FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA RUTIN PADA UNIT KERJA DI KABUPATEN NGANJUK TA 2001 – 2002

BAB I


PENGANTAR


1.1   Latar Belakang


Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah Pusat dan Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari kedua undang-undang tersebut bukan hanya keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintah pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah pada khususnya.


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab.. Dalam penyusunannya harus diupayakan secara nyata dan terstruktur yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Perubahan yang menjadi tuntutan masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan saat ini, telah membuka jalan bagi pelaksanaan reformasi sektor publik di Indonesia.


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan alat dalam menentukan pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memobilisasi pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Perencanaan APBD sebagai perwujudan keseluruhan aktivitas dan kegiatan pemerintah menuntut adanya partisipasi aktif yang menampung berbagai aspirasi masyarakat sehingga akan mencerminkan kebutuhan riil masyarakat. Dalam merencanakan anggaran daerah ini harus menyerap informasi yang sebanyak-banyaknya sebagai bahan pertimbangan dalam pengalokasiannya sesuai dengan potensi yang dimiliki dan dengan memperhatikan skala prioritas. Dalam perencanaan dan penentuan skala prioritas kebutuhan dana khususnya untuk satuan/unit kerja dilakukan dengan sistem dan prosedur penyusunan anggaran melalui  dua pendekatan utama, yaitu pendekatan dari bawah (bottom up approach) dan pendekatan dari atas (top down approach).


Reformasi anggaran yang berorientasi pada kepentingan publik menuntut adanya siklus anggaran yang mencerminkan pergeseran paradigma dari anggaran yang berorientasi pada kepentingan dan pertanggungjawaban ke atas menjadi berorientasi pada kepentingan publik. Ini berarti bahwa di dalam penyusunan anggaran harusnya melibatkan banyak pihak sejak dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Pengalokasian yang berorientasi pada kepentingan publik akan tergambar pada proporsi pengalokasian anggaran yang lebih besar pada biaya pelayanan yang langsung dapat dinikmati oleh masyarakat (pelayanan publik/belanja pembangunan) daripada kepentingan pelayanan secara tidak langsung dinikmati masyarakat (pelayanan birokrasi/belanja rutin).


Menurut Suwandi  (2000: 39) kenyataan saat ini menunjukkan bahwa struktur APBD belum seperti yang diharapkan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi anomali dalam sistem alokasi pembiayaan daerah. Sektor pembinaan aparatur yang notabene lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan birokrasi telah menyerap dana yang terbanyak, di mana dalam penelitian Sofyan (2001) mencapai 62,7%.


Anggaran rutin merupakan sumber biaya untuk mendukung aktifitas kegiatan unit kerja yang dapat mendorong keberhasilan tercapainya sasaran kegiatan yang ditetapkan dalam APBD. Pengalokasian anggaran belanja rutin hendaknya dilakukan secara rasional dan obyektif yaitu dengan mencermati faktor-faktor yang menentukan alokasi biaya rutin satuan kerja, sehingga dana yang dimiliki dapat dikelola secara efektif dan efisien. Manajemen pengelolaan keuangan daerah yang baik tentunya akan lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana-dana yang tersedia guna mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah.


Menurut Mardiasmo (2002 : 66) anggaran sektor publik dibagi menjadi dua, yaitu anggaran operasional (non investasi) dan anggaran modal. Untuk anggaran operasional, pengeluaran yang masuk kategori ini adalah belanja rutin. Sebelum ada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002, komponen belanja rutin meliputi : belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja lain-lain. Agar dalam penentuan alokasi belanja rutin lebih mencerminkan kebutuhan riil, data dan informasi mengenai komponen tersebut perlu dipertimbangkan.


Selama ini penentuan besarnya alokasi dana untuk suatu kegiatan terutama yang dilaksanakan oleh unit-unit kerja daerah ditentukan dengan pendekatan anggaran tradisional yang didasarkan atas pendekatan incremental dan line item. Pendekatan secara incremental menurut Mardiasmo (2002 : 76) adalah alokasi anggaran dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar dalam menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan dengan jumlah atau persentase tertentu tanpa dilakukan kajian yang mendalam. Suatu unit kerja dalam mengajukan usulan program/proyek kurang memperhatikan pada kenyataan yang sesungguhnya, yaitu kenyataan yang dapat memprediksi kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya diperlukan, melainkan berlomba-lomba mengajukan usulan program/proyek sebanyak-banyaknya dan menganggarkannya melebihi kebutuhan riil (overestimate). Selain daripada itu suatu unit kerja membuat usulan proyek/program lebih mendahulukan angka (uang) daripada sasaran program itu sendiri, sehingga program/proyek tersebut kurang layak untuk dilaksanakan dan akibatnya sasaran program/proyek yang dicapai kurang efektif. Pendekatan incremental seperti ini  tidak saja kurang menjamin terpenuhinya kebutuhan riil, namun juga bisa mengakibatkan kesalahan yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena tidak pernah diketahui apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan tahun dasar penyusunan anggaran tahun bersangkutan telah didasarkan atas kebutuhan yang wajar.


Pendekatan line-item yang menurut  Halim (2001 : 17) merupakan pendekatan yang paling tradisional adalah perancangan anggaran yang disusun berdasarkan jenis penerimaan dan jenis pengeluaran yang telah ditentukan pada periode sebelumnya. Hal ini mengakibatkan pemerintah daerah tidak dapat mengganti satu atau lebih “item” pengeluaran yang telah ada sekalipun keberadaannya mungkin sudah tidak layak lagi. Penggunaan pendekatan ini bertujuan untuk melakukan pengendalian atas pengeluaran.


Salah satu masalah utama dalam keuangan daerah menurut Suwandi (2000 : 42) adalah kesulitan dalam penentuan kebutuhan keuangan (need assessment) Pemerintah Daerah secara obyektif dan rasional. Faktor pertama yang menentukan need assessment adalah urusan-urusan yang harus dilaksanakan pemerintah daerah dalam rangka otonomi. Adanya kejelasan urusan yang akan dilaksanakan dan sumber-sumber pembiayaannya akan dapat menghindari fragmentasi pembiayaan dan kekaburan tanggung jawab. Selain itu juga karena belum adanya standard of services sebagai dasar untuk menentukan standard of expenditures. Tidak adanya standar pelayanan ini juga akan menyebabkan sulitnya untuk melakukan standard spending assessment sehingga akan menyulitkan dalam mengatur alokasi pendanaan yang sudah sangat terbatas dan tergantung dari dukungan pusat.


Dalam upaya mengoptimalkan sumber-sumber (resources) yang tersedia sehingga dapat meningkatkan efektivitas kegiatan pemerintah, maka pemerintah harus tahu pasti bagaimana menempuh cara terbaik dalam pengalokasiannya. Untuk itu dalam pengalokasian belanja rutin perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi belanja rutin yaitu antara lain jumlah pegawai, jumlah kendaraan,  jumlah barang inventaris dan luas bangunan.


Menurut Suparmoko (1982 : 4), mengetahui seberapa besar pengeluaran investasi sangat penting bagi penentu kebijakan dalam rangka memperkirakan efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Mengetahui pengeluaran yang bersifat konsumtif dapat memberikan petunjuk pada penentu kebijakan mengenai efek inflasi dari pengeluaran tersebut, sedangkan pengeluaran negara itu sendiri akan mempengaruhi penerimaan negara.


Dengan   memperhatikan   latar   belakang   di   atas   serta   dalam  upaya optimalisasi sumber-sumber daya yang dimiliki pemerintah daerah, maka perlu dilakukan kajian terhadap kebijakan yang ditempuh  terutama dalam alokasi belanja rutin. Permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja rutin pada unit kerja yang ada di Kabupaten Nganjuk. Seberapa besar pengaruh jumlah pegawai, jumlah inventaris kantor, jumlah kendaraan dan luas bangunan  terhadap alokasi anggaran belanja rutin  di unit / satuan kerja    yang ada di Pemerintah Kabupaten Nganjuk pada Tahun 2001 dan 2002.


1.2   Keaslian penelitian


Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja rutin unit kerja belum banyak dilakukan. Selama ini penelitian yang banyak dilakukan di antaranya adalah :




  1. The United States Agency for International Development (USAID : 2000) melakukan penelitian tentang problem biaya rutin di negara-negara kurang berkembang terutama di Sub-Sahara Afrika pada tahun 1982. Banyak negara kurang berkembang yang tidak mengalokasikan anggaran yang cukup untuk membiayai biaya rutin. Masalah yang dihadapi negara kurang berkembang dikelompokkan dalam tiga kategori besar yaitu :

    1. ketidakmampuan untuk meningkatkan penghasilan yang cukup;

    2. misalokasi sumber daya publik antara anggaran modal dan rutin atau antara sektor belanja dengan anggaran rutin, termasuk kelebihan staff birokrasi pusat yang memiliki kepentingan tetap dalam kelanjutan program yang disubsidi;

    3. kesalahan design proyek atau kebijakan publik yang menurunkan kemungkinan sebuah proyek mencapai sukses.

    4. Faridy (2001), yang meneliti tentang alokasi komponen belanja rutin dan belanja pembangunan terhadap kinerja APBD Kabupaten Muara Enim. Penelitian tersebut, khususnya untuk belanja rutin, bertujuan untuk mengetahui proporsi komponen belanja rutin terhadap total belanja rutin dan terhadap total belanja rutin non-belanja pegawai. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa alokasi komponen belanja rutin belum sepenuhnya dilaksanakan secara ekonomi dan efisien. Hal ini dapat dilihat masih cukup tingginya proporsi rata-rata pengeluaran miscellaneous terhadap total belanja rutin dan relatif kecilnya proporsi rata-rata biaya pemeliharaan dibanding komponen pengeluaran miscellaneous, dengan perincian selama Repelitada VI proporsi rata-rata pengeluaran miscellaneous sebesar 16,9 %. Proporsi rata-rata ini terbesar kedua setelah belanja pegawai. Setelah masa transisi otonomi daerah proporsi rata-rata pengeluaran miscellaneous menurun menjadi 14,71 % dan tetap menjadi terbesar kedua setelah belanja pegawai.



  2. Sofyan (2001), meneliti tentang evaluasi penyusunan dan pengalokasian anggaran belanja, yang memfokuskan pada proses penyusunan anggaran belanja daerah, perkembangan dan pertumbuhan alokasi anggaran belanja rutin. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa realisasi alokasi belanja rutin selama tahun anggaran 1995/1996 sampai 1999/2000 rata-rata mencapai 60,01 % dari total anggaran. Alokasi belanja daerah menurut fungsi pelayanan, pelayanan birokrasi menyerap dana rata-rata 67,2 % dan pelayanan publik rata-rata 32,6 %. Berdasarkan pengeluaran unit kerja, pemerintahan umum menyerap dana paling banyak yaitu mencapai 60,24 % dan yang paling sedikit adalah untuk pengembangan ekonomi yaitu menyerap 1,93 %.

  3. Kustituanto dan Yansekardias (2001), yang meneliti tentang sebuah metode pembobotan alternatif dalam pembagian dana alokasi umum. yaitu studi kasus di Propinsi D.I Yogyakarta. Penelitian ini memfokuskan pada masalah tentang faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pendistribusian DAU, menentukan skala prioritas atau bobot dari masing-masing variabel penentu DAU,  merancang formulasi pendistribusian Dana Alokasi Umum untuk daerah propinsi secara integratif menurut perpektif daerah, membuat simulasi pengalokasian DAU untuk daerah propinsi dan menemukenali dampak pendistribusian DAU terhadap kondisi keuangan daerah.


Berdasarkan berbagai hasil penelitian tersebut, tentu saja akan ada persamaan yang tidak mungkin dihindari. Namun beberapa aspek yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya misalnya fokus pembahasan masalah pada faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja rutin untuk dinas/unit kerja yang ada. Disadari bahwa setiap daerah  memiliki permasalahan yang hampir sama yaitu kurangnya kemampuan keuangan daerah dalam membiayai kebutuhannya baik untuk belanja rutin maupun belanja pembangunan.


Perbedaan yang mendasar dalam penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya terletak pada  tempat di mana penelitian ini dilaksanakan, tahun pengamatan dan data yang digunakan, yaitu di Kabupaten Nganjuk. Di samping itu tentu tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penelitian ini, penelitian-penelitian lainnya dijadikan sebagai referensi atau bahan masukan dalam penelitian ini.


1.3  Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1     Tujuan penelitian


 Dari permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.




  1. Untuk mengetahui proporsi realisasi pembiayaan Belanja Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk masing-masing urusan terhadap total Belanja Rutin pada Tahun Anggaran 2001-2002.

  2. Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pengalokasian dana belanja rutin terhadap jumlah anggaran belanja rutin di masing-masing unit kerja yang ada di Kabupaten Nganjuk Tahun Anggaran 2001-2002.


1.3.2  Manfaat penelitian


 Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini antara lain :




  1. sebagai bahan referensi bagi pemerintah daerah khususnya Kabupaten Nganjuk dalam menetapkan anggaran belanja daerah terutama dalam alokasi belanja rutin pada masing-masing unit kerja;

  2. sebagai bahan kajian dan informasi tambahan bagi pihak yang akan melakukan penelitian lebih lanjut.

0 komentar:

Posting Komentar