SIMULASI ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SAMBAS TAHUN 2002 BERDASARKAN KEPMENDAGRI NOMOR 29 TAHUN 2002

BAB  I


PENGANTAR


1.1   Latar  Belakang


Perubahan kebijakan pengelolaan keuangan daerah mempunyai  sasaran agar  pengeluaran  pemerintah dapat  teridentifikasi dengan jelas dan terukur mengenai sesuatu yang ingin dicapai dalam satu tahun anggaran. Sasaran yang ingin dicapai tersebut dituangkan dalam APBD  yang memuat rencana keuangan yang diperoleh dan digunakan Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.


Sebagai instrumen kebijakan Anggaran Daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivtias Pemerintah Daerah. Pengembangan kapabilitas diartikan sebagai upaya untuk memperbaiki kemampuan Pemerintah Daerah menjalankan fungsi dan perannya secara efisien, sedangkan peningkatan efektivitas diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan kapabilitasnya dengan tuntutan dan kebutuhan publik. Dalam kaitan ini, Anggaran Daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran dimasa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja  (Mardiasmo, 2002:177).


Dengan perubahan ini, diharapkan penentuan strategi, prioritas serta kebijakan alokasi anggaran akan lebih berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Mekanisme perencanaan pembangunan dan juga karenanya perencanaan anggaran daerah harus merupakan proses yang mengakar (bottom-up planning). Dengan sistem bottom-up planning ini diharapkan berbagai jenis barang dan jasa publik yang disediakan Pemerintah Daerah sejalan dengan preferensi dan prioritas di daerah yang bersangkutan.


            APBD mempunyai tiga kegunaan pokok yaitu sebagai perencanaan  kerja, sebagai alat pengkoordinasian kerja serta sebagai alat pengawasan kerja. Dengan melihat kegunaan pokok dari anggaran tersebut maka APBD  dapat berfungsi sebagai: pertama fungsi perencanaan, dalam perencanaan APBD adalah penentuan tujuan yang akan dicapai sesuai dengan kebijaksanaan yang telah disepakati misalnya target penerimaan yang akan dicapai, jumlah investasi yang akan ditambah, rencana pengeluaran yang akan dibiayai. Kedua, fungsi koordinasi anggaran berfungsi sebagai alat mengkoordinasikan rencana dan tindakan berbagai unit atau segmen yang ada dalam organisasi, agar dapat bekerja secara selaras ke arah tercapainya tujuan yang diharapkan. Ketiga,  fungsi komunikasi jika yang dikehendaki dapat berfungsi secara efisien maka saluran komunikasi terhadap berbagai unit dalam penyampaian informasi yang berhubungan dengan tujuan, strategi, kebijaksanaan, pelaksanaan dan penyimpangan yang timbul dapat teratasi. Keempat, fungsi motivasi anggaran berfungsi pula sebagai alat untuk memotivasi para pelaksana dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan untuk mencapai tujuan. Kelima, fungsi pengendalian dan evaluasi, anggaran dapat berfungsi sebagai alat-alat pengendalian yang pada dasarnya dapat membandingkan antara rencana dengan pelaksanaan sehingga dapat ditentukan penyimpangan yang timbul dan penyimpangan tersebut sebagai dasar evaluasi atau penilaian prestasi dan sekaligus merupakan umpan balik pada masa yang akan datang  (Munandar, 1999:10).


            Fungsi perencanaan dalam  APBD  seperti dikemukakan di atas khususnya dari sisi belanja hendaknya dapat disusun rencana kegiatan yang  mencerminkan kebutuhan suatu unit organisasi disertai dengan perkiraan biaya yang rasional dengan mempertimbangkan alokasi dana yang tersedia selama satu tahun anggaran. Artinya rencana yang dibuat diharapkan dapat dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan.  Sedangkan fungsi koordinasi  dapat dilihat dari adanya pembagian wewenang yang jelas untuk melaksanakan suatu pekerjaan, sehingga dapat dihindari  tumpang tindih kegiatan yang diselenggarakan oleh suatu unit kerja dengan organisasi lainnya di daerah. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan penggunaan dana pada kegiatan yang sama. Fungsi komunikasi dimaksudkan agar masyarakat  mengetahui  rencana kegiatan yang tertuang dalam APBD, baik menyangkut pembebanan biaya kepada  masyarakat maupun  besarnya rencana pengeluaran pemerintah.  Rencana pengeluaran pemerintah dapat dikomunikasikan melalui wakil rakyat yang ada di DPRD maupun pada saat kegiatan berlangsung seperti pemasangan papan informasi pelaksanaan pekerjaan  dilokasi kegiatan.


Fungsi motivasi ditujukan kepada aparatur yang melaksanakan pekerjaan, artinya alokasi biaya yang disediakan dapat mendorong aparatur untuk bekerja lebih optimal  dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga pada akhir tahun anggaran  beban pekerjaan yang ada dalam suatu unit kerja mampu diselesaikan. Fungsi pengendalian dan evaluasi  untuk menilai  apakah  rencana yang ditetapkan awal tahun dalam APBD sepenuhnya  dapat dikerjakan atau  terdapat kendala yang menyebabkan gagalnya suatu kegiatan.


           Dalam rangka menyiapkan  rancangan APBD Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggung Jawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.  Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan dana masyarakat yang selama ini dinilai cenderung lebih besar untuk belanja aparatur dibandingkan dengan belanja pelayanan publik.  Penjelasan Kepmendagri tersebut mengisyaratkan semua pengeluaran daerah  dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD, sehingga APBD menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian,  pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.


           Kepmendagri tersebut memfokuskan penyusunan APBD  berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau out put dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan . Secara jelas penyusunan APBD bertujuan agar penyediaan anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik dan memenuhi prinsip tranparansi, akuntabilitas dan value for money. Untuk mendukung hal tersebut, metode yang selama ini digunakan mempunyai beberapa kelemahan dalam menentukan alokasi dana untuk tiap kegiatan yaitu terlalu dominannya peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, yang seringkali mematikan inisiatif dan prakarsa daerah. Contoh klasik fenomena tersebut adalah penyusunan Anggaran daerah yang bersifat  line-item dan incrementalism (Mardiasmo dan Jaya,1999:385).


            Perubahan kebijakan pengelolaan keuangan daerah menuntut penguasaan teknis penyusunan  berbagai strategi, alokasi dan prioritas pengeluaran sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dan pengeluaran daerah  harus mampu memberikan porsi yang lebih besar belanja pelayanan publik dibandingkan  porsi  belanja aparatur daerah.  Porsi belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik pada kebijakan lama dinilai lebih dominan pada belanja aparatur, keadaan ini menimbulkan  kesan bahwa anggaran menjadi sumber pemborosan dan kebocoran yang hanya menguntungkan sebagian orang. Sedangkan belanja pelayanan publik yang berasal dari usulan dan aspirasi  masyarakat meskipun disediakan dana tetapi relatif dengan porsi yang lebih kecil.


Berdasarkan hasil pengamatan dari pengalaman penulis terlibat secara langsung dalam penyusunan anggaran daerah di Kabupaten Sambas, penyusunan APBD terbagi ke dalam Belanja  Rutin dan Belanja Pembangunan. Belanja rutin  diselenggarakan oleh Sub Bagian Anggaran di Bagian Keuangan Sekretariat Daerah, sedangkan Belanja Pembangunan ditangani oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Kedua unit kerja ini secara terpisah mengalokasikan biaya untuk satuan kerja yang ada di daerah, hasil kerja dalam bentuk draf rancangan APBD selanjutnya dibahas oleh Panitia Anggaran Eksekutif.  Di dalam pembahasan draf rancangan APBD tidak jarang ditemukan pengalokasian dana yang saling tumpang tindih, seperti  belanja pengadaan obat-obat  untuk rumah sakit selain dianggarkan dalam belanja rutin tetapi masih juga dianggarkan dalam anggaran belanja pembangunan. Kasus lainnya seperti pengadaan sarana dan prasarana kegiatan belajar untuk sekolah dasar  dianggarkan dalam belanja rutin juga disediakan pula dana dalam anggaran belanja pembangunan.  Keadaan  ini mengakibatkan  terjadinya kebocoran  penggunaan dana dan tidak efisien pelaksanaan pekerjaan dan proyek di lapangan.


Masalah penting lainnya adalah penentuan besarnya alokasi dana  belanja rutin dan belanja pembangunan. Dalam penentuan alokasi belanja rutin dilakukan dengan menggunakan pendekatan incremental dan line-item. Pendekatan incremental menggunakan data realisasi tahun sebelumnya sebagai dasar dalam menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan dengan jumlah  atau persentase tertentu tanpa alasan lain yang lebih rasional. Dalam penentuan alokasi belanja pembangunan usulan program/proyek meskipun telah mengikuti prosedur penyusunan proyek namun masih dijumpai adanya kejanggalan mengenai nilai  biaya kegiatan. Dalam hal ini diperlukan kejelian dari tim asistensi Lembar Kerja (Dipda) untuk mengoreksi dan mengarahkan penggunaan  dana agar  lebih rasional dan  menyentuh kepentingan publik.


