APLIKASI MODEL STANDAR ANALISA BELANJA PADA BAGIAN SEKRETARIAT BAPPEDA KOTA BITUNG TAHUN ANGGARAN 2002

BAB I


PENGANTAR


1.1        Latar Belakang


Selama ini kualitas perencanaan pengeluaran belanja di pemerintahan daerah masih relatif lemah. Kelemahan pokok tersebut terutama ada di tahap penentuan prioritas dan tahap penentuan besar alokasi dana. Pada identifikasi kegiatan untuk penyusunan prioritas, daerah umumnya belum melakukannya tetapi menyesuaikannya dengan arahan prioritas kebijakan pemerintah pusat. Penyebabnya adalah karena otonomi/kemandirian daerah masih relatif terbatas yaitu beberapa kewenangan sudah didelegasikan tetapi secara finansial daerah masih sangat tergantung pada bantuan dan sumbangan dari pemerintah atasan.


Pada penentuan besar alokasi dana, pendekatan yang biasa digunakan adalah pendekatan incrementalism, yaitu berdasarkan perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi. Bila tingkat inflasi meningkat, maka besar alokasi dana untuk tiap kegiatan akan meningkat sebesar sekian persen dari besar alokasi semula sedangkan analisis yang mendalam untuk mengetahui struktur, komponen dan tingkat biaya tertentu untuk setiap kegiatan belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu adanya studi seperti ini sehingga menjamin teridentifikasinya jumlah kebutuhan alokasi dana yang lebih akurat sesuai dengan kebutuhan riil dari seluruh kegiatan.


Lemahnya perencanaan pengeluaran itu akhirnya memunculkan kemungkinan underfinancing atau overfinancing, yang kesemuanya mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja pemerintahan daerah. Pada umumnya, untuk unit kerja yang mengalami underfinancing masalah utama yang dihadapinya adalah rendahnya kemampuan program kerja untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan publik sesuai dengan standar minimal tertentu sedangkan untuk unit kerja yang menikmati overfinancing, masalah yang dihadapi adalah efisiensi yang rendah. Dalam situasi seperti ini banyak layanan publik yang dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara dana pada anggaran daerah, yang pada dasarnya merupakan dana publik, habis dibelanjakan seluruhnya. Pada akhirnya keseluruhan kondisi seperti ini jelas telah menurunkan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses peningkatan taraf hidup masyarakatnya secara berkesinambungan.


Di era reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas telah mengakibatkan semakin kuatnya tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan kepemerintahan yang baik, menuju pada terwujudnya good governance. Pelaksanaan kepemerintahan yang lebih baik tersebut tidak terbatas pada pemerintah tingkat pusat tetapi juga pada pemerintah daerah. Dengan demikian, disadari atau tidak, good governance telah menjadi suatu paradigma baru yang sangat didambakan oleh masyarakat luas agar dapat diterapkan dalam kepemerintahan kita.


Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang  Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah memberikan angin segar dan kekuatan baru bagi pengembangan otonomi pemerintah daerah. Kejelasan arah yang ingin dicapai dan fleksibilitas yang diberikan pun sudah lebih besar dari yang sebelumnya.


Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 22 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, menurut Kunarjo (1993) suatu negara pada hakekatnya mengemban       3 (tiga) fungsi utama yaitu fungsi alokasi yang meliputi antara lain, alokasi dana untuk sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan atau jasa pelayanan masyarakat; fungsi distribusi yang meliputi antara lain, kebijakan pemerintah dalam hal pemerataan pembangunan, pendapatan dan kekayaan, dimaksudkan agar dapat mengurangi tingkat kesenjangan dalam masyarakat;  fungsi stabilisasi yang meliputi  antara lain, pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter agar terpelihara kesempatan kerja yang tinggi, kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai.


Salah satu tanggung jawab yang sangat penting adalah pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah, di mana sumber-sumber penerimaan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh masyarakat secara transparan sehingga tidak menimbulkan ekses negatif dimasyarakat yang dapat menimbulkan gejolak sosial. Mardiasmo (2000: 11) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang merupakan instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah dimana sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Sementara pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjwaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.


Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang mendukung akuntabilitas publik. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan adanya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran.  Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tersebut menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.


Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pada pasal 2 menyatakan Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan satu kesatuan dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan. Dalam Penelitian ini difokuskan pada belanja Daerah sebagaimana perencanaan anggaran belanja sekarang ini pengelolaannya berada pada tiap unit kerja yang ada, baik dilingkungan Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD maupun Dinas/Badan di lingkungan Pemerintah Daerah. Dengan demikian tanggung jawab pengelolaan anggaran mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan berada pada masing-masing unit kerja/instansi.


Anggaran belanja  Pemeritah Daerah Kota Bitung Propinsi Sulawesi Utara selama ini dikelola  masih menggunakan pendekatan  pada sistem Line Item Budget dan incremental yang berorientasi pada input. Pendekatan line item budget, adalah perancangan anggaran yang didasarkan item yang telah ada pada masa lalu. Pendekatan ini tidak memungkinkan pemerintah daerah untuk menghilangkan satu atau lebih item pengeluaran yang telah ada, sekalipun keberadaan item pengeluaran tersebut secara riil tidak dibutuhkan oleh unit kerja yang bersangkutan. Incremental adalah besarnya dana yang dianggarkan untuk tahun yang akan datang adalah berdasarkan besarnya dana yang dianggarkan pada tahun berjalan ditambah dengan sejumlah persentase tertentu. Dengan demikian, nilai tahun berjalan dijadikan sebagai dasar penentuan besarnya pengeluaran untuk anggaran tahun berikutnya. Konsekuensi logis dari kedua pendekatan ini adalah terjadinya overfinancing atau underfinancing pada suatu unit kerja, yang pada akhirnya tidak mencerminkan pada pelayanan publik yang sesungguhnya dan cenderung terjadi pemborosan. Kondisi tersebut memungkinkan kinerja Pemerintah Daerah Kota Bitung dalam pengelolaan anggaran  kurang dapat dipertanggungjawabkan terhadap publik. Salah satu yang dapat dijadikan tolok ukur akan hal tersebut adalah terserapnya seluruh dana setiap tahun namun tidak sepenuhnya target dari kegiatan yang dilaksanakan dapat terealisir.


Menyadari kelemahan tersebut dan agar pengeluaran anggaran daerah berdasarkan pada kewajaran ekonomi, efisien dan efektif (value for money) maka sistem penganggaran disusun berdasarkan pendekatan anggaran kinerja (performance budget), standar pelayanan dan berorintasi pada output–outcome. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, maka nantinya anggaran daerah akan lebih transparan, adil dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai yang diamanatkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002. Untuk menyusun anggaran daerah dengan pendekatan kinerja diperlukan tolok ukur kinerja yang kemudian diterjemahkan melalui berbagai program dan kegiatan yang dapat ditentukan satuan ukur dan target kinerja serta standar analisis belanja .


Sejalan dengan pokok pikiran yang dikemukakan di atas, permasalahan pokok yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kota Bitung sekarang ini adalah belum tersedianya standar analisis belanja  dalam pengalokasian anggaran belanja kepada masing-masing unit kerja  dalam struktur organisasi Pemerintah Kota Bitung yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penelitian ini mencoba melakukan penghitungan standar analisis belanja terhadap belanja pemerintah dengan mengambil salah satu bagian pada unit kerja Bappeda Kota Bitung yang difokuskan pada Bagian Sekretariat tahun anggaran 2002.


Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana mengukur dan menghitung anggaran belanja  pada Bagian Sekretariat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bitung yang secara garis besar mengacu pada pengembangan Standar Analisa Belanja (SAB) mikro yaitu penentuan standar plafon/batas atas belanja, sehingga tercapai nilai wajar dan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan daerah dalam memenuhi kebutuhan pelayanan  dan akuntabilitas pada  publik.


1.2   Keaslian Penelitian


Untuk melakukan penelitian ini dapat dikemukakan beberapa penelitian terdahulu sebagai berikut.


