KINERJA KEUANGAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT 1995/1996–2001

BAB  I


PENGANTAR


1.1 Latar Belakang Masalah


Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah  dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, maka pemerintah daerah dituntut untuk lebih menyiapkan diri  dalam memasuki era globalisasi terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi dalam persaingan, baik persaingan dari luar negeri maupun persaingan  yang  datang dari dalam negeri sendiri. Untuk menghadapi persaingan  tersebut, daerah membutuhkan suatu sistem pemerintahan yang baik (good governance).


UNDP dalam Mardiasmo (2002 ) menyatakan, bahwa karakteristik good governance meliputi: pertama participation, yaitu keterlibatan dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Kedua, rule of law artinya adanya kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan  tanpa pandang bulu. Ketiga, transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi.  Informasi  yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh bagi mereka yang membutuhkan.  Keempat, Responsiveness. Lembaga-lembaga publik  harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholders. Kelima, Consensus orientation. Berorientasi  pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. Keenam, Equity. Setiap masyarakat memilik kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan  dan keadilan. Ketujuh, Effciency and effectiveness. Pengelolaan sumber  daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil  guna (efektif). Kedelapan, Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. Kesembilan, Strategic vision. Penyelenggara pemerintah  dan masyarakat harus memiliki visi jauh  ke depan.


Dalam mengelola anggaran negara dan daerah di tengah krisis ekonomi seperti saat ini sungguh sangat berat, karena sumber-sumber penerimaan dalam kondisi sangat terbatas. Untuk mengurangi defisit anggaran dari sisi penerimaan diperlukan inovasi dan kerja keras dari seluruh aparat pemerintah untuk mencari dan menggali lagi sumber-sumber penerimaan baru secara  adil dan tidak merugikan kepentingan masyarakat, sedangkan dari sisi pengeluaran harus berdasarkan pada konsep value for money, artinya dalam mencari dana maupun menggunakan dana pemerintah daerah dituntut selalu menerapkan prinsip 3E (Ekonomi, Efisien, dan Efektif). Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk selalu memperhatikan setiap  rupiah dana yang diperoleh dan digunakan.


Selama ini manajemen keuangan daerah masih memprihatinkan. Anggaran daerah, khususnya pengeluaran daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam mendorong laju pembangunan di daerah. Di sisi lain banyak ditemukan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya tidak dilakukan secara prudent (hati-hati), sehingga kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Hal ini disebabkan kualitas perencanaan anggaran daerah relatif lemah. Perencanaan anggaran yang lemah juga diikuti dengan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan. Sudah merupakan suatu keharusan di era otonomi ini pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel, sehingga akan dapat meningkatkan kinerja bagi pemerintahan daerah. Untuk itu pemerintah daerah harus melakukan optimalisasi anggaran dan mengelola sumber daya publik secara ekonomis, efisien, dan efektif dalam usaha meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Di bawah ini dapat kita lihat pada tabel 1.1 yaitu struktur penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  (APBD) Propinsi Sumatera Barat pada tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan tahun anggaran 2001.


Tabel 1.1


Struktur Penerimaan APBD Propinsi Sumatera Barat 1995/1996 s/d 2001 (Rp.000)






































































Tahun AnggaranSisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun  LaluPendapatan Asli Daerah (PAD)Bagi Hasil Pajak/ Bukan Pajak (BHP/BP)Jumlah

Bantuan/ DAU/DAK
Jumlah
1995/199613.021.782  56.411.936   9.632.720  64.758.390143.824.828
1996/199718.979.379  60.360.923 14.004.714  73.774.657167.119.673
1997/199814.833.290  64.300.420 16.358.006  81.205.029176.696.745
1998/1999  7.160.608  43.958.325  21.213.796  93.314.468165.647.197
1999/200016.930.176  60.441.918  23.477.113134.009.925234.859.132
        200035.540.164  85.157.383  23.406.592149.492.343293.596.482
        200164.182.746140.763.200  35.888.546227.681.765468.516.257

Sumber : Biro Keuangan Propinsi Sumatera Barat,  Perhitungan APBD, 1995/1996-2001


Tabel 1.1 menunjukkan penerimaan daerah Propinsi Sumatera Barat selama tahun anggaran 1995/1996 sampai  tahun 2001 menunjukkan peningkatan. Dari tahun 1995/1996 sampai tahun 2001, penerimaan  sumbangan/bantuan pemerintah pusat ke daerah masih mendominasi APBD Propinsi Sumatera Barat dibandingkan  dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penerimaan bagi hasil  pajak/bukan pajak meningkat dari Rp23.406.592.000,- tahun 2000 menjadi Rp35.888.546.000,- pada tahun 2001.


Penerimaan daerah tertinggi terjadi pada tahun  anggaran 2001, yaitu  sebesar        Rp468.516.257.000,- dan penerimaan terendah terjadi pada tahun anggaran 1995/1996, yaitu sebesar Rp143.824.828.000,-. Pada tahun anggaran 2001 terdapat sisa lebih perhitungan anggaran  tahun lalu yang cukup besar, yaitu  Rp64.182.746.000,- atau 13,7 % dari total APBD. Secara  keseluruhan sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu sesungguhnya mencerminkan suatu kegagalan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Sisa anggaran ini sebenarnya bukan merupakan hasil usaha pemerintah daerah seperti PAD, melainkan tunggakan anggaran tahun lalu. Pada tahun 2001, PAD yang diterima pemerintah daerah  Propinsi Sumatera Barat mengalami kenaikan yang cukup menggembirakan, yaitu dari Rp85.157.383.000,- pada tahun 2000 menjadi Rp140.763.200.000,- pada tahun  2001 atau meningkat sebesar 60,5 %. Kenaikan yang cukup signifikan ini diterima dari pajak daerah, yaitu naik dari Rp70.812.268.000,- tahun 2000 menjadi Rp109.377.071.000,- tahun 2001.


Tabel 1.2


Realisasi Pengeluaran APBD Sumatera Barat 1995/1996 s/d 2001


(Rp. 000)























































Tahun Anggaran



Belanja Rutin



Belanja Pembangunan



Jumlah


1995/1996

70.312.593



54.532.856



124.845.449


1996/1997

80.811.077



71.475.306



152.286.383


1997/1998

92.702.051



76.834.086



169.536.137


1998/1999

85.339.568



63.377.453



148.717.021


1999/2000

107.387.398



91.931.570



199.318.968


2000

112.350.158



117.063.577



229.413.735


2001

258.617.738



131.111.709



389.729.447



Sumber : lihat tabel 1.1


Dari tabel 1.2 terlihat selama  tujuh tahun anggaran, bahwa pengeluaran daerah Propinsi Sumatera Barat masih di dominasi belanja rutin, kecuali pada tahun 2000 di mana belanja pembangunan menyerap dana sebesar Rp117.063.577.000,- dibanding belanja rutin sebesar Rp112.350.158.000,- atau 51,02 % dari jumlah pengeluaran. Dalam hal ini untuk menghasilkan tingkat pelayanan publik dengan baik dan sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat, maka alokasi belanja pembangunan harus dioptimalkan dengan cara memprioritaskan instansi pemerintah yang lebih berorientasi pada kepentingan publik dan melakukan efisiensi dalam penggunaan anggaran belanja rutin dan pembangunan.


Sesuai dengan Instruksi Presiden nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat telah membuat Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang menjelaskan kinerja pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat sesuai dengan program kerja yang tertuang dalam Renstra dengan tingkat pencapaian kinerja berdasarkan program rata-rata baik, yaitu sebesar 73,85 %. Dalam hal, ini dana yang dialokasikan untuk mendukung tujuan dan sasaran program strategis pada tahun 2001 sebesar Rp138.368.502.000,- namun untuk mencapai kinerja sebesar 73,85 % di atas hanya menghabiskan dana sebesar Rp131.111.709.379,- atau   94,76 % dari dana yang direncanakan . Hasil pencapaian kinerja ini belum optimal. Banyak faktor yang menyebabkan belum optimalnya pencapaian kinerja di atas. Salah satu faktor tersebut antara lain realisasi anggaran yang sangat berdekatan dengan akhir tahun anggaran 2001, sehingga ada kegiatan-kegiatan yang tidak terealisir sampai dengan akhir tahun anggaran 2001.


Berdasarkan rumusan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana  kinerja pengelolaan keuangan daerah Propinsi Sumatera Barat selama tahun 1995/1996-2001. Apakah  telah menunjukkan kinerja anggaran (performance budgeting) yang baik  sesuai dengan prinsip value for money (VFM)  dan berorientasi publik ?  Mengingat masalah yang dibahas mengenai kinerja pengelolaan keuangan daerah Propinsi Sumatera Barat sangat luas, maka dengan tidak bermaksud mengurangi objek penelitian secara keseluruhan, penelitian ini dibatasi hanya pada masalah penerimaan daerah dan belanja Propinsi Sumatera Barat  selama tujuh tahun anggaran, yaitu tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan 2001.


1.2  Keaslian Penelitian


Berbagai penelitian mengenai aspek yang berhubungan dengan keuangan telah dilakukan banyak peneliti :




  1. Lains (1985), meneliti tentang keuangan dan pembangunan daerah di Sumatera Barat. Menurut Lains, kemampuan pembiayaan dengan PAD dalam pelaksanaan pembangunan  daerah sangat kecil atau dengan kata lain sebagian  besar pembiayaan daerah  dibiayai oleh pemerintah pusat. Kecilnya proporsi pendapatan asli daerah terhadap total penerimaan  daerah antara lain karena jenis-jenis pajak yang  menjadi hak daerah kurang potensial. Lains menyarankan perlu adanya desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan serta sistem pajak dengan pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah.

  2. Kuncoro (1995), mengamati masalah rendah PAD terhadap total penerimaan daerah di 27 propinsi di Indonesia, selama tahun 1984/1985–1990/1991, sehingga menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat dan menganjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang relatif luas sehingga daerah mampu menggali sumber–sumber keuangannya sendiri dan memanfaatkannya dengan optimal.

  3. Medi (1996), meneliti kinerja pengelolaan keuangan daerah, bahwa untuk mencapai efisiensi pengelolaan keuangan daerah, maka pengeluaran–pengeluaran   yang  tidak   bermanfaat   sedapat  mungkin  dikurangi,


dan untuk mencapai efektivitas perlu menggali sumber–sumber pendapatan baru.




  1. Nazara (1997), meneliti tentang struktur penerimaan daerah tingkat propinsi di Indonesia mengatakan, bahwa secara keseluruhan ketergantungan propinsi–propinsi terhadap dana sumbangan/bantuan pemerintah pusat masih cukup besar, lebih dari setengah sumber penerimaan propinsi-propinsi di Indonesia berasal dari pemerintah pusat. Hal tersebut membuktikan bahwa  peranan pemerintah pusat dalam struktur keuangan Pemerintah Daerah Tingkat I /Propinsi di Indonesia masih dominan

  2. Yoingco dan Guevara (1997), meneliti tentang reformasi anggaran pada pemerintah pusat dan daerah di Philipina, di mana salah satu bentuk reformasi anggaran adalah pentingnya menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja (performance budgeting). Penggunaan performance budgeting ini, pihak legislatif dapat menguji anggaran belanja eksekutif dan sekaligus mengevaluasi kinerja lembaga eksekutif. Pada tahun 1979, telah dilakukan survei mengenai penggunaan anggaran kinerja oleh masing-masing pemerintah daerah di Philipina. Hasilnya, sekitar 70 % telah menggunakan anggaran kinerja. Namun ada beberapa faktor yang menjadi kendala, yaitu kurangnya staf anggaran yang kompoten, kurangnya pelatihan dalam menerapkan anggaran kinerja, dan kurangnya koordinasi antar instansi atau lembaga yang ada dalam pemerintah daerah, sehingga tidak ada integrasi horizontal dalam perencanaan.

