ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MELAKUKAN PINJAMAN DAERAH DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang sudah dicanangkan sesuai Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999, permasalahan yang dihadapi daerah di seluruh Indonesia  adalah tingginya tingkat ketergantungan daerah pada bantuan pemerintah pusat. Menurut Kuncoro (1995 : 8), bahwa tingginya tingkat ketergantungan tersebut  dipengaruhi oleh realitas hubungan antara pusat dan daerah yang ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah, sehingga percepatan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur kurang berjalan dengan baik, yang dicerminkan dengan rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah dibandingkan  dengan  proporsi subsidi (grant) yang didrop oleh pusat.


Lebih lanjut Kuncoro (1995:12-14) mengatakan bahwa tingginya ketergantungan fiskal tersebut disebabkan karena :




  1. kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah;

  2. tingginya tingkat sentralisasi dalam bidang perpajakan;

  3. kendati jenis pajak cukup beragam, hanya sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan;

  4. alasan politis yang berkaitan dengan kekhawatiran timbulnya separatisme bila daerah memiliki sumber keuangan besar;

  5. kelemahan dalam pemberian subsidi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.


Kemampuan daerah menggali dana dengan kekuatan sendiri terdiri dari dana Pendapatan Asli Daerah dan pinjaman daerah. Kedua sumber pendapatan tersebut sangat erat hubungannya   sebab dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang diikuti dengan pengelolaan belanja rutin yang efisien dan efektif akan dapat meningkatkan kemampuan daerah menyediakan dana neto dalam rangka memperoleh pinjaman daerah. Sebab  penerimaan daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui sumbangan dan bantuan atau dana perimbangan masih tinggi, sehingga tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan dari pemerintah pusat tetap tinggi. Keadaan inilah yang membuat beberapa daerah di Indonesia, dengan sangat hati-hati menyikapi pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25  tahun 1999.


Pemerintah daerah dalam mengatasi tingkat ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah pusat  tersebut, dalam membiayai pembangunan propinsi dan kabupaten/kota salah satu alternatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melalui pinjaman. Pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dapat bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Sumber pinjaman dari luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau lebih dikenal dengan subsidiary loan agreement (SLA), kemudian diteruskan kepada pemerintah daerah, sedangkan pinjaman dalam negeri dilakukan melalui dana yang tersedia dalam Rekening Pembangunan Daerah (RPD) yang dikelola oleh Departemen Keuangan atau melalui pinjaman komersial dari bank-bank pemerintah maupun bank swasta.


Di dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan  bertanggungjawab. Salah satu bentuk kewenangan yang diberikan oleh pusat  adalah kewenangan dalam bidang keuangan khususnya kewenangan untuk memperoleh sumber pembiayaan bagi daerah yang nantinya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengatasi berbagai keterbatasan pembiayaan pembangunan, yaitu  kewenangan dalam melakukan pinjaman. Walaupun pinjaman daerah ini masih diatur pemerintah pusat, akan tetapi   setidaknya pinjaman tersebut merupakan alternatif sumber penerimaan daerah. Tiga faktor utama pinjaman daerah diatur/ dikendalikan oleh pusat  antara lain (Devas, dkk, 1989:222)  :




  1. pinjaman sektor pemerintah secara keseluruhan perlu dikendalikan berkaitan dengan kebijaksanaan moneter terutama untuk mengendalikan inflasi;

  2. untuk mencegah jangan sampai pemerintah daerah terjerumus dalam kesulitan keuangan, karena pinjaman digunakan untuk menutupi pengeluaran  rutin;

  3. pemerintah pusat ingin tetap mengendalikan pola pengeluaran penanaman modal pemerintah daerah.


Di dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tersebut  dijelaskan bahwa, pinjaman daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka otonomi daerah yang dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sedangkan pasal 11 menjelaskan bahwa :




  1. daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya;

  2. daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui pemerintah pusat;

  3. daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan asset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat;

  4. daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.


Peraturan Pemerintah Nomor 107 tentang pinjaman daerah yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 25 tahun 1999,  mengatur tata cara syarat, prosedur dan kemampuan pengembalian pinjaman yang dilakukan pemerintah daerah secara rinci termasuk cara perhitungannya, sehingga daerah dapat mengetahui kemampuan daerahnya dalam melakukan pinjaman.  Pinjaman daerah, yang dilakukan pemerintah daerah sebaiknya mempertimbangkan dan menyeleksi pinjaman tersebut berdasarkan manfaat, skala prioritas pembangunan dan tujuan dari pinjaman daerah, yang mengacu pada kemampuan keuangan daerah.  Mengingat proyek yang akan dibiayai melalui pinjaman daerah tersebut pada dasarnya merupakan investasi di bidang sarana publik berupa penambahan atau perbaikan/pengembangan infrastruktur sosial ekonomi yang sudah ada, maka penggunaan pinjaman tersebut harus diarahkan untuk mendanai proyek-proyek yang memberikan pendapatan, sehingga diharapkan pendapatan tersebut dapat digunakan untuk mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya.


Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dalam menghadapi desentralisasi fiskal, maka perlu mencari alternatif pembiayaan pembangunan dengan melakukan pinjaman daerah. Hal ini disebabkan karena Pendapatan Asli Daerah  Propinsi Kalimantan Timur hanya memberikan kontribusi yang kecil dibandingkan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dan Sumbangan dan Bantuan atau Dana Perimbangan (DAU), sehingga akan berdampak  bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat melalui dana perimbangan masih sangat besar.


Terbatasnya kemampuan daerah dalam membiayai belanjanya, terutama belanja investasi, karena dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah diprioritaskan untuk belanja rutin atau biaya operasional sehingga dapat dikatakan belanja pembangunan hanya menerima sisa dari belanja rutin, yang merupakan perioritas dan wajib untuk mendukung berjalannya pemerintahan sehari-hari (Jamaluddin,dkk,2002:4). Hal ini dapat dilihat dari tabel 1.1. yang menunjukkan gambaran Keuangan Propinsi Kalimantan Timur dari 1994/1995 sampai dengan 2001 sebagai berikut :











































































































































Tabel 1.1



 Proporsi Penerimaan Daerah Propinsi Kalimantan Timur



 1994/1995 -  2001



 ( persentase )


 


        

No



Uraian



Tahun  Anggaran



94/95



95/96



96/97



97/98



98/99



99/00



2000



2001



1


Sisa lebih perhitungan tahun lalu

17,00



17,36



11,58



11,45



2,89



5,10



7,43



4,97



2


Pendapatan Asli Daerah

24,00



23,98



24,79



30,83



17,63



13,70



17,31



10,76



3


Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak

29,73



30,46



34,56



24,11



49,48



44,26



34,97



70,96



4


Sumbangan dan Bantuan

29,26



28,19



29,07



33,62



(*)



(*)



(*)



(*)



5


Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah dan atau Instansi yang lebih tinggi

(#)



(#)



(#)



(#)



30,00



36,94



40,29



13,32




Jumlah

100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0


 Sumber : Biro Keuangan Kaltim, APBD Propinsi Kaltim, beberapa terbitan    
 (*)  = berubah pendapatan dari pemberian pemerintah dan atau instansi yang lebih tinggi.
 (#) = Sebelum perubahan     

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa proporsi Pendapatan Asli Daerah  (PAD) terhadap total  penerimaan daerah selama delapan tahun terakhir masih kecil dibanding dengan kontribusi penerimaan yang lain. Proporsii terkecil terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 10,76%, Secara nominal penerimaan dari PAD setiap tahunnya meningkat tetapi secara riil proporsinya menurun, penurunan tersebut dikarenakan adanya kenaikan pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak  sumber daya alam, yang ada di Propinsi Kalimanatan Timur, antara lain dari LNG, tambang emas, batu bara.


Dari tabel 1.1 juga menunjukkan bahwa penerimaan daerah terbesar tetap berasal dari pemerintah pusat, yaitu melalui komponen Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Hal ini disebabkan karena berlakunya Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Proporsi Sumbangan dan Bantuan merupakan penerimaan terbesar kedua setelah BHPBP.  Besarnya penerimaan daerah yang berasal dari sumber daya alam yang dimiliki oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur tersebut,  perlu diantisipasi dengan alternatif pembiayaan pembangunan seperti dengan pinjaman daerah. Hal ini perlu dilakukan sebagai pengganti sumber daya alam yang dimiliki Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur.


Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur masih mengandalkan penerimaan dari pusat, sehingga belum sepenuhnya mampu membiayai pembangunannya,  karena dana yang tersedia diprioritaskan untuk membiayai pengeluaran rutin atau biaya-biaya operasional. Untuk dapat membiayai pembangunannya Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur, di samping upaya–upaya peningkatan PAD perlu mencari alternatif pembiayaan pembangunan yaitu dengan melakukan pinjaman daerah. Maka dari itu perlu diketahui berapa kemampuan daerah Kalimantan Timur melalui perhitungan Debt  Service Coverage Ratio (DSCR) dan batas maksimum pinjaman yang bisa dilakukan, agar pengembalian pinjaman tersebut dapat terbayar sesuai perjanjian yang telah disepakati, dan pada akhirnya tidak membebani anggaran yang telah dianggarkan.


Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah seberapa besar kemampuan daerah Propinsi Kalimantan Timur dalam melakukan Pinjaman Daerah, yang dicerminkan oleh Kemampuan Keuangan Daerah dan Batas Maksimum pinjaman yang dapat dilakukan, lsesuai Peraturan Pemerintah Nomor 107 tahun 2000.