Penelitian tentang kebutuhan anggaran penyediaan pelayanan publik telah banyak dilakukan. Ma (1997) meneliti dan mengembangkan alat analisis kebutuhan berdasarkan kategori pengeluaran yang meliputi pengeluaran pendidikan, kesehatan, transportasi, kesejahteraan sosial, kebakaran, konservasi lingkungan dan jasa lainnya di sembilan negara termasukIndonesia. Studi oleh Ma untuk penentuan kebutuhan fiskal daerah lebih bersifat absolut dan lebih mikro.Adadua tahapan yang dilakukan untuk menentukan kebutuhan fiskal daerah yaitu, tahap pertama klasifikasi atau kategori pengeluaran daerah dan tahap kedua penghitungan kebutuhan pengeluaran untuk setiap kategori. Aplikasi terhadap model Ma dalam kerangka hubungan pemerintah daerah dan unit kerja akan menghasilkan SAB makro


Penelitian sejenis di Indonesia telah dilakukan oleh Indrajaya (2000) yang menilai bahwa pengeluaran  pada infrastruktur di Kabupaten Sleman cendrung lebih besar dari kebutuhannya sedangkan kinerja yang dihasilkan oleh pengeluaran pemerintah tersebut masih memberikan kelemahan dan ancaman pada tugas pokok dan fungsi unit kerja yang menangani. Yunasri (2000) mengevaluasi pengeluaran pemerintah yang terjadi pada Dinas Kesehatan dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Yogyakarta yang menunjukkan bahwa pengeluaran Pemerintah Yogyakarta untuk kategori kesehatan mengalami overfinancing. Pengeluaran    pemerintah   untuk kategori kebersihan dan pertamanan mengalami underfinancing.


Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada (2000) mengembangkan model standar analisa belanja mikro (SAB mikro) untuk menghitung besarnya kebutuhan pengeluaran suatu unit kerja. Alat analisis ini dimulai dari tugas pokok dan fungsi suatu unit kerja yang kemudian dijabarkan dalam program dan kegiatan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa anggaran daerah harus mampu menjalankan dua fungsi sebagai instrumen kebijakan dan instrumen manajemen atau teknis operasional anggaran daerah yang berorientasi kepada kepentingan dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.


Wibisono (2001) melakukan penelitian pada Sub Dinas Bina Marga Kabupaten Pemalang untuk menghitung dan menentukan SAB Mikro. Pada tiap aktivitas dalam penyelenggaraan pelayanan masyarakat untuk kategori prasarana jalan, dan untuk mengetahui proporsi belanja administrasi umum, belanja operasional dan pemeliharaan sarana prasarana umum serta belanja modal terhadap total belanja.


Dalam beberapa hal penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang terdahulu terutama pada penggunaan SAB mikro sebagai alat analisisnya. Perbedaan yang mendasar pada penelitian ini terletak pada tempat atau lokasi penelitian yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bitung Propinsi Sulawesi Utara pada Bagian Sekretariatnya. Lebih lanjut, aplikasi model Standar Analisa Belanja di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bitung sampai saat ini  belum pernah dilakukan.


1.3   Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1  Tujuan penelitian


Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:




  1. untuk menentukan Standar Analisa Belanja yang memenuhi kewajaran tiap–tiap aktivitas yang dijalankan oleh Bagian Sekretariat  Bappeda Kota Bitung dalam rangka melaksanakan program-programnya;

  2. untuk menghitung  seluruh  kebutuhan  anggaran  belanja   yang  wajar  sesuai dengan beban kerja (Standar Analisa Belanja) pada Bagian Sekretariat  Bappeda  Kota Bitung;

  3. untuk mengetahui proporsi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja modal.


1.3.2  Manfaat penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan daerah Kota Bitung umumnya dan secara khusus untuk:




  1. bahan acuan dan pertimbangan dalam penyusunan anggaran daerah guna pengambilan keputusan mengenai penetapan belanja pemerintah daerah dalam setiap kegiatan/aktivitas, sehingga alokasi belanja pemerintah tersebut lebih terarah, ekonomis, efektif dan efisien;

  2. penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi  penelitian selanjutnya tentang Implementasi Model Standar Analisa Belanja dalam Penyusunan Anggaran Daerah pada unit kerja yang lain, terutama di Kota Bitung;

  3. turut memperluas khasanah penelitian yang sudah ada, khususnya dalam upaya menentukan Standar Analisa Belanja bagi pemerintah daerah, dalam menerapkan anggaran kinerja sesuai yang diamanatkan dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002.

0 komentar:

Posting Komentar