Lebih riskan lagi dalam pelaksanaan proyek  terjadi penurunan kualitas pembangunan akibat perilaku dan sikap mental aparatur yang memanfaatkan peluang tersedianya dana dengan cara mengurangi material dan biaya riil suatu proyek, sehingga  memperburuk pelayanan kepada publik. Secara jelas dapat dinilai bahwa manajemen pengeluaran daerah belum mampu berperan secara optimal dalam mendorong laju pembangunan di daerah kabupaten/kota. Di samping itu masih banyak dijumpai keluhan  masyarakat mengenai pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas masyarakat serta  pengalokasian anggaran yang kurang mencerminkan aspek ekonomis, efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan anggaran belanja daerah. Oleh karena itu, anggaran daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi fiskal akan menduduki posisi yang sangat penting dalam proses pembangunan di daerah.


Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan  bahwa  pengalokasian anggaran belanja pelayanan publik perlu dioptimalkan karena berkaitan dengan upaya pemerintah daerah  memenuhi aspirasi dan tuntutan masyarakat, yang mengharapkan adanya peningkatan  pelayanan kepada publik.  Maksudnya dalam pengalokasian  anggaran belanja pelayanan publik lebih besar dibandingkan dengan belanja aparatur daerah.


1.2   Keaslian penelitian


Penelitian yang berkaitan dengan Belanja daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan diIndonesiamaupun di luar negeri. Sebagai pembanding dikemukakan beberapa hasil penelitian berikut ini.


Ma (1997) yang membahas penentuan kebutuhan fiskal daerah lebih bersifat absolut dan lebih mikro.Adadua tahapan yang dilakukan untuk menentukan kebutuhan fiskal daerah, yaitu tahap pertama klasifikasi atau kategorisasi pengeluaran daerah dan tahap kedua perhitungan kebutuhan pengeluaran untuk setiap kategori yang umum digunakan seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, kesejahteraan sosial, kebakaran, konservasi lingkungan, dan jasa lainnya. Pembagian seperti ini tentu saja tergantung pada desentralisasi kewenangan yang berlaku serta ketersediaan data.


Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999  tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari kedua Undang-undang  tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan wewenang dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.


Widjaya  (2002:42)  menyatakan penerapan pembagian dana  perimbangan meliputi bagi hasil atas penerimaan PBB, BPHTB dan SDA, DAU dan DAK akan menimbulkan dampak yang sangat signifikan baik dari segi jumlah dana maupun dari segi mekanisme pengalokasian dan pertanggungjawaban dana yang dialokasikan  ke daerah. Pergeseran penggunaan dana yang lebih besar untuk daerah, pada umumnya akan berdampak pada peningkatan peranan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan fungsi pemerintah secara umum, utamanya yang berkaitan dengan fungsi alokasi, kecuali atas dana yang bersumber dari DAK, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan penuh atas pengalokasian dan penggunaan dana perimbangan tersebut. Hal ini tentu saja membuka peluang bagi Pemerintah Daerah untuk meningkatkan efektivitas pencapaian kesejahteraan masyarakat dan pembangunan. Luasnya kewenangan yang dimiliki dalam pengalokasian dana akan selalu dapat disesuaikan dengan prioritas dan preferensi masing-masing daerah. Dalam hal ini pengeluaran yang bukan merupakan kebutuhan utama atau kurang bermanfaat bagi masyarakat secara umum dapat dihindari.


Penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti disebutkan di atas, apabila dibandingkan dengan penelitian ini memiliki kesamaan antara lain permasalahan yang akan dibahas serta beberapa alat analisis yang relevan untuk digunakan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu mencoba untuk melakukan simulasi terhadap anggaran belanja tahun 2002 dalam APBD Kabupaten Sambas, dengan menggunakan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 yang  akan diberlakukan diseluruh Indonesia tahun 2003.


1.3  Tujuan dan  Manfaat  Penelitian


1.3.1   Tujuan  Penelitian


Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui proporsi elemen–elemen  belanja yaitu:




  1. untuk mengetahui proporsi belanja aparatur daerah, bagian belanja aparatur daerah berupa: Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, serta Belanja Modal/Pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik);

  2. untuk mengetahui proporsi belanja pelayanan publik, bagian belanja pelayanan publik berupa: Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan,  Belanja Modal/Pembangunan, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, Belanja Tidak Tersangka  yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya  secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik);

  3. belanja adminstrasi umum yaitu belanja tidak langsung yang dialokasikan pada kegiatan non investasi terhadap total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jenis belanja yang termasuk kelompok ini adalah: (1) Belanja Pegawai/Personalia, (2) Belanja Barang dan Jasa, (3) Belanja Perjalanan Dinas, dan (4) Belanja Pemeliharaan;

  4. untuk mengetahui prosporsi belanja operasi dan pemeliharaan yaitu belanja langsung yang digunakan membiayai kegiatan non investasi terhadap  total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jenis belanja yang termasuk kelompok ini adalah: (1) Belanja Pegawai/ Personalia, (2) Belanja Barang dan Jasa, (3) Belanja Perjalanan Dinas, dan (4) Belanja Pemeliharaan;

  5. mengetahui proporsi belanja modal/pembangunan yaitu belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi terhadap total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);

  6. untuk mengetahui proporsi belanja bagi hasil dan bantuan keuangan terhadap total APBD;

  7. untuk mengetahui proporsi belanja tidak tersangka terhadap total  APBD.


1.3.2     Manfaat  Penelitian


Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, maka penelitian ini akan memberikan faedah atau manfaat sebagai berikut:




  1. sebagai sumber masukan berupa sumbang saran atau pemikiran baru  bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sambas dalam mengambil keputusan mengenai belanja daerah;

  2. memberikan tambahan ilmu mengenai pengelolaan keuangan daerah, terutama dari proses dan pengalokasian belanjanya;

  3. sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya, khususnya di Kabupaten Sambas.

EVALUASI SISA LEBIH PERHITUNGAN ANGGARAN PADA PERHITUNGAN APBD KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN TAHUN ANGGARAN 1997/1998-2001

I.   PENGANTAR


1.1    Latar Belakang


Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, peranan Pemerintah terutama pemerintah daerah dalam era reformasi dan otonomi ini menjadi semakin penting. Otonomi yang dilaksanakan akan berdampak pada semakin besarnya wewenang dan  tanggung jawab yang diberikan kepada daerah. Salah satu wewenang dan tanggung jawab tersebut adalah dalam mengelola pembangunan dan keuangan di daerahnya masing-masing.


Dengan wewenang dan tanggung jawab demikian, maka pemerintah daerah semakin dituntut untuk mewujudkan suatu bentuk akuntabilitas dan transparansi publik yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat. Salah satu wujud pertanggungjawaban dan transparansi dalam pengelolaan pembanguan dan keuangan daerah adalah diwajibkannya Kepala Daerah untuk mempertanggungjawabkan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya pada setiap akhir tahun anggaran.


Bentuk laporan pertanggungjawaban keuangan daerah yang disusun oleh Kepala Daerah terdiri dari  Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah (PP No. 105 Tahun 2000  Pasal 38). Dalam rangka pertanggungjawaban keuangan inilah tahap perhitungan APBD sebagai bagian dari siklus anggaran merupakan tahapan yang paling strategis. Dikatakan strategis karena pada tahapan ini akan terlihat besarnya realisasi penerimaan dan pengeluaran yang telah dicantumkan dalam APBD tahun anggaran berjalan, sehingga dari sisi keuangan daerah dapat melihat apakah kegiatan yang telah direncanakan pada tahap penyusunan APBD telah dilaksanakan sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan.


Sebagai salah satu laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah, perhitungan anggaran daerah (perhitungan APBD) ini juga merupakan salah satu alat analisis laporan keuangan pemerintah. Analisis atas laporan keuangan ini akan memberikan informasi mengenai laporan surplus atau defisit antara pendapatan dan belanja yang mencerminkan hasil-hasil yang dicapai selama periode tertentu (meliputi satu tahun). Dari perhitungan tersebut akan terlihat apakah penerimaan yang telah dianggarkan pada tahap perencanaan dalam bentuk penyusunan anggaran dapat terealisir. Pada sisi pengeluaran juga akan terlihat apakah pengeluaran atas dana yang telah dianggarkan pada belanja rutin maupun belanja pembangunan telah dilaksanakan secara efektif.


Dari hasil perhitungan tersebut akan terlihat adanya Sisa anggaran yang merupakan Sisa Lebih Perhitungan anggaran pada tahun yang lalu dan merupakan penghubung antara APBD tahun anggaran yang lalu dengan dengan APBD tahun anggaran yang akan datang. Hal ini terlihat pada saat berakhirnya APBD tahun anggaran yang lalu (31 Maret atau 31 Desember) dan pada saat dimulainya tahun anggaran yang baru (1 April atau 1 Januari). Sebelum dilaksanakannya kegiatan pada tahun anggaran yang baru terutama pada pelaksanaan pendapatan daerah, di dalam kas daerah telah tersedia uang kas/tunai yang secara langsung merupakan bagian dari Sisa Lebih Perhitungan anggaran tahun lalu (Mamesah, 1995:142).


Sisa Lebih Perhitungan anggaran pada tahun anggaran yang lalu selanjutnya akan dimasukkan pada APBD tahun anggaran berikutnya sebagai saldo awal. Sisa ini akan dimasukkan pada bagian pertama di sisi pendapatan berupa bagian Sisa Lebih Perhitungan anggaran tahun yang lalu. Kondisi ini terjadi pula pada APBD Kabupaten Bantaeng, di mana Sisa Lebih Perhitungan anggaran tahun lalu terutama untuk Sisa kas, dimasukkan pada APBD tahun anggaran berikutnya seperti terlihat pada lampiran 2.


Sisa Lebih Perhitungan anggaran yang merupakan Sisa anggaran pada tahun anggaran yang lalu dapat dimasukkan sebagai salah satu komponen Pendapatan yang dianggarkan pada tahun anggaran berikutnya. Sisa ini dimasukkan pada sisi penerimaan, yang akan menambah jumlah penerimaan pada tahun anggaran berikutnya.


Dalam rangka pertanggungjawaban publik dan transparansi, maka Sisa Lebih Perhitungan anggaran tahun yang lalu merupakan salah satu sumber penerimaan pada tahun anggaran berikutnya. Sisa Lebih Perhitungan anggaran tersebut dimasukkan pada pos Sisa Lebih Perhitungan anggaran tahun yang lalu di sisi penerimaan. Dengan melihat selalu terjadinya Sisa Lebih Perhitungan anggaran tahun lalu di Kabupaten Bantaeng selama tahun anggaran 1997/1998 sampai tahun anggaran 2001, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya Sisa Lebih Perhitungan anggaran pada APBD Kabupaten Bantaeng.


1.2    Keaslian Penelitian


Penelitian ini merupakan pengembangan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terdahulu, baik yang dilakukan di Indonesia maupun di manca negara. Sebagai pembanding perlu dikemukakan hasil penelitian sebelumnya yang mengkaji topik permasalahan yang hampir sama dengan penelitian ini, penelitian-penelitian tersebut seperti dikemukakan berikut ini.


Januarti (1999) dalam penelitiannya menganalisis peranan dana di SDO yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas menganalisis perkembangan dan mengukur pertumbuhan SDO setiap tahun serta alokasi penggunaan SDO dalam pembiayaan rutin di Kabupaten Sambas yang meliputi pembayaran gaji pegawai dan non pegawai. Selain itu dalam penelitian tersebut diukur pula pergeseran (shift) dan kontribusi (share) SDO terhadap PDRB Kabupaten Sambas.


Jasagung (1999) dalam penelitiannya menganalisis perhitungan APBD menyimpulkan antara lain bahwa Sisa Lebih Perhitungan anggaran pada perhitungan APBD Kabupaten Belitung. Didalam penelitian tesebut terdapat tiga jenis Sisa Lebih Perhitungan anggaran yaitu : (1) Sisa akibat efisiensi belanja rutin, (2) Sisa akibat sistem pembukuan, dan (3) Sisa anggaran pembangunan (SIAP-Mati)


Mardiasmo dkk ( 2000 ) menyimpulkan bahwa perencanaan anggaran dengan  paradigma  baru menekankan pada empat hal pokok. Adapun keempat hal tersebut ditekankan kepada : (1) perubahan pola dan pertanggungjawaban yang semula bersifat vertical accountability menjadi horizontal accountability, (2) perlunya dimiliki alat ukur kinerja (performance measurement) untuk mendukung kinerja, (3) pelaksanaan anggaran dilakukan desentralisasi wewenang dimulai dari tingkat kabupaten hingga ke level unit kerja, dan (4) adanya pusat pertanggungjawaban sebagai basis perencanaan dan pengendalian anggaran yang efisien dan efektif.


Penelitian-penelitian yang telah dilakukan seperti yang telah disebutkan di atas, apabila dibandingkan dengan penelitian ini terdapat beberapa kesamaan antara lain mengenai metodologi dan beberapa alat analisis yang dianggap relevan untuk digunakan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah mengenai topik yang diteliti, kalau dalam beberapa penelitian di atas meneliti alokasi dana SDO terhadap belanja rutin maupun belanja pembangunan, maka dalam penelitian ini topik yang akan diteliti adalah sebab-sebab dari Sisa Lebih Perhitungan anggaran tahun lalu dan komponen-komponen apa yang menyebabkan terjadinya Sisa Lebih Perhitungan anggaran.


1.3    Tujuan Dan Manfaat Penelitian


1.3.1       Tujuan penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :




  1. menentukan komponen-komponen yang menyebabkan terjadinya Sisa Lebih Perhitungan anggaran dari tahun anggaran 1997/1998 sampai tahun anggaran 2001;

  2. mengetahui kontribusi komponen-komponen tersebut terhadap Sisa Lebih Perhitungan anggaran;

  3. mengetahui Sisa kas yang dapat digunakan sebagai sumber Pendapatan untuk tahun anggaran berikutnya.


1.3.2       Manfaat penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :




  1. masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng dalam melaksanakan anggaran daerah, khususnya tingkat efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan yang telah dianggarkan, baik dari bagian pendapatan daerah maupun belanja daerah;

  2. membantu memperluas khasanah pengkajian masalah keuangan daerah,

  3. khususnya dalam penyusunan anggaran daerah dan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah yang menyangkut laporan perhitungan APBD dan Nota Perhitungan APBD sesuai dengan PP No. 105 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah;

  4. sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan menulis penentuan komponen-komponen penyebab terjadinya Sisa Lebih Perhitungan dan kontribusi komponen-komponen terhadap Sisa Lebih Perhitungan anggaran.

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MELAKUKAN PINJAMAN DAERAH DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang sudah dicanangkan sesuai Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999, permasalahan yang dihadapi daerah di seluruh Indonesia  adalah tingginya tingkat ketergantungan daerah pada bantuan pemerintah pusat. Menurut Kuncoro (1995 : 8), bahwa tingginya tingkat ketergantungan tersebut  dipengaruhi oleh realitas hubungan antara pusat dan daerah yang ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah, sehingga percepatan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur kurang berjalan dengan baik, yang dicerminkan dengan rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah dibandingkan  dengan  proporsi subsidi (grant) yang didrop oleh pusat.


Lebih lanjut Kuncoro (1995:12-14) mengatakan bahwa tingginya ketergantungan fiskal tersebut disebabkan karena :




  1. kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah;

  2. tingginya tingkat sentralisasi dalam bidang perpajakan;

  3. kendati jenis pajak cukup beragam, hanya sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan;

  4. alasan politis yang berkaitan dengan kekhawatiran timbulnya separatisme bila daerah memiliki sumber keuangan besar;

  5. kelemahan dalam pemberian subsidi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.


Kemampuan daerah menggali dana dengan kekuatan sendiri terdiri dari dana Pendapatan Asli Daerah dan pinjaman daerah. Kedua sumber pendapatan tersebut sangat erat hubungannya   sebab dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang diikuti dengan pengelolaan belanja rutin yang efisien dan efektif akan dapat meningkatkan kemampuan daerah menyediakan dana neto dalam rangka memperoleh pinjaman daerah. Sebab  penerimaan daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui sumbangan dan bantuan atau dana perimbangan masih tinggi, sehingga tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan dari pemerintah pusat tetap tinggi. Keadaan inilah yang membuat beberapa daerah di Indonesia, dengan sangat hati-hati menyikapi pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25  tahun 1999.


Pemerintah daerah dalam mengatasi tingkat ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah pusat  tersebut, dalam membiayai pembangunan propinsi dan kabupaten/kota salah satu alternatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melalui pinjaman. Pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dapat bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Sumber pinjaman dari luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau lebih dikenal dengan subsidiary loan agreement (SLA), kemudian diteruskan kepada pemerintah daerah, sedangkan pinjaman dalam negeri dilakukan melalui dana yang tersedia dalam Rekening Pembangunan Daerah (RPD) yang dikelola oleh Departemen Keuangan atau melalui pinjaman komersial dari bank-bank pemerintah maupun bank swasta.


Di dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan  bertanggungjawab. Salah satu bentuk kewenangan yang diberikan oleh pusat  adalah kewenangan dalam bidang keuangan khususnya kewenangan untuk memperoleh sumber pembiayaan bagi daerah yang nantinya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengatasi berbagai keterbatasan pembiayaan pembangunan, yaitu  kewenangan dalam melakukan pinjaman. Walaupun pinjaman daerah ini masih diatur pemerintah pusat, akan tetapi   setidaknya pinjaman tersebut merupakan alternatif sumber penerimaan daerah. Tiga faktor utama pinjaman daerah diatur/ dikendalikan oleh pusat  antara lain (Devas, dkk, 1989:222)  :




  1. pinjaman sektor pemerintah secara keseluruhan perlu dikendalikan berkaitan dengan kebijaksanaan moneter terutama untuk mengendalikan inflasi;

  2. untuk mencegah jangan sampai pemerintah daerah terjerumus dalam kesulitan keuangan, karena pinjaman digunakan untuk menutupi pengeluaran  rutin;

  3. pemerintah pusat ingin tetap mengendalikan pola pengeluaran penanaman modal pemerintah daerah.


Di dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tersebut  dijelaskan bahwa, pinjaman daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka otonomi daerah yang dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sedangkan pasal 11 menjelaskan bahwa :




  1. daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya;

  2. daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui pemerintah pusat;

  3. daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan asset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat;

  4. daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.


Peraturan Pemerintah Nomor 107 tentang pinjaman daerah yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 25 tahun 1999,  mengatur tata cara syarat, prosedur dan kemampuan pengembalian pinjaman yang dilakukan pemerintah daerah secara rinci termasuk cara perhitungannya, sehingga daerah dapat mengetahui kemampuan daerahnya dalam melakukan pinjaman.  Pinjaman daerah, yang dilakukan pemerintah daerah sebaiknya mempertimbangkan dan menyeleksi pinjaman tersebut berdasarkan manfaat, skala prioritas pembangunan dan tujuan dari pinjaman daerah, yang mengacu pada kemampuan keuangan daerah.  Mengingat proyek yang akan dibiayai melalui pinjaman daerah tersebut pada dasarnya merupakan investasi di bidang sarana publik berupa penambahan atau perbaikan/pengembangan infrastruktur sosial ekonomi yang sudah ada, maka penggunaan pinjaman tersebut harus diarahkan untuk mendanai proyek-proyek yang memberikan pendapatan, sehingga diharapkan pendapatan tersebut dapat digunakan untuk mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya.


Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dalam menghadapi desentralisasi fiskal, maka perlu mencari alternatif pembiayaan pembangunan dengan melakukan pinjaman daerah. Hal ini disebabkan karena Pendapatan Asli Daerah  Propinsi Kalimantan Timur hanya memberikan kontribusi yang kecil dibandingkan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dan Sumbangan dan Bantuan atau Dana Perimbangan (DAU), sehingga akan berdampak  bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat melalui dana perimbangan masih sangat besar.


Terbatasnya kemampuan daerah dalam membiayai belanjanya, terutama belanja investasi, karena dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah diprioritaskan untuk belanja rutin atau biaya operasional sehingga dapat dikatakan belanja pembangunan hanya menerima sisa dari belanja rutin, yang merupakan perioritas dan wajib untuk mendukung berjalannya pemerintahan sehari-hari (Jamaluddin,dkk,2002:4). Hal ini dapat dilihat dari tabel 1.1. yang menunjukkan gambaran Keuangan Propinsi Kalimantan Timur dari 1994/1995 sampai dengan 2001 sebagai berikut :











































































































































Tabel 1.1



 Proporsi Penerimaan Daerah Propinsi Kalimantan Timur



 1994/1995 -  2001



 ( persentase )


 


        

No



Uraian



Tahun  Anggaran



94/95



95/96



96/97



97/98



98/99



99/00



2000



2001



1


Sisa lebih perhitungan tahun lalu

17,00



17,36



11,58



11,45



2,89



5,10



7,43



4,97



2


Pendapatan Asli Daerah

24,00



23,98



24,79



30,83



17,63



13,70



17,31



10,76



3


Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak

29,73



30,46



34,56



24,11



49,48



44,26



34,97



70,96



4


Sumbangan dan Bantuan

29,26



28,19



29,07



33,62



(*)



(*)



(*)



(*)



5


Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah dan atau Instansi yang lebih tinggi

(#)



(#)



(#)



(#)



30,00



36,94



40,29



13,32




Jumlah

100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0


 Sumber : Biro Keuangan Kaltim, APBD Propinsi Kaltim, beberapa terbitan    
 (*)  = berubah pendapatan dari pemberian pemerintah dan atau instansi yang lebih tinggi.
 (#) = Sebelum perubahan     

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa proporsi Pendapatan Asli Daerah  (PAD) terhadap total  penerimaan daerah selama delapan tahun terakhir masih kecil dibanding dengan kontribusi penerimaan yang lain. Proporsii terkecil terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 10,76%, Secara nominal penerimaan dari PAD setiap tahunnya meningkat tetapi secara riil proporsinya menurun, penurunan tersebut dikarenakan adanya kenaikan pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak  sumber daya alam, yang ada di Propinsi Kalimanatan Timur, antara lain dari LNG, tambang emas, batu bara.


Dari tabel 1.1 juga menunjukkan bahwa penerimaan daerah terbesar tetap berasal dari pemerintah pusat, yaitu melalui komponen Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Hal ini disebabkan karena berlakunya Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Proporsi Sumbangan dan Bantuan merupakan penerimaan terbesar kedua setelah BHPBP.  Besarnya penerimaan daerah yang berasal dari sumber daya alam yang dimiliki oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur tersebut,  perlu diantisipasi dengan alternatif pembiayaan pembangunan seperti dengan pinjaman daerah. Hal ini perlu dilakukan sebagai pengganti sumber daya alam yang dimiliki Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur.


Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur masih mengandalkan penerimaan dari pusat, sehingga belum sepenuhnya mampu membiayai pembangunannya,  karena dana yang tersedia diprioritaskan untuk membiayai pengeluaran rutin atau biaya-biaya operasional. Untuk dapat membiayai pembangunannya Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur, di samping upaya–upaya peningkatan PAD perlu mencari alternatif pembiayaan pembangunan yaitu dengan melakukan pinjaman daerah. Maka dari itu perlu diketahui berapa kemampuan daerah Kalimantan Timur melalui perhitungan Debt  Service Coverage Ratio (DSCR) dan batas maksimum pinjaman yang bisa dilakukan, agar pengembalian pinjaman tersebut dapat terbayar sesuai perjanjian yang telah disepakati, dan pada akhirnya tidak membebani anggaran yang telah dianggarkan.


Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah seberapa besar kemampuan daerah Propinsi Kalimantan Timur dalam melakukan Pinjaman Daerah, yang dicerminkan oleh Kemampuan Keuangan Daerah dan Batas Maksimum pinjaman yang dapat dilakukan, lsesuai Peraturan Pemerintah Nomor 107 tahun 2000.


1.2  Keaslian penelitian


Berbagai penelitian mengenai pinjaman daerah belum banyak dilakukan, sehingga cukup menarik untuk diteliti. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah :




  1. Robert J., (1999) meneliti tentang pentingnya pengelolaan hutang yang optimal (notes on optimal debt management) di negara bagian Amerika Serikat. Variabel yang diamati dalam penelitian tersebut antara lain tingkat keuntungan, tingkat harga, tingkat nilai tukar dan lain-lain. Penelitian ini digunakan alat analisis dengan pendekatan ekuivalen Ricardian.  Dijelaskan bahwa  untuk mengurangi pelanggaran pemerintah dalam membayar hutang publik perlu adanya kepastian tingkat keuntungan, tingkat harga, nilai tukar dan lain-lain. Masalah pemerintah pada optimalisasi pajak bagaimana mengurangi nilai kerugian yang diharapkan dalam pembiayaan anggaran.  Masalah tersebut di atas dapat ditangkal dengan membuat struktur waris pada hutang (pinjaman) dalam jangka panjang dengan menggunakan perjanjian yang pembayaran rielnya sama tiap tahunnya, dan perjanjian tersebut sebaiknya menyepakati bahwa hutang yang diangsur akan lebih baik bagi pemerintah daripada hutang yang disesuaikan dengan nilai tukar;

  2. Kiguel (1999), meneliti tentang pentingnya manajemen hutang yang dilakukan oleh pemerintah di negara Argentina. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat kredit, tingkat investasi, pasar modal domestik maupun pasar modal internasional. Penelitian ini tidak menggunakan alat analisis tertentu dan pembahasannya lebih bersifat deskriptif.  Dijelaskan bahwa untuk mengatasi kerentanan keuangan di Argentina tersebut, ada lima strategi yang bisa digunakan untuk meminimalkan peminjaman jangka panjang antara lain, pertama, mengembangkan sebuah struktur amortisasi; kedua, membatasi jumlah hutang jangka pendek; ketiga, untuk mengamankan likuidasi harta; keempat, untuk membedakan sumber-sumber pendanaan dengan maksud meningkatkan jumlah investor domestik maupun asing; kelima,untuk membedakan pengeluarannya;

  3. Kim (1997), meneliti tentang pentingnya sektor publik lokal di dalam pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1970 sampai dengan 1991 di Korea. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya pajak, investasi, konsumsi dan peranan pemerintah. Hasil penelitian tersebut  adalah peranan pemerintah daerah dalam pertumbuhan ekonomi regional sangat berpengaruh, yang menyebabkan investasi pemerintah lebih besar dari pengeluaran konsumsi pemerintah;

  4. Zainulbasri (2000), dalam kajian dan survei literatur meneliti tentang pentingnya utang luar negeri dalam mendorong kemajuan ekonomi suatu negara. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya tabungan domestik, investasi, pendapatan, nilai tukar mata uang  asing (foreign exchange). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan persamaan identitas pendapatan nasional dan analisis deskriptif. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa bantuan luar negeri membawa dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan mendorong kemajuan negara-negara berkembang dan negara-negara industri;

  5. Nataluddin (2001),  dalam penelitiannya tentang kemampuan keuangan daerah dalam melakukan pinjaman menurut Undang-undang nomor 25 tahun 1999 di Propinsi Jambi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah APBD yang tercakup didalamnya PAD, BHPBP, Sumbangan dan bantuan atau (DAU). Alat analisis penelitian ini menggunkan analisis kontribusi, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dan batas maksimum pinjaman. Temuan utama penelitian ini  menunjukkan bahwa adanya dana netto  atau selisih antara penerimaan daerah dengan pengeluaran daerah yang bernilai positif, yang berarti kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jambi akan dapat menyediakan besarnya batas angsuran.


Dari berbagai hasil penelitian tersebut di atas,   bahwa penelitian dari Nataluddin secara khusus meneliti tentang kemampuan keuangan daerah, untuk melakukan pinjaman daerah dalam membiayai pembangunannya. Letak perbedaan  penelitian ini dengan penelitian sebelumnya di samping perbedaan waktu  dan tempat/lokasi penelitian serta faktor sosial ekonomi dan sumber daya alamnya. Beberapa persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain alat analisis kontribusi, analisis DSCR, Analisis batas maksimum pinjaman. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat belum pernah secara khusus meneliti tentang  Propinsi Kalimantan Timur, sehingga dengan penelitian tersebut diperoleh gambaran tentang kemampuan keuangan daerah Propinsi Kalimantan Timur dari tahun 1994/1995 sampai dengan tahun 2001 dalam melakukan pinjaman daerah untuk membiayai pembangunannya. Dengan demikian hasilnya dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dalam  melakukan pinjaman daerah sebagai penunjang pembiayaan pembangunan.


1.3  Tujuan dan Faedah penelitian


1.3.1  Tujuan penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :




  1. untuk mengetahui kontribusi penerimaan APBD  terhadap total penerimaan APBD Propinsi Kalimantan Timur;

  2. untuk mengetahui kemampuan pinjaman Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur yang dapat dilakukan;

  3. untuk mengetahui kemampuan pinjaman  yang dapat dilakukan pada tahun 2003 dan 2004.


1.3.2     Faedah penelitian


Faedah yang diharapkan dari penelitian ini adalah :




  1. sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Timur, khususnya bagi pengambil keputusan, untuk memanfaatkan dana pinjaman daerah sebagai salah satu alternatif pembiayaan pembangunan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang 25 tahun 1999;

  2. merupakan khasanah bagi Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Timur, dalam mengkaji dan merumuskan kebijakan-kebijakan operasional untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, agar ketergantungan dengan pemerintah pusat semakin kecil.

PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERGESERAN KESEMPATAN KERJA DI KABUPATEN JENEPONTO PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 1993-2000

BAB I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


            Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, pada awalnya hanya berorientasi pada masalah pertumbuhan semata.  Tujuan utama pembangunan ekonomi selain untuk menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula berupaya untuk menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran atau upaya menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk. Karena dengan kesempatan kerja, masyarakat akan memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 1997: 7-14). Menurut Arsyad (1999:108), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja atau kesempatan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Karena kesempatan kerja merupakan peluang bagi penduduk untuk melaksanakan fungsinya sebagai sumber daya ekonomi dalam proses produksi untuk memperoleh pendapatan.


            Keberhasilan pelaksanaan pembangunan di satu daerah sangat berkaitan dengan kualitas perencanaan pembangunan yang disusun oleh daerah tersebut. Perbedaan kondisi daerah akan membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan berbeda pula. Meniru pola kebijakan yang diterapkan dan berhasil di suatu daerah belum tentu memberikan manfaat yang sama bagi daerah lainnya. Perencanaan tidak lagi harus ditentukan dan diturunkan semata dari pembangunan nasional. Perbedaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia        antardaerah, serta perbedaan akses setiap daerah mengharuskan perencanaan regional tersendiri pula bagi daerah tersebut.  Perencanaan nasional hanya diperlukan sebagai media kontrol terhadap kemungkinan terjadinya ketimpangan pembangunan serta terciptanya kesinambungan pembangunan antardaerah.


            Dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Karena potensi tiap daerah sangat bervariasi maka sebaiknya setiap daerah menentukan kegiatan sektor ekonomi yang dominan (Sjafrizal, 1997:27-38).


            Pertumbuhan ekonomi yang tinggi idealnya diikuti dengan penyerapan kesempatan kerja yang tinggi pula. Salah satu bentuk partisipasi penduduk adalah melalui kesempatan kerja yang merupakan peluang bagi penduduk untuk melaksanakan fungsinya sebagai sumber daya ekonomi dalam proses produksi.


            Proses pembangunan ekonomi biasanya tidak hanya ditandai dengan terjadinya perubahan atau pergeseran pada struktur permintaan dan penawaran barang dan jasa yang diproduksi, namun juga ditandai dengan perubahan struktur penduduk dan ketenagakerjaan. Selain sumber daya alam dan teknologi, sumber daya manusia juga merupakan unsur pendukung dalam proses pembangunan. Dalam GBHN 1999 diamanatkan bahwa pengembangan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu, diarahkan pada peningkatan kompetisi dan kemandirian tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa bidang ketenagakerjaan adalah bidang yang perlu mendapat perhatian karena menyangkut kepentingan masyarakat, dengan mendapatkan pekerjaan berarti masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan dan dapat meningkatkan taraf hidupnya.


            Dengan memanfaatkan kesempatan kerja yang tersedia berarti penduduk telah berpartisipasi  melaksanakan fungsinya sebagai sumber daya ekonomi dalam proses produksi, dan hal itu penting untuk diketahui karena dapat menunjukkan struktur perekonomian, potensi dan peran sektor-sektor dalam penyerapan tenaga kerja di daerah. Transformasi ekonomi di suatu daerah ditentukan oleh pergeseran sektor-sektor ekonomi dominan dalam kurun waktu tertentu. Pergeseran struktur dan pangsa yang terjadi pada sektor-sektor ekonomi daerah menarik untuk diteliti atau dikaji lebih lanjut. Berdasarkan kajian perubahan struktur sektor ekonomi yang dominan di suatu daerah maka kegiatan-kegiatan pembangunan akan dapat lebih difokuskan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi daerah (Murti,2001:4).


            Perubahan struktur  perekonomian dan penyerapan tenaga kerja perlu dikaitkan dengan laju pertumbuhan sehingga dapat ditentukan sektor-sektor basis yang menjadi unggulan serta pemilihan prioritas dalam kegiatan pembangunan. Chenery (1971:16) mengungkapkan bahwa struktur ekonomi mempengaruhi tingkat pertumbuhan yang dapat dicapai pada beberapa periode waktu, dan perubahan-perubahan dalam struktur ini penting untuk mendukung pertumbuhan.


            Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jeneponto dari tahun 1993 sampai dengan 2000 cukup fluktuatif, PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 1993 yang hanya sebesar Rp165.793.330.000.- meningkat menjadi Rp241.946.190.000.- pada tahun 2000. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 tidak terkecuali berdampak pada perekonomian daerah, hal ini terlihat dari menurunnya pertumbuhan PDRB Kabupaten Jeneponto tahun 1998 sebesar  – 6,60 persen.


Tabel 1.1


Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1993


Kabupaten Jeneponto dan Provinsi Sulawesi Selatan, 1993 – 2000


































































































Kabupaten Jeneponto



Provinsi Sulawesi Selatan


No

Tahun



PDRB (jutaan rp.)



Pertumbuhan (%)



PDRB (jutaan rp.)


Pertumbuhan (%)

1



2



3



4



5



6



1



1993



165,793.33



_



7,511,772.00



_



2



1994



172,484.25



3.88



8,088,147.00



7.13



3



1995



199,869.59



13.70



8,744,917.00



7.51



4



1996



225,489.97



11.36



9,485,863.15



7.81



5



1997



241,330.44



6.56



9,893,420.13



4.12



6



1998



226,391.51



-6.60



9,366,229.27



-5.63



7



1999



233,941.50



3.22



9,631,075.64



2.75



8



2000



244,710.50



4.40



10,100,507.58



4.65




Sumber : BPS  Kab.Jeneponto, Sul-Sel dalam angka, beberapa terbitan (diolah).


            Pembahasan mengenai ketenagakerjaan tidak terlepas dari penduduk dan angkatan kerja. Jumlah penduduk Kabupaten Jeneponto pada tahun 1993 sebanyak 302.623 orang, angka ini bertambah menjadi 317.588 orang pada tahun 2000, dengan demikian terjadi pertambahan penduduk selama kurun waktu tersebut sebanyak 14.965 orang, atau naik sebesar 4,94 persen. Penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) yang pada tahun 1993 sebanyak 216.906 orang,  mengalami peningkatan menjadi 245.991 orang pada tahun 2000  atau  naik  sebesar  13,41 persen, sebagaimana   ditunjukkan   pada tabel 1.2.


Tabel 1.2


Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas  Menurut Status Ketenagakerjaan


di Kabupaten Jeneponto,  1993-2000, serta Pertumbuhannya











































































STATUS


      PENDUDUK (Orang)     PERTUMBUHAN

KETENAGAKERJAAN



1993



2000



Absolut



Persen


ANGKATAN KERJA

94,146



131,385



37,239



39.55


 Bekerja

92,193



130,419



38,226



41.46


 Mencari Pekerjaan

1,953



966



-987



-50.54


BUKAN ANGKATAN KERJA

122,760



114,606



-8,154



-6.64


 Sekolah

34,782



34,719



-63



-0.18


 Mengurus Rumah Tangga

56,544



57,495



951



1.68


 Lainnya

31,344



22,389



-8,955



-28.57



JUMLAH



216,906



245,991



29,085



13.41



Sumber : Susenas 2000, Jeneponto dalam angka, beberapa terbitan (diolah).


Dari data tersebut di atas dapat dilihat Tingkat Partisiasi Angkatan Kerja (TPAK) yang merupakan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja di Kabupaten Jeneponto pada tahun 1993 sebesar 43,40 persen, meningkat menjadi 53,41 persen pada tahun 2000.


            Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Belum teridentifikasinya pertumbuhan ekonomi sektoral dan kaitannya dengan pergeseran kesempatan kerja serta sektor-sektor basis dalam perekonomian di Kabupaten Jeneponto”. Hal ini disebabkan karena upaya tersebut selama ini memang belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menggambarkannya secara sistematis agar dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Jeneponto khususnya dalam penyusunan perencanaan dan kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan.


1.2 Keaslian Penelitian


            Penelitian secara empiris mengenai pertumbuhan ekonomi dan kaitannya dengan kesempatan kerja telah banyak dilakukan, termasuk analisis deskriptif kegiatan ekonomi potensial dan pertumbuhan ekonomi daerah, baik di dalam maupun  di luar negeri. Penelitian oleh Rex (1997), tentang kegiatan basis ekonomi dalam konteks kesempatan kerja per kapita di empat daerah setingkat Kabupaten (county) pada negara bagian Arizona selama tahun 1991-1994 dengan mengggunakan alat analisis Location Quotient (LQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan basis daerah Arizona dan Pima adalah konstruksi, pertambangan dan pertanian. Daerah Mericopa memiliki kegiatan basis konstruksi dan pertanian, sedangkan daerah Balance memiliki kegiatan basis pertambangan dan pertanian.


            Selain itu, Hanham dan Shawn (2000), melakukan penelitian di Jepang dengan menggunakan alat analisis Shift-Share yang difokuskan pada perubahan kesempatan kerja sektor manufaktur untuk mengamati peran struktur wilayah terhadap kesempatan kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode tahun 1981-1995 kesempatan kerja pada daerah inti (core region) mengalami penurunan sebesar 3%, sedang daerah sekitarnya (peripheral region) mengalami peningkatan sebesar 5%.


            Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Soepono (1993) di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode 1980-1990. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi spesialisasi wilayah, keunggulan kompetitif dan komponen lain dari pertumbuhan kesempatan kerja dan struktur ekonomi daerah dengan menggunakan alat analisis Shift-Share klasik dan  modifikasi Esteban-Marquillas serta modifikasi Arcellus.


            Anna (2001) melakukan penelitian tentang pergeseran kesempatan kerja sektoral di Kabupaten Gunung Kidul tahun 1993-1999. Dengan menggunakan alat analisis Location Quotient (LQ) dan Shift-Share modifikasi Arcellus hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesempatan kerja sektoral cenderung bergeser dari kelompok sektor pertanian ke kelompok sektor jasa.


            Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya terutama pada periode tahun analisis dan daerah penelitian serta alat analisis dan variabel yang diteliti. Penelitian ini mencoba mengidentifiasi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pergeseran kesempatan kerja sektoral di Kabupaten Jeneponto selama kurun waktu 1993-2000 dengan menggunakan pendekatan analisis produktivitas tenaga kerja, elastisitas kesempatan kerja, Shift-Share klasik, Location Quotient (LQ), Model Rasio Pertumbuhan Pertumbuhan (MRP) dan analisis Overlay  untuk mengetahui sektor ekonomi yang memiliki potensi besar dalam menyerap tenaga kerja serta arah kecenderungannya di masa depan.


          Penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan pergeseran kesempatan kerja di Kabupaten Jeneponto tahun 1993-2000 ini, sejak direncanakan belum pernah dilakukan oleh pihak lain, baik perorangan maupun lembaga yang telah dipublikasikan. Dengan demikian, penelitian ini dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab terhadap keasliannya.


1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan penelitian


            Penelitian ini bertujuan untuk :




  1. mengetahui pertumbuhan ekonomi sektoral di Kabupaten Jeneponto;

  2. mengetahui pergeseran kesempatan kerja di Kabupaten Jeneponto;

  3. mengidentifikasi sektor-sektor basis dalam perekonomian di Kabupaten Jeneponto;


1.3.2 Manfaat Penelitian


         Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :




  1. sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Jeneponto dalam penyusunan perencanaan pembangunan dan perumusan kebijakan, khususnya dalam pengembangan sektor basis dan pembinaan ketenagakerjaan;

  2. sebagai referensi atau perbandingan bagi penelitian lebih lanjut mengenai pertumbuhan ekonomi dan pergeseran kesempatan kerja.

PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PROPINSI SUMATERA BARAT

BAB I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


Pembangunan ekonomi adalah upaya yang terencana dalam mengelola segenap sumber daya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di mana sumber daya relatif terbatas bahkan sebagian tidak dapat diperbaharui atau bertambah dengan cepat sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat jumlah dan beragam jenisnya. Kebutuhan tersebut tidak selalu dapat dipenuhi oleh sebuah daerah karena keterbatasan sumber daya, dengan demikian secara alamiah telah terbangun hubungan ekonomi antar daerah yang saling terkait dan bergantung.


Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Menurut Arsyad (1999:108) pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintahan daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan   kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.


Pembangunan di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada wilayah tertentu seperti Pulau Jawa, Sumatra, sebagian Sulawesi dan Kalimantan.  Dilaksanakan secara sektoral, akibatnya hasil pembangunan yang dicapai tidak optimal karena egoisme sektoral kuat sekali. Selain itu pembangunan diwarnai oleh kekuatan politik dan lebih menitikberatkan pada eksploitasi daratan dari pada lautan, sehingga menyebabkan tidak meratanya laju pembangunan yang berdampak pada perbedaan pendapatan per kapita dan perbedaan pengembangan wilayah antarkabupaten/kota.


Sampai saat ini belum ada definisi yang baku mengenai wilayah pesisir namun ada kesepakatan umum di dunia bahwa pengertian wilayah pesisir secara ekologis adalah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, di mana daratan mencakup daerah yang dipengaruhi proses lautan seperti pasang surut, intrusi air laut, gelombang dan angin laut sedangkan lautan yang dipengaruhi proses daratan seperti dampak kegiatan manusia, sedimentasi aliran sungai dan pencemaran. Secara administratif wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu batas yang sejajar garis pantai dan batas yang tegak lurus garis pantai kearah laut dengan jarak 4 mil, 12 mil, 200 mil (Dahuri dkk, 1996:6).


Tahun 1982 United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) mengukuhkan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan semua pengairan/laut di antara pulau-pulau yang disebut perairan Nusantara. Selain itu ada pula kesepakatan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil laut diukur dari garis pantai. Dalam Undang-undang No.22 tahun 1999 bahwa kewenangan propinsi diwilayah laut selebar 12 mil laut dari garis pantai  dan kewenangan kabupaten/kota adalah sepertiganya sebesar 4 mil.


Negara Indonesia mempunyai potensi sumber daya kelautan yang sangat besar dan beragam, tercermin dari keanekaragaman hayati, budidaya perikanan, pariwisata bahari, sumber daya mineral, minyak, gas bumi, dan jasa kelautan. Khusus Propinsi Sumatera Barat mempunyai ± 375 buah pulau besar dan kecil, sedangkan luas perairan laut diperkirakan 186.500 km2 dengan panjang garis pantai ± 2.420,387 km dengan rincian Kota Padang ± 99,632 Km, Kabupaten Pesisir Selatan ± 278,200 Km, Padang Pariaman ± 62,332 Km, Kepulauan Mentawai ± 1.798,800 Km, Agam ± 38, 469 Km dan Pasaman ± 142,955 Km (RTRW Propinsi, 2000:12).


Posisi Propinsi Sumatera Barat terletak antara 0° 54' Lintang Utara dan 3° 30' Lintang Selatan serta 98° 36' dan 101° 53' Bujur Timur, dengan jumlah penduduk pada tahun 2001 mencapai 4,24 juta jiwa. Secara administratif wilayah Propinsi Sumatera Barat terdiri dari sembilan Kabupaten dan enam Kota, di mana kawasan pesisir meliputi Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Agam, Pasaman dan Kabupaten Kepulauan Mentawai yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 2000. Untuk lebih jelas posisi geografis dari kawasan pesisir disajikan dalam Peta Administrasi (Gambar 1.3).


Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan adalah perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun ke tahun, PDRB Propinsi Sumatera Barat merupakan penjumlahan dari hasil produk barang dan jasa (PDRB) dari seluruh Kabupaten/Kota, berarti mencerminkan secara umum kondisi pertumbuhan perekonomian Kabupaten/Kota. Untuk mengetahui pertumbuhan PDRB Propinsi Sumatera Barat atas dasar harga konstan 1993 disajikan dalam Gambar 1.1.


Produk Domestik Regional Bruto juga mencerminkan kemampuan berbagai sektor perekonomian dalam menghasilkan suatu nilai tambah pada produknya, semakin besar peranan suatu sektor terhadap total PDRB maka semakin besar pula peranan sektor tersebut dalam perkembangan perekonomian. Untuk mengetahui kontribusi sektor dalam perekonomian Propinsi Sumatera Barat periode tahun 1993 sampai 2000, disajikan dalam Gambar 1.2.


Gambar 1.1


Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Sumatera Barat, 1993-2000


Gambar 1.2


Kontribusi PDRB Menurut Lapang Usaha Propinsi Sumatera Barat, 1993-2000


Dalam pengembangan wilayah memadukan pendekatan pertumbuhan sektoral dan regional, yang memungkinkan terjadinya keterkaitan antarwilayah pengembangan atau antarkabupaten/kota dalam suatu wilayah pengembangan. Pemerintah pusat secara nasional melakukan konsep pengembangan wilayah melalui penataan ruang sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 tahun 1997, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang bertujuan untuk mengembangkan pola dan struktur ruang nasional dengan memperhatikan kawasan budidaya dan kawasan lindung (Witoelar, 2000:16).


Pengembangan wilayah dilaksanakan dengan memanfaatkan ruang pada kawasan budidaya dan dipilih kawasan-kawasan yang dapat berperan mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana diarahkan RTRW Nasional melalui identifikasi sektor-sektor unggulan yang akan dikembangkan. Untuk lebih detail dijelaskan pada RTRW Propinsi, RTRW Kabupaten/Kota maupun rencana detail kota (Renko) Kecamatan.


Permasalahan penelitian ini adalah apakah ada keterkaitan dalam pengembangan ekonomi (wilayah) antarkabupaten/kota kawasan pesisir dengan kawasan bukan pesisir di Propinsi Sumatera Barat. Hal itu sangat penting untuk dapat memacu pengembangan kawasan pesisir Propinsi Sumatera Barat lebih cepat.


1.2  Keaslian Penelitian


Penelitian yang membahas topik tentang pengembangan kawasan dengan pendekatan sektoral maupun spasial telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu seperti berikut.




  1. Benziger (1996) meneliti tentang hubungan keterkaitan antarkota dan desa di Post-Moa China, pembahasan menitikberatkan pada apakah kinerja pertumbuhan desa-desa dipengaruhi oleh akses yang dimiliki, mengunakan analisis regresi (ekonometrika) dengan variabel berupa jarak antara desa dengan kota, fasilitas yang digunakan, output dari industri, tingkat pendidikan dan jumlah tenaga kerja dalam sektor industri. Persamaan dengan penelitian adalah fokus pada hubungan keterkaitan antara dua wilayah, dan perbedaannya pada alat analisis, variabel, tahun dan lokasi yang diteliti.

  2. Mody dan Wang (1997) meneliti tentang pertumbuhan industri di pesisir China, pembahasan menitikberatkan pada apakah industri ringan dan berat dipengaruhi oleh faktor pendorong pertumbuhan (ketersediaan prasarana, tingkat pendidikan, investasi langsung dari luar negeri, dan pendapatan per kapita), mengunakan analisis regresi (ekonometrika) dengan data panel 23 industri dan daerah pesisir Cina. Persamaan dengan penelitian ini adalah fokus wilayah penelitian pada kawasan pesisir, dan perbedaannya pada alat analisis, variabel, tahun dan lokasi yang diteliti.

  3. Sjafrizal (1997) meneliti tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan regional wilayah Indonesia bagian barat, pembahasan menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan antarwilayah Indonesia bagian barat, dengan mengunakan analisis Tipologi Klassen dan Wiliamson Indeks. Persamaannya adalah melihat klasifikasi pertumbuhan ekonomi dengan analisis Tipologi Klassen, sedangkan perbedaannya pada jumlah alat analisis, variabel, tahun dan fokus wilayah penelitian.

  4. Badrudin (1999) meneliti tentang pengembangan wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pembahasan menitik beratkan pada strategi pembangunan regional, dengan mengunakan Model Tempat Sentral, Teori Growth Pole dan Location Quotient. Persamaannya adalah tinjauan pengembangan wilayah dengan menggunakan analisis Location Quotient, Teori Growth Pole, sedangkan perbedaannya pada jumlah alat analisis, variabel, tahun dan fokus wilayah penelitian.

  5. Maindoka (2001) meneliti tentang pengembangan regional dengan konsep kawasan andalan Manado Bitung Sulawesi Utara, pembahasan menekankan pada apa pembentukan kawasan andalan berdasarkan potensi daerah, dengan mengunakan Model Rasio Pertumbuhan, Tipologi Klassen, Location Quotient, Shift Share modifikasi Esteban-Marquilas. Persamaannya pada tinjauan pengembangan regional dengan analisis Tipologi Klassen, Location Quotient sedangkan perbedaannya pada pada jumlah alat analisis, variabel, tahun dan fokus wilayah penelitian.

  6. Husen (2001) meneliti pengembangan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah dengan pendekatan sektoral dan spasial, pembahasan menekankan pada strategi pembangunan daerah dan kaitannya secara regional, dengan mengunakan analisis interaksi wilayah, Location Quotient dan Shift-Share. Persamaannya pada tinjauan pengembangan regional dengan menggunakan analisis Location Quotient dan interaksi wilayah sedangkan perbedaanya pada pada jumlah alat analisis, variabel, tahun dan fokus wilayah penelitian.

  7. Tristijanti (2002) meneliti tentang evaluasi Kecamatan Sentolo sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kulon Progo, pembahasan menekankan pada peranan Kota Sentolo sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi, dengan menggunakan analisis Skalogram dan Gravitasi. Persamaannya pada tinjauan pengembangan regional dengan menggunakan analisis Skalogram dan Gravitasi sedangkan perbedaanya pada pada jumlah alat analisis, variabel, tahun dan fokus wilayah penelitian.


1.3  Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1  Tujuan penelitian


 Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian adalah :




  1. mengindentifikasi klasifikasi pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota  kawasan pesisir Propinsi Sumatera Barat;

  2. mengindentifikasi jumlah subsektor unggulan (basis) kabupaten/kota kawasan pesisir Propinsi Sumatera Barat;

  3. mengindentifikasi pusat pertumbuhan (hirarki Kota) kawasan pesisir Propinsi Sumatera Barat;

  4. mengindentifikasi tingkat keterkaitan antarkabupaten/kota kawasan pesisir Propinsi Sumatera Barat.


1.3.2  Manfaat penelitian


Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :




  1. sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dalam perumusan kebijakan pembangunan dan pengembangan wilayah khususnya pada kawasan pesisir;

  2. sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota khususnya yang berada di kawasan pesisir Propinsi Sumatera Barat dalam penyusunan kebijakan pengembangan wilayah dan perencanaan pembangunan;

  3. sebagai bahan atau referensi bagi peneliti lain yang ada hubungannya dengan permasalahan atau permasalahan lain yang ada berkaitan dengan pengembangan kawasan pesisir.

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA RUTIN PADA UNIT KERJA DI KABUPATEN NGANJUK TA 2001 – 2002

BAB I


PENGANTAR


1.1   Latar Belakang


Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah Pusat dan Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari kedua undang-undang tersebut bukan hanya keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintah pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah pada khususnya.


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab.. Dalam penyusunannya harus diupayakan secara nyata dan terstruktur yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Perubahan yang menjadi tuntutan masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan saat ini, telah membuka jalan bagi pelaksanaan reformasi sektor publik di Indonesia.


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan alat dalam menentukan pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memobilisasi pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Perencanaan APBD sebagai perwujudan keseluruhan aktivitas dan kegiatan pemerintah menuntut adanya partisipasi aktif yang menampung berbagai aspirasi masyarakat sehingga akan mencerminkan kebutuhan riil masyarakat. Dalam merencanakan anggaran daerah ini harus menyerap informasi yang sebanyak-banyaknya sebagai bahan pertimbangan dalam pengalokasiannya sesuai dengan potensi yang dimiliki dan dengan memperhatikan skala prioritas. Dalam perencanaan dan penentuan skala prioritas kebutuhan dana khususnya untuk satuan/unit kerja dilakukan dengan sistem dan prosedur penyusunan anggaran melalui  dua pendekatan utama, yaitu pendekatan dari bawah (bottom up approach) dan pendekatan dari atas (top down approach).


Reformasi anggaran yang berorientasi pada kepentingan publik menuntut adanya siklus anggaran yang mencerminkan pergeseran paradigma dari anggaran yang berorientasi pada kepentingan dan pertanggungjawaban ke atas menjadi berorientasi pada kepentingan publik. Ini berarti bahwa di dalam penyusunan anggaran harusnya melibatkan banyak pihak sejak dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Pengalokasian yang berorientasi pada kepentingan publik akan tergambar pada proporsi pengalokasian anggaran yang lebih besar pada biaya pelayanan yang langsung dapat dinikmati oleh masyarakat (pelayanan publik/belanja pembangunan) daripada kepentingan pelayanan secara tidak langsung dinikmati masyarakat (pelayanan birokrasi/belanja rutin).


Menurut Suwandi  (2000: 39) kenyataan saat ini menunjukkan bahwa struktur APBD belum seperti yang diharapkan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi anomali dalam sistem alokasi pembiayaan daerah. Sektor pembinaan aparatur yang notabene lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan birokrasi telah menyerap dana yang terbanyak, di mana dalam penelitian Sofyan (2001) mencapai 62,7%.


Anggaran rutin merupakan sumber biaya untuk mendukung aktifitas kegiatan unit kerja yang dapat mendorong keberhasilan tercapainya sasaran kegiatan yang ditetapkan dalam APBD. Pengalokasian anggaran belanja rutin hendaknya dilakukan secara rasional dan obyektif yaitu dengan mencermati faktor-faktor yang menentukan alokasi biaya rutin satuan kerja, sehingga dana yang dimiliki dapat dikelola secara efektif dan efisien. Manajemen pengelolaan keuangan daerah yang baik tentunya akan lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana-dana yang tersedia guna mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah.


Menurut Mardiasmo (2002 : 66) anggaran sektor publik dibagi menjadi dua, yaitu anggaran operasional (non investasi) dan anggaran modal. Untuk anggaran operasional, pengeluaran yang masuk kategori ini adalah belanja rutin. Sebelum ada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002, komponen belanja rutin meliputi : belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja lain-lain. Agar dalam penentuan alokasi belanja rutin lebih mencerminkan kebutuhan riil, data dan informasi mengenai komponen tersebut perlu dipertimbangkan.


Selama ini penentuan besarnya alokasi dana untuk suatu kegiatan terutama yang dilaksanakan oleh unit-unit kerja daerah ditentukan dengan pendekatan anggaran tradisional yang didasarkan atas pendekatan incremental dan line item. Pendekatan secara incremental menurut Mardiasmo (2002 : 76) adalah alokasi anggaran dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar dalam menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan dengan jumlah atau persentase tertentu tanpa dilakukan kajian yang mendalam. Suatu unit kerja dalam mengajukan usulan program/proyek kurang memperhatikan pada kenyataan yang sesungguhnya, yaitu kenyataan yang dapat memprediksi kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya diperlukan, melainkan berlomba-lomba mengajukan usulan program/proyek sebanyak-banyaknya dan menganggarkannya melebihi kebutuhan riil (overestimate). Selain daripada itu suatu unit kerja membuat usulan proyek/program lebih mendahulukan angka (uang) daripada sasaran program itu sendiri, sehingga program/proyek tersebut kurang layak untuk dilaksanakan dan akibatnya sasaran program/proyek yang dicapai kurang efektif. Pendekatan incremental seperti ini  tidak saja kurang menjamin terpenuhinya kebutuhan riil, namun juga bisa mengakibatkan kesalahan yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena tidak pernah diketahui apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan tahun dasar penyusunan anggaran tahun bersangkutan telah didasarkan atas kebutuhan yang wajar.


Pendekatan line-item yang menurut  Halim (2001 : 17) merupakan pendekatan yang paling tradisional adalah perancangan anggaran yang disusun berdasarkan jenis penerimaan dan jenis pengeluaran yang telah ditentukan pada periode sebelumnya. Hal ini mengakibatkan pemerintah daerah tidak dapat mengganti satu atau lebih “item” pengeluaran yang telah ada sekalipun keberadaannya mungkin sudah tidak layak lagi. Penggunaan pendekatan ini bertujuan untuk melakukan pengendalian atas pengeluaran.


Salah satu masalah utama dalam keuangan daerah menurut Suwandi (2000 : 42) adalah kesulitan dalam penentuan kebutuhan keuangan (need assessment) Pemerintah Daerah secara obyektif dan rasional. Faktor pertama yang menentukan need assessment adalah urusan-urusan yang harus dilaksanakan pemerintah daerah dalam rangka otonomi. Adanya kejelasan urusan yang akan dilaksanakan dan sumber-sumber pembiayaannya akan dapat menghindari fragmentasi pembiayaan dan kekaburan tanggung jawab. Selain itu juga karena belum adanya standard of services sebagai dasar untuk menentukan standard of expenditures. Tidak adanya standar pelayanan ini juga akan menyebabkan sulitnya untuk melakukan standard spending assessment sehingga akan menyulitkan dalam mengatur alokasi pendanaan yang sudah sangat terbatas dan tergantung dari dukungan pusat.


Dalam upaya mengoptimalkan sumber-sumber (resources) yang tersedia sehingga dapat meningkatkan efektivitas kegiatan pemerintah, maka pemerintah harus tahu pasti bagaimana menempuh cara terbaik dalam pengalokasiannya. Untuk itu dalam pengalokasian belanja rutin perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi belanja rutin yaitu antara lain jumlah pegawai, jumlah kendaraan,  jumlah barang inventaris dan luas bangunan.


Menurut Suparmoko (1982 : 4), mengetahui seberapa besar pengeluaran investasi sangat penting bagi penentu kebijakan dalam rangka memperkirakan efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Mengetahui pengeluaran yang bersifat konsumtif dapat memberikan petunjuk pada penentu kebijakan mengenai efek inflasi dari pengeluaran tersebut, sedangkan pengeluaran negara itu sendiri akan mempengaruhi penerimaan negara.


Dengan   memperhatikan   latar   belakang   di   atas   serta   dalam  upaya optimalisasi sumber-sumber daya yang dimiliki pemerintah daerah, maka perlu dilakukan kajian terhadap kebijakan yang ditempuh  terutama dalam alokasi belanja rutin. Permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja rutin pada unit kerja yang ada di Kabupaten Nganjuk. Seberapa besar pengaruh jumlah pegawai, jumlah inventaris kantor, jumlah kendaraan dan luas bangunan  terhadap alokasi anggaran belanja rutin  di unit / satuan kerja    yang ada di Pemerintah Kabupaten Nganjuk pada Tahun 2001 dan 2002.


1.2   Keaslian penelitian


Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja rutin unit kerja belum banyak dilakukan. Selama ini penelitian yang banyak dilakukan di antaranya adalah :




  1. The United States Agency for International Development (USAID : 2000) melakukan penelitian tentang problem biaya rutin di negara-negara kurang berkembang terutama di Sub-Sahara Afrika pada tahun 1982. Banyak negara kurang berkembang yang tidak mengalokasikan anggaran yang cukup untuk membiayai biaya rutin. Masalah yang dihadapi negara kurang berkembang dikelompokkan dalam tiga kategori besar yaitu :

    1. ketidakmampuan untuk meningkatkan penghasilan yang cukup;

    2. misalokasi sumber daya publik antara anggaran modal dan rutin atau antara sektor belanja dengan anggaran rutin, termasuk kelebihan staff birokrasi pusat yang memiliki kepentingan tetap dalam kelanjutan program yang disubsidi;

    3. kesalahan design proyek atau kebijakan publik yang menurunkan kemungkinan sebuah proyek mencapai sukses.

    4. Faridy (2001), yang meneliti tentang alokasi komponen belanja rutin dan belanja pembangunan terhadap kinerja APBD Kabupaten Muara Enim. Penelitian tersebut, khususnya untuk belanja rutin, bertujuan untuk mengetahui proporsi komponen belanja rutin terhadap total belanja rutin dan terhadap total belanja rutin non-belanja pegawai. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa alokasi komponen belanja rutin belum sepenuhnya dilaksanakan secara ekonomi dan efisien. Hal ini dapat dilihat masih cukup tingginya proporsi rata-rata pengeluaran miscellaneous terhadap total belanja rutin dan relatif kecilnya proporsi rata-rata biaya pemeliharaan dibanding komponen pengeluaran miscellaneous, dengan perincian selama Repelitada VI proporsi rata-rata pengeluaran miscellaneous sebesar 16,9 %. Proporsi rata-rata ini terbesar kedua setelah belanja pegawai. Setelah masa transisi otonomi daerah proporsi rata-rata pengeluaran miscellaneous menurun menjadi 14,71 % dan tetap menjadi terbesar kedua setelah belanja pegawai.



  2. Sofyan (2001), meneliti tentang evaluasi penyusunan dan pengalokasian anggaran belanja, yang memfokuskan pada proses penyusunan anggaran belanja daerah, perkembangan dan pertumbuhan alokasi anggaran belanja rutin. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa realisasi alokasi belanja rutin selama tahun anggaran 1995/1996 sampai 1999/2000 rata-rata mencapai 60,01 % dari total anggaran. Alokasi belanja daerah menurut fungsi pelayanan, pelayanan birokrasi menyerap dana rata-rata 67,2 % dan pelayanan publik rata-rata 32,6 %. Berdasarkan pengeluaran unit kerja, pemerintahan umum menyerap dana paling banyak yaitu mencapai 60,24 % dan yang paling sedikit adalah untuk pengembangan ekonomi yaitu menyerap 1,93 %.

  3. Kustituanto dan Yansekardias (2001), yang meneliti tentang sebuah metode pembobotan alternatif dalam pembagian dana alokasi umum. yaitu studi kasus di Propinsi D.I Yogyakarta. Penelitian ini memfokuskan pada masalah tentang faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pendistribusian DAU, menentukan skala prioritas atau bobot dari masing-masing variabel penentu DAU,  merancang formulasi pendistribusian Dana Alokasi Umum untuk daerah propinsi secara integratif menurut perpektif daerah, membuat simulasi pengalokasian DAU untuk daerah propinsi dan menemukenali dampak pendistribusian DAU terhadap kondisi keuangan daerah.


Berdasarkan berbagai hasil penelitian tersebut, tentu saja akan ada persamaan yang tidak mungkin dihindari. Namun beberapa aspek yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya misalnya fokus pembahasan masalah pada faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja rutin untuk dinas/unit kerja yang ada. Disadari bahwa setiap daerah  memiliki permasalahan yang hampir sama yaitu kurangnya kemampuan keuangan daerah dalam membiayai kebutuhannya baik untuk belanja rutin maupun belanja pembangunan.


Perbedaan yang mendasar dalam penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya terletak pada  tempat di mana penelitian ini dilaksanakan, tahun pengamatan dan data yang digunakan, yaitu di Kabupaten Nganjuk. Di samping itu tentu tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penelitian ini, penelitian-penelitian lainnya dijadikan sebagai referensi atau bahan masukan dalam penelitian ini.


1.3  Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1     Tujuan penelitian


 Dari permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.




  1. Untuk mengetahui proporsi realisasi pembiayaan Belanja Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk masing-masing urusan terhadap total Belanja Rutin pada Tahun Anggaran 2001-2002.

  2. Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pengalokasian dana belanja rutin terhadap jumlah anggaran belanja rutin di masing-masing unit kerja yang ada di Kabupaten Nganjuk Tahun Anggaran 2001-2002.


1.3.2  Manfaat penelitian


 Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini antara lain :




  1. sebagai bahan referensi bagi pemerintah daerah khususnya Kabupaten Nganjuk dalam menetapkan anggaran belanja daerah terutama dalam alokasi belanja rutin pada masing-masing unit kerja;

  2. sebagai bahan kajian dan informasi tambahan bagi pihak yang akan melakukan penelitian lebih lanjut.