KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN LIMAPULUH KOTA 1991/1992 – 2002

BAB I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang (Bratakusumah, Solihin; 2001:1)


Penetapan Undang-undang Nomor 22  Tahun 1999  tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan  keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menandai  dimulainya  otonomi, di mana daerah diberi kewenangan  untuk mengatur  dan mengurus rumahtangganya sendiri. Kewenangan  Daerah mencakup kewenangan  dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,   moneter   dan     fiskal,   agama  serta     kewenangan   bidang lainnya (Pasal 7 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999).


Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah merubah paradigma power sharing sebagai dasar filosofis dalam pengaturan otonomi daerah. Kalau Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih memposisikan daerah sebagai client Pusat dalam penentuan isi otonominya dengan nuansa Top Down, maka Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan loop-hole bagi daerah untuk mereaktualkan otonominya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang lebih bernuansa  bottom up dalam penentuan isi otonomi daerah (Suwandi.M, 2000:37)


 Prinsip otonomi yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mempunyai implikasi  langsung terhadap kemampuan keuangan daerah, kesiapan sumber daya manusia dan sumber daya alam, dalam menjalankan roda pemerintahan  dan kelanjutan pembangunan. Prinsip-prinsip  pemberian otonomi daerah  dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 (Adisubrata, 1999:11) adalah:




  1. penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokratisasi dan dengan  memperhatikan keanekaragaman daerah;

  2. pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas dalam arti  penyaluran kewenangan pemerintah  yang secara nyata dilaksanakan di daerah;

  3. pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh  diletakkan di Kabupaten dan Kota, sedangkan otonomi daerah propinsi adalah otonomi terbatas;

  4. pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah;

  5. pelaksanaan otonomi daerah harus lebih  mengutamakan kemandirian  daerah otonom sehingga dalam daerah Kabupaten dan Kota tidak ada lagi wilayah administrasi atau kawasan khusus, yang dibuat oleh Pemerintah  atau pihak lain seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pelabuhan udara, kawasan perkotaan baru, kawasan pertambangan dan semacamnya;

  6. pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai lembaga pengawas  atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dijalankan oleh lembaga eksekutif daerah;

  7. pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan yang tidak diserahkan kepada daerah.


Pada Penjelasan Undang-undang  Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dikemukakan sebagai berikut:




  1. untuk menyelenggarakan  Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diperlukan  kewenangan dan kemampuan  menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan  keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan  prasyarat dalam sistem Pemerintahan Daerah;

  2. dalam rangka menyelenggaraan otonomi daerah, kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan Pemerintahan menjadi kewenangan Daerah.


Sagir. S (1999:3) realisasi otonomi daerah, khususnya Dati II, yang telah dimulai dengan Dati II percontohan, masih menghadapi lima variabel kelemahan :




  1. kemampuan keuangan PAD/APBD;

  2. kesiapan aparatur (SDM);

  3. kemampuan ekonomi daerah, makro (PDRB);

  4. kondisi demografis/populasi;

  5. Partisipasi masyarakat.


Lebih lanjut Sagir. S (1999:3) mengemukakan, data kemampuan keuangan Dati II, dilihat dari kontribusi PAD terhadap APBD menunjukkan:

































  1. 208 Dati II (71,23%)


Kontribusi PADnya0% s/d 10% APBD


  1. 122 Dati II (41,78%)


Kontribusi PADnya>10% s/d 20% APBD


  1. 65 Dati II (22,26%)


Kontribusi PADnya>20% s/d 40% APBD


  1. 19 Dati II (6,51%)


Kontribusi PADnya>40% s/d 50% APBD


  1. 2 Dati II


Kontribusi PADnya> 50% APBD

 Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan, Pamudji. S, seperti yang dikutip oleh Kaho (2001:125)  mengemukakan keuangan inilah yang  merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah  dalam mengurus rumahtangganya sendiri. Kemampuan daerah dimaksud dalam arti seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri  guna membiayai kebutuhannya tanpa harus selalu menggantungkan  diri pada bantuan dan subsidi pemerintah  pusat. Lebih lanjut  Kaho (2001:124) salah satu kriteria penting untuk mengetahui  secara nyata kemampuan  daerah dalam mengatur dan mengurus rumahtangganya adalah kemampuan  self-supporting dalam bidang keuangan, dengan perkataan lain, faktor  keuangan merupakan faktor esensial  dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.


Dalam hubungannya dengan keuangan daerah, maka ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya adalah pada Pasal 79 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana disebutkan  sumber pendapatan daerah terdiri atas :


a. pendapatan asli daerah, yaitu:

  1. hasil pajak daerah,

  2.  hasil retribusi daerah,

  3. hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

  4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;


b. dana perimbangan;

c. pinjaman daerah; dan

d.  lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Ketentuan pada pasal 79  Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah ketentuan pokok yang kemudian dilanjutkan dengan ketentuan pasal 80 yang menyatakan bahwa:


1. Dana perimbangan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, terdiri atas:




  1. bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari  sumber daya alam;

  2. dana alokasi umum; dan

  3. dana alokasi khusus.


Ketentuan lebih lanjut perihal dana perimbangan  diatur dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.


Insukindro dkk (1994:1) dalam kaitannya dengan  pemberian otonomi yang lebih besar kepada daerah (khususnya Dati II) dalam merencanakan, menggali  dan menggunakan keuangan daerah sesuai kondisi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dipandang sebagai  satu indikator atau kriteria  untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD  kepada APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat.


