GDB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Secara makro, keadaan pertumbuhan ekonomi suatu daerah lazimnya ditunjukkan oleh peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) walaupun mengandung kelemahan, namun sampai sekarang indikator ini masih tetap dilakukan untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan perkembangan dari tahun ke tahun.
Pemerintah Daerah di Indonesia telah mengalami perubahan seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dengan mendekatkan pembuatan keputusan ke daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur urusan pembangunan ekonominya sendiri. Pemberlakuan otonomi daerah juga berarti Pemerintah Daerah harus memiliki rencana ekonomi daerah yang baik untuk menyediakan kesejahteraan bagi penduduknya. Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, akan membawa angin segar bagi daerah untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi ekonomi secara mandiri sehingga ketimpangan pendapatan antarpenduduk, antardaerah dan antarsektor secara bertahap dapat diperkecil.
Dari Studi mengenai wilayah Jawa Tengah yang dilakukan oleh Tim P4N – UGM yang bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Jawa Tengah pada evaluasi paruh waktu Pelita VI menyatakan bahwa Kabupaten Banyumas menurut tipologi Klassen termasuk kabupaten yang masih tertinggal atau masuk kuadran IV, yaitu pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonominya masih di bawah dari pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyumas sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang diukur dengan produk domestik regional bruto (PDRB) selama lima tahun (1996–2000) mengalami fluktuasi, terlebih pada tahun 1998 terjadi penurunan PDRB akibat krisis ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 1996 lebih 4 %, pada tahun 1998 turun menjadi minus 6,8 % walaupun pada tahun 2000 perekonomian sudah tumbuh positif 4,03 % atas dasar harga konstan tahun 1993, hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1
Pertumbuhan PDRB Atas Harga Konstan 1993
Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Banyumas,1996–2000
Tahun | Jawa Tengah | Banyumas | ||
PDRB (000.000,00) | Pertumbuhan (%) | PDRB (000.,00) | Pertumbuhan (%) | |
1996 | 41.862.203,72 | 7,3 | 1.018.612.908 | 4,26 |
1997 | 43.129.838,90 | 3,01 | 1.055.339.404 | 3,61 |
1998 | 38.065.273,35 | -11,74 | 983.564.125 | -6,80 |
1999 | 39.394.513,74 | 3,49 | 988.804.675 | 0,53 |
2000 | 40.932.538,43 | 3,90 | 1.028.604.674 | 4,03 |
Rata-rata | 1,192 | Rata-rata | 1,126 |
Sumber : 1. BPS, PDRB Propinsi Jawa Tengah, beberapa terbitan
2. BPS, PDRB Kabupaten Banyumas, beberapa terbitan
Pertumbuhan negatif yang terjadi di Kabupaten Banyumas maupun di Propinsi Jawa Tengah merupakan dampak dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Dampak krisis tersebut lebih besar melanda Propinsi Jawa Tengah dari pada di Kabupaten Banyumas hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan negatif yang lebih besar dari pada di Kabupaten Banyumas, di mana Propinsi Jawa Tengah terjadi pertumbuhan -11,74 sedangkan di Kabupaten Banyumas hanya – 6,8
Perbedaan tingkat pembangunan akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antardaerah yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan regional antardaerah semakin besar. Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka diduga terjadi pertumbuhan PDRB dan pelaksanaan pembangunan yang tidak merata tiap kecamatan sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing kecamatan. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Daerah dalam mengambil kebijakan dalam pengalokasian dana pembangunan kepada kecamatan sesuai kondisi alamnya yang dapat dikembangkan.
1.2 Keaslian Penelitian
Studi tentang pertumbuhan perekonomian dan ketimpangan telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu dengan menggunakan pendekatan alat analisis yang berbeda-beda. Sjafrizal (1997) dalam penelitiannya di wilayah Indonesia Bagian Barat, berkesimpulan secara relatif, perkembangan pembangunan regional di wilayah Indonesia Bagian Barat dalam periode 1987–1995 ternyata lebih baik dibandingkan dengan keadaan rata-rata seluruh Indonesia, baik dari segi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan pembangunan antar wilayah.
Wei dan Fan (2000) yang melakukan penelitian tentang ketimpangan regional di Propinsi Jiangsu Republik Rakyat China, menunjukkan bahwa pertumbuhan yang cepat di kota-kota menyumbang peningkatan ketimpangan antardaerah (kabupaten). Sejak bergulirnya reformasi, pertumbuhan bagian selatan (Sunan) bahkan lebih cepat dan memperlebar ketimpangan dibandingkan bagian tengah (Suzhong) dan utara (Subei).
Ying (2000) mengadakan penelitian di Cina pada periode 1978-1994 dengan menggunakan alat analisis Entropi Theil. Dari hasil penelitian tersebut bahwa ketimpangan yang terjadi di Cina dari tahun 1978 mulai menurun yaitu dari 0.069 menjadi 0.047 pada tahun 1994.
Ferdinandus (1998) yang berlokasi di Nusa Tenggara Timur, laju pertumbuhan ekonomi regional di Nusa Tenggara Timur selama kurun waktu 11 tahun (1985–1995) rata-rata 6,36 % per tahun. Pertumbuhan ekonomi regional di Nusa Tenggara Timur tersebut lebih rendah dari pada rata-rata laju pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 6,43 % per tahun.
Esmara (1975) melakukan analisis dengan ketimpangan/kesenjangan antar daerah di Indonesia menggunakan koefisien disparitas Williamson dari PDRB per kapita. Di luar propinsi penghasil migas (Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah), secara umum ketimpangan antardaerah jauh lebih rendah dibandingkan jika daerah tidak memasukkan migas. Namun selama periode 1968-1972 baik dengan migas maupun tanpa migas, ketimpangan antardaerah cenderung meningkat dari 0,340 meningkat menjadi 0,522.
Setyarini (1999) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan/kesenjangan pembangunan ekonomi antar daerah di Propinsi Jawa Tengah periode 1983–1995, dengan variabel produk domestik regional bruto (PDRB) tanpa migas memberi kesimpulan bahwa ketimpangan/kesenjangan pembangunan di Jawa Tengah semakin melebar dan trendnya meningkat meskipun skalanya relatif kecil. Di samping itu juga menyatakan bahwa variabel persentasi sektor industri terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) berpengaruh memperlebar kesenjangan, sedangkan pengeluaran pemerintah akan memperkecil ketimpangan/kesenjangan.
Penelitian ini menganalisis pola dan struktur pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antarkecamatan di Kabupaten Banyumas dengan menggunakan alat analisis tipologi Klassen, indeks Williamson dan indeks entropi Theil,trend dan korelasi Pearson. Perbedaan yang lain adalah mengenai lokasi, obyek dan periode pengamatan. Penelitian ini berlokasi di wilayah Kabupaten Banyumas, menggunakan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita berdasarkan harga konstan 1993 sebagai dasar perhitungan pertumbuhan, jumlah penduduk tiap kecamatan dan penduduk Kabupaten Banyumas, untuk menganalisis ketimpangan antarkecamatan dalam periode 8 tahun, mulai tahun 1993–2000.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang dikemukakan maka tujuan penelitian ini adalah:
- untuk mengidentifikasi pola dan struktur pertumbuhan ekonomi kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Banyumas;
- untuk menganalisis ketimpangan antarkecamatan yang terjadi di Kabupaten Banyumas;
- untuk mengetahui hipotesis Kuznet tentang U terbalik di Kabupaten Banyumas.
1.4 Manfaat yang Diharapkan
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
- sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam membuat kebijakan (perencanaan) pembangunan selanjutnya;
- bagi ilmu pengetahuan, dari hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya sumber-sumber pustaka untuk kepentingan penelitian serupa selanjutnya;
- bagi penulis sendiri, penelitian ini sangat bermanfaat dalam memperluas pengetahuan dan wawasan tentang pertumbuhan dan ketimpangan.
0 komentar:
Posting Komentar