  3. Gaffar (2000) mengamati, bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diharapkan lebih menekankan kepada mekanisme yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam bidang keuangan, karena dengan kewenangan tersebut, uang akan dapat dicari semaksimal mungkin (follow function), tentu saja dengan memperhatikan potensi daerah serta kemampuan aparat pemerintah untuk mengambil inisiatif guna menentukan mana sumber dana yang dapat digali dan mana yang secara potensial dapat dikembangkan.

  4. Halim (2001), meneliti tentang anggaran daerah propinsi di Indonesia mengatakan, bahwa selama ini pemerintah propinsi telah melakukan pembangunan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional. Untuk membiayai pembangunan tersebut diperlukan dana yang besar. Oleh sebab itu, pemerintah daerah propinsi dipacu untuk meningkatkan kemampuan seoptimal mungkin di dalam membelanjai urusan rumah tangga sendiri. Peningkatan kemampuan tersebut dilakukan dengan cara menggali segala sumber dana/penerimaan yang potensial yang ada di daerah masing-masing. Sumber dana yang dapat digali lebih lanjut adalah PAD yang mencakup pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, penerimaan dari dinas-dinas, dan lain-lain usaha daerah yang sah. Peningkatan proporsi PAD terhadap APBD selanjutnya diharapkan meningkat, dan sebaliknya proporsi sumbangan dan bantuan diharapkan menurun, sehingga tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin berkurang. Dengan demikian pemerintah daerah propinsi harus selalu melakukan penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah masing-masing.

  5. Mardiasmo (2001), membahas pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik menyimpulkan, bahwa line-item dan incrementalism sebaiknya diganti dengan model yang lebih baik, agar anggaran daerah lebih dekat dengan gerak dinamis kebutuhan dan prioritas masyarakat.


Dari berbagai hasil penelitian tersebut di atas, sudah tentu terdapat persamaan  yang  tidak mungkin dapat dihindari dalam penelitian ini. Namun ada beberapa aspek


yang membedakan penelitian ini, seperti daerah penelitian, obyek penelitian, periode penelitian, dan alat analisis. Selain itu juga belum ada peneliti yang melakukan penelitian mengenai bagaimana kinerja keuangan daerah Propinsi Sumatera Barat selama tujuh tahun, yaitu dari tahun 1995/1996–2001.


1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :




  1. mengetahui kinerja keuangan daerah Propinsi Sumatera Barat dilihat dari proporsi komponen belanja rutin terhadap total belanja rutin, proporsi sektor belanja pembangunan terhadap total belanja  pembangunan, efektivitas pengelolaan keuangan daerah selama periode 7 tahun, dari tahun 1995/1996 sampai  2001;

  2. mengetahui seberapa besar tingkat kemandirian keuangan daerah dan ketergantungan keuangan terhadap pemerintah pusat selama periode penelitian dilakukan.


1.3.2 Manfaat penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian  ini adalah :




  1. dapat memperkaya  kajian tentang kinerja keuangan  daerah Propinsi Sumatera Barat dalam melaksanakan  otonomi daerah;

  2. hasil  penelitian  ini  diharapkan  dapat  memberikan  sumbangan  pemikiran     bagi  pemerintah   daerah  Propinsi Sumatera   Barat  dalam   rangka   untuk   lebih meningkatkan kinerja keuangan daerah di masa yang akan datang;

  3. dapat menjadikan masukan bagi rekan-rekan yang berminat dan  tertarik memperdalam penelitian  tentang  keuangan daerah;

  4. dapat memberikan informasi pada masyarakat  tentang keadaan kinerja keuangan di pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat.

0 komentar:

Posting Komentar