 Dalam rangka  implementasi Undang-undang Nomor 22 dan Undang-undang Nomor 25  tahun 1999, salah satu faktor yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah adalah  kemampuan keuangan daerah. Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah tersebut adalah indikator desentralisasi fiskal. Indikator desentralisasi fiskal  adalah rasio antara  PAD dengan total pendapatan daerah  (Kuncoro, 1995 : 8).


Lebih lanjut  Kuncoro (1995:12-14) mengemukakan penyebab tingginya ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat adalah:




  1. kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah;

  2. tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan;

  3. kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan  sebagai sumber penerimaan;

  4. bersifat politis,  berkaitan dengan kekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme;

  5. “kelemahan” dalam pemberian subsidi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.


Hirawan, seperti yang dikutip oleh  Insukindro dkk (1994), selama ini PAD Dati I dan II secara keseluruhan  masih merupakan bagian yang relatif kecil dan bahkan hanya sekitar 4 persen dari seluruh penerimaan negara. Ini merupakan indikasi yang nyata mengenai ketergantungan daerah kepada pusat.  Pada sisi lain kemampuan pemerintah pusat juga mulai terbatas.


Sesuai dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999, bahwa titik berat otonomi berada pada daerah Kabupaten dan Kota, maka kedudukan pendapatan asli daerah Kabupaten dan Kota dalam membiayai sendiri kebutuhan rumahtangganya menjadi sangat penting,  termasuk bagi Kabupaten Limapuluh Kota. Untuk itu diperlukan suatu studi guna menganalisis kemampuan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi di Kabupaten Limapuluh Kota.


Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan  yang muncul dalam menganalisis kemampuan keuangan di Kabupaten Limapuluh Kota adalah rendahnya kemampuan keuangan daerah sehingga PAD belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Karena itu perlu dilakukan  analisis seberapa jauh tingkat/derajat kemampuan keuangan daerah Kabupaten Limapuluh Kota dalam melaksanakan otonomi daerah.


1.2  Keaslian Penelitian


Penelitian mengenai kemampuan keuangan daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi, telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah:




  1. Devas dkk (1989:26) dari penelitian terhadap 277 Daerah Tingkat II di Indonesia (tidak termasuk DKI dan Timor Timur), dari Dati II secara keseluruhan, pola sumber penerimaannya adalah pendapatan asli daerah sendiri  menyumbang  10 persen dan penerimaan diarahkan 6 persen, yang berasal dari bantuan 82 persen  dan 2 persen dari pinjaman.

  2. Insukindro, dkk (1994) mengemukakan peranan PAD terhadap APBD, pada umumnya  masih rendah, dan penentuan target hanya memperhatikan  realisasi periode sebelumnya, kurang memperhatikan potensi yang ada.

  3. Kuncoro, (1995)  meneliti tentang desentralisasi fiskal di Indonesia, mengemukakan  bahwa  realitas hubungan fiskal antara pusat dan daerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas  terlihat dari   rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD)  terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), dibandingkan  dengan besarnya subsidi (Grants) yang di drop dari pusat.

  4. Mardiasmo dan Makhfatih (2000) dari hasil penelitian di Kabupaten Magelang, dapat disimpulkan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap sumbangan dan bantuan pemerintah pusat serta pemerintah propinsi masih sangat tinggi,  dengan otonomi, daerah harus berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), terutama dari pajak daerah dan retribusi daerah.

  5. Mubyarto dkk (2000:5), berdasarkan hasil penelitiannya, dari 26 propinsi hanya 2 propinsi, yakni Jawa Barat dan Bali yang proporsi PADnya melampaui 50 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.


Penelitian-penelitian  tersebut umumnya membahas masalah hubungan antara PAD dengan kemampuan keuangan daerah, yaitu masih rendahnya peranan/kontribusi PAD dalam mendukung keuangan daerah. Disadari bahwa setiap daerah  memiliki permasalahan yang hampir sama yaitu rendahnya peranan PAD dalam membiayai kebutuhan daerah,  pada sisi lain setiap daerah  di Indonesia memiliki potensi penerimaan yang berbeda, karena adanya perbedaan potensi sumber daya alam dan tingkat ekonomi.


Perbedaan yang mendasar dalam penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya terletak pada  tempat di mana penelitian ini dilaksanakan yaitu di Kabupaten Limapuluh Kota. Kemudian juga penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data tahun 1991/92 sampai 2002.


1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini nantinya  adalah sebagai berikut:




  1. untuk menghitung dan menganalisis pertumbuhan peran  PAD terhadap TPD Kabupaten Limapuluh Kota;

  2. untuk menghitung dan menganalisis Derajat Otonomi Fiskal (DOF) Kabupaten Limapuluh Kota;

  3. untuk menghitung dan menganalisis tingkat ketergantungan Kabupaten Limapuluh Kota kepada pemerintah pusat melalui rasio Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Bantuan terhadap TPD;

  4. untuk menghitung dan menganalisis Index Kemampuan Rutin (IKR) atau rasio PAD terhadap belanja rutin Kabupaten Limapuluh Kota;

  5. untuk menghitung proyeksi peran komponen-komponen APBD Kabupaten Limapuluh Kota untuk tiga tahun kedepan (2003 - 2005).


1. 4  Manfaat Penelitian.


Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:




  1. sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluh Kota dalam  memberi arah atau alternatif kebijakan yang berkaitan dengan  pendapatan asli daerah;

  2. agar bermanfaat dalam memperkaya kajian tentang keuangan daerah khususnya mengenai kemampuan keuangan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dengan melihat peranan dan pertumbuhan  pendapatan asli daerah terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah;

  3. sebagai informasi bagi pihak lain  untuk penelitian lebih lanjut.

0 komentar:

Posting Komentar