1.2  Keaslian penelitian


Berbagai penelitian mengenai pinjaman daerah belum banyak dilakukan, sehingga cukup menarik untuk diteliti. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah :




  1. Robert J., (1999) meneliti tentang pentingnya pengelolaan hutang yang optimal (notes on optimal debt management) di negara bagian Amerika Serikat. Variabel yang diamati dalam penelitian tersebut antara lain tingkat keuntungan, tingkat harga, tingkat nilai tukar dan lain-lain. Penelitian ini digunakan alat analisis dengan pendekatan ekuivalen Ricardian.  Dijelaskan bahwa  untuk mengurangi pelanggaran pemerintah dalam membayar hutang publik perlu adanya kepastian tingkat keuntungan, tingkat harga, nilai tukar dan lain-lain. Masalah pemerintah pada optimalisasi pajak bagaimana mengurangi nilai kerugian yang diharapkan dalam pembiayaan anggaran.  Masalah tersebut di atas dapat ditangkal dengan membuat struktur waris pada hutang (pinjaman) dalam jangka panjang dengan menggunakan perjanjian yang pembayaran rielnya sama tiap tahunnya, dan perjanjian tersebut sebaiknya menyepakati bahwa hutang yang diangsur akan lebih baik bagi pemerintah daripada hutang yang disesuaikan dengan nilai tukar;

  2. Kiguel (1999), meneliti tentang pentingnya manajemen hutang yang dilakukan oleh pemerintah di negara Argentina. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkat kredit, tingkat investasi, pasar modal domestik maupun pasar modal internasional. Penelitian ini tidak menggunakan alat analisis tertentu dan pembahasannya lebih bersifat deskriptif.  Dijelaskan bahwa untuk mengatasi kerentanan keuangan di Argentina tersebut, ada lima strategi yang bisa digunakan untuk meminimalkan peminjaman jangka panjang antara lain, pertama, mengembangkan sebuah struktur amortisasi; kedua, membatasi jumlah hutang jangka pendek; ketiga, untuk mengamankan likuidasi harta; keempat, untuk membedakan sumber-sumber pendanaan dengan maksud meningkatkan jumlah investor domestik maupun asing; kelima,untuk membedakan pengeluarannya;

  3. Kim (1997), meneliti tentang pentingnya sektor publik lokal di dalam pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1970 sampai dengan 1991 di Korea. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya pajak, investasi, konsumsi dan peranan pemerintah. Hasil penelitian tersebut  adalah peranan pemerintah daerah dalam pertumbuhan ekonomi regional sangat berpengaruh, yang menyebabkan investasi pemerintah lebih besar dari pengeluaran konsumsi pemerintah;

  4. Zainulbasri (2000), dalam kajian dan survei literatur meneliti tentang pentingnya utang luar negeri dalam mendorong kemajuan ekonomi suatu negara. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya tabungan domestik, investasi, pendapatan, nilai tukar mata uang  asing (foreign exchange). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan persamaan identitas pendapatan nasional dan analisis deskriptif. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa bantuan luar negeri membawa dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan mendorong kemajuan negara-negara berkembang dan negara-negara industri;

  5. Nataluddin (2001),  dalam penelitiannya tentang kemampuan keuangan daerah dalam melakukan pinjaman menurut Undang-undang nomor 25 tahun 1999 di Propinsi Jambi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah APBD yang tercakup didalamnya PAD, BHPBP, Sumbangan dan bantuan atau (DAU). Alat analisis penelitian ini menggunkan analisis kontribusi, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dan batas maksimum pinjaman. Temuan utama penelitian ini  menunjukkan bahwa adanya dana netto  atau selisih antara penerimaan daerah dengan pengeluaran daerah yang bernilai positif, yang berarti kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jambi akan dapat menyediakan besarnya batas angsuran.


Dari berbagai hasil penelitian tersebut di atas,   bahwa penelitian dari Nataluddin secara khusus meneliti tentang kemampuan keuangan daerah, untuk melakukan pinjaman daerah dalam membiayai pembangunannya. Letak perbedaan  penelitian ini dengan penelitian sebelumnya di samping perbedaan waktu  dan tempat/lokasi penelitian serta faktor sosial ekonomi dan sumber daya alamnya. Beberapa persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain alat analisis kontribusi, analisis DSCR, Analisis batas maksimum pinjaman. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat belum pernah secara khusus meneliti tentang  Propinsi Kalimantan Timur, sehingga dengan penelitian tersebut diperoleh gambaran tentang kemampuan keuangan daerah Propinsi Kalimantan Timur dari tahun 1994/1995 sampai dengan tahun 2001 dalam melakukan pinjaman daerah untuk membiayai pembangunannya. Dengan demikian hasilnya dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dalam  melakukan pinjaman daerah sebagai penunjang pembiayaan pembangunan.


1.3  Tujuan dan Faedah penelitian


1.3.1  Tujuan penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :




  1. untuk mengetahui kontribusi penerimaan APBD  terhadap total penerimaan APBD Propinsi Kalimantan Timur;

  2. untuk mengetahui kemampuan pinjaman Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur yang dapat dilakukan;

  3. untuk mengetahui kemampuan pinjaman  yang dapat dilakukan pada tahun 2003 dan 2004.


1.3.2     Faedah penelitian


Faedah yang diharapkan dari penelitian ini adalah :




  1. sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Timur, khususnya bagi pengambil keputusan, untuk memanfaatkan dana pinjaman daerah sebagai salah satu alternatif pembiayaan pembangunan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang 25 tahun 1999;

  2. merupakan khasanah bagi Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Timur, dalam mengkaji dan merumuskan kebijakan-kebijakan operasional untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, agar ketergantungan dengan pemerintah pusat semakin kecil.

0 komentar:

Posting Komentar