ANALISIS PENERIMAAN BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DARI IURAN HASIL HUTAN DAN IURAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB  I   


PENGANTAR


1.1   Latar Belakang


               Pada tanggal 4 Mei 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan pada tanggal 19 Mei 1999 telah menetapkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, membawa konsekuensi terhadap penyