SIMULASI ANGGARAN BELANJA DAERAH KABUPATEN SLEMAN, 2002 BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2002

BAB I


PENGANTAR


1.1 Latar Belakang


Pada era reformasi saat ini pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah telah menjadi perhatian utama bagi para pengambil keputusan di pemerintahan. Perubahan-perubahan penting dan mendasar telah dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mengakomodasi berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang di daerah dan masyarakat. Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, diharapkan membawa perubahan yang mendasar dalam hubungan tata pemerintahan dan hubungan keuangan, sekaligus membawa perubahan penting dalam pengelolaan anggaran daerah. Misi utama kedua undang-undang tersebut adalah desentralisasi fikal, dan desentralisasi mengemban misi utama berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, dan juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan  ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi (Mardiasmo, 2002:1).


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000, salah satu perubahan yang terjadi dalam pengelolaan APBD adalah timbulnya perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintahan. Inti perubahan ini adalah tuntutan dilaksanakannya “akuntansi” dalam pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, bukan “pembukuan” seperti yang dilaksanakan selama ini (Halim, 2002:5). Pergeseran terhadap pengelolaan keuangan daerah tersebut menuntut kemandirian daerah mengatur rumahtangganya dengan berbagai strategi, alokasi dan perioritas belanja.


Lemahnya perencanaan dalam pengalokasian anggaran belanja    menyebabkan terjadinya inefisiensi kinerja pemerintahan, sehingga ada unit kerja yang kelebihan pembiayaan dan ada pula unit kerja yang kekurangan pembiayaan. Unit kerja yang kelebihan pembiayaan mengakibatkan efisiensi menjadi rendah. Hal ini berdampak pada perekonomian daerah umumnya dan keuangan daerah pada khususnya. Unit kerja yang kekurangan pembiayaan mengakibatkan efektivitas menjadi rendah untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diamanatkan dalam tugas pokok dan fungsi (Tupoksi).


Pengelolaan keuangan demikian mengakibatkan keuangan daerah mengalami tekanan yang berat, apalagi dalam kondisi krisis ekonomi mengakibatkan semakin besarnya kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang disebabkan pula oleh kapasitas fiskal daerah (local fiscal capasity) yang semakin rendah sejalan dengan turunnya aktivitas ekonomi sektor riil. Pada satu sisi sumber pendapatan daerah yang berasal dari pemerintah pusat atau pemerintah atasannya semakin terbatas, di sisi lain kebutuhan fiskal (fiscal need) bertambah terus. Selain itu, belanja pemerintah daerah menjadi semakin besar karena kenaikan harga-harga barang. Kemudian beratnya beban pemerintah daerah dalam menjalankan peran ganda yang disebabkan melemahnya peran swasta dalam menjalankan aktivitasnya.


Secara operasional pengelolaan dan pertanggungjawaban  keuangan daerah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pasal 8  PP tersebut menegaskan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja. Perhatian utama pada sistem anggaran kinerja ditujukan pada segi manajemen anggaran, yaitu dengan memperhatikan baik dari segi ekonomi dan keuangan pelaksanaan anggaran, maupun hasil fisik yang dicapainya (Baswir, 2000:29).  Lebih jauh Baswir mengemukakan  bahwa untuk menilai efisiensi pelaksanaan setiap kegiatan, maka prosedur anggaran ini dikaitkan secara ketat dengan sistem akuntansinya, terutama sistem akuntansi biaya.


Dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002, maka akan berdampak perlu dilakukannya reformasi APBD dengan pendekatan kinerja seperti yang ditegaskan dalam PP 105 sebelumnya. Reformasi anggaran (budgeting reform) meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Untuk menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memenuhi asas tertib, transparansi, akuntabilitas, konsistensi, komparabilitas, akurat, dapat dipercaya dan mudah dimengerti, maka perlu disusun arah dan kebijakan umum APBD.


DPRD dan pemerintah daerah harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai dalam perencanaan dan perumusan kebijakan strategis daerah, termasuk proses dan pengalokasian anggaran belanja daerah agar pelaksanaan berbagai kegiatan pelayanan oleh pemerintah daerah dapat mengakomodasi secara optimal berbagai kepentingan masyarakat dan dilaksanakan secara ekonomis, efisien dan efektif. Untuk meniliai prestasi bupati dan unit organisasi/dinas-dinas yang dipimpinnya, maka perlu penyusunan anggaran yang berorientasi pada pengukuran kinerja.


Mardiasmo (2002:121) mengatakan pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Yaitu bukan sekedar kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien dan efektif .


Halim (2001:19) mengatakan proses anggaran yang telah disepakati antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan amanat rakyat. Ini adalah tantangan untuk menunjukkan bahwa sebagai pihak yang bertanggungjawab akan “kepentingan rakyat” pemerintah daerah dan DPRD harus memposisikan dirinya pada posisi yang tepat. Selain itu, hal tersebut adalah sebuah peluang untuk menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan DPRD bukan sebagai salah satu “penikmat” dana rakyat, tetapi dapat berbagi rasa dengan rakyat dari dana yang “tersedia” bagi daerah.


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas permasalahan dapat secara lebih sederhana dirumuskan, bahwa pengalokasian anggaran belanja pelayanan publik perlu dioptimalkan yang didukung oleh reformasi anggaran serta upaya pemerintah daerah dalam memenuhi aspirasi dan tuntutan masyarakat.


1.2  Keaslian Penelitian


Disadari bahwa cukup banyak penelitian secara mendalam yang berkenaan dengan belanja pemerintah, baik belanja pemerintah pusat maupun belanja  pemerintah daerah. Penelitian-penelitian tersebut, antara lain  sebagaimana dikemukakan berikut ini.


Nugroho (1997) melakukan penelitian mengenai  fenomena  tumpang tindih antara belanja rutin dan belanja pembangunan dalam APBN, melalui pendekatan konsep konsumsi dan investasi sektor publik menyimpulkan  bahwa kriteria rutin atau proyek pada dasarnya memerlukan ketegasan, kesamaan definisi dan visi para pihak terkait dalam melaksanakan tugas  pemerintahan dan pembangunan. Nugroho (1997) lebih lanjut menyimpulkan, meningkatnya anggaran rutin akan selaras dengan hasil pembiayaan pembangunan, misalnya untuk biaya operasional dan pemeliharaan atau pengeluaran untuk menunjang tugas-tugas aparatur dalam rangka memperlancar proses pembangunan.


Jones (2000) meneliti tentang pengembangan teknik-teknik akuntansi sektor publik. Dari penelitian tersebut diperoleh pandangan bagaimana mengembangkan pemikiran aktivitas pekerjaan dari segi uang menjadi segi nilai hasil sosial. Jones (2000) selanjutnya menyimpulkan, bahwa  untuk mengembangkan teknik-teknik akuntansi sektor publik diperlukan mendesain ulang proyek, program dan sektor yang senantiasa dikaitkan dengan struktur organisasi baru yang cenderung berbentuk pelayanan dari suatu kelembagaan otonomi daerah.


Gallhover dan Haslam (2000) melakukan penelitian dengan mengemukakan uraian secara kritis pandangan teori tentang reformasi sistem akuntansi sektor publik di negara-negara Anglo-Saxon.  Gallhover dan Haslam (2000) lebih lanjut menyimpulkan bahwa akuntansi sektor publik memiliki kaitan yang relevan bagi tumbuhnya perekonomian dengan menekankan  terjadinya  efisiensi,  efektivitas serta menumbuhkan keinginan bentuk manajemen baru dan akuntabilitas.


Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi (PAU-SE) Universitas Gadjah  Mada (2000) melakukan penelitian mengenai Pengembangan Model Standar Analisa Belanja (SAB) Anggaran Daerah (APBD). Dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perencanaan anggaran dengan paradigma baru menekankan pada empat hal pokok, yaitu: (1) perubahan pola pertanggungjawaban dari yang semula bersifat vertical accountability menjadi horizontal accountability; (2) perlunya memiliki alat ukur kinerja (performance measurement) untuk mendukung pelaksanaan anggaran kinerja; (3) dilakukannya desentralisasi wewenang hingga ke level unit kerja; dan (4) adanya pusat pertanggungjawaban sebagai basis perencanaan dan pengendalian anggaran yang efisien dan efektif.


Mardiasmo (2001) melakukan studi kasus di enam kota/kabupaten dengan periode amatan 1991/1992 sampai dengan 1995/1996 yang meneliti budgetary slack dan pendekatan anggaran, serta waktu pemberian bantuan menyimpulkan dua hal. Pertama, ketergantungan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah propinsi dan pusat mendorong terjadinya kesenjangan anggaran. Kedua, pendekatan bottom up cenderung menjadi sebuah formalitas belaka karena pemerintah kabupaten/kota dianggap tidak memiliki perencanaan strategik dan prioritas yang jelas.


Penelitian yang dilakukan Supriaji (2002) mengenai beberapa alternatif rumusan pembiayaan proyek investasi sektor publik dalam belanja pembangunan daerah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggolongan belanja pembangunan berdasarkan belanja aparatur dan belanja publik sangat perlu dilakukan, agar dapat memberikan pertanggungjawaban kepada publik. Sesuai hasil analisis menyimpulkan proporsi belanja aparatur sebesar 15,36 persen dan belanja publik 84,64 persen dari total belanja pembangunan yang berjumlah Rp42,072 milyar pada tahun anggaran 2001.


Dari beberapa penelitian yang dikemukakan di atas, dibandingkan dengan penelitian ini terdapat kesamaan pada obyek yang diteliti yaitu mengenai anggaran belanja daerah serta beberapa variabel yang digunakan. Perbedaannya terletak pada wilayah sebagai satuan analisis, periode waktu serta permasalahan. Perbedaaan dalam satuan analisis dan permasalahan penelitian yang akan dianalisis memberikan konsekuensi bagi diperlukannya beberapa penyesuaian pada alat analisis yang digunakan berdasarkan konteks permasalahan penelitian  yang akan dianalisis. Proses penyesuaian inilah yang sudah barang tentu akan membedakan penelitian ini dengan beberapa penelitian seperti yang telah disebutkan di atas.


1.3  Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1     Tujuan penelitian


Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan penelitian pada APBD Kabupaten Sleman tahun 2002 ini adalah untuk mengetahui:




  1. proporsi Belanja Aparatur Daerah terhadap total belanja daerah yang merupakan bagian belanja yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh publik;

  2. proporsi Belanja Pelayanan Publik terhadap total belanja daerah yang merupakan bagian belanja yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara langsung dapat dinikmati oleh publik;

  3. proporsi Belanja Administrasi Umum terhadap total belanja daerah;

  4. proporsi Belanja Operasi dan Pemeliharaan terhadap total belanja daerah;

  5. proporsi Belanja Modal/Pembangunan terhadap total belanja daerah;

  6. proporsi Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan terhadap total belanja daerah;

  7. proporsi Belanja Tidak Tersangka terhadap total belanja daerah.


1.3.2     Manfaat penelitian


Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:




  1. diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, pada pengelolaan keuangan daerah dalam upaya melaksanakan reformasi anggaran, khususnya;

  2. sebagai bahan referensi bagi berbagai pihak yang memerlukan untuk penelitian lebih lanjut.

0 komentar:

Posting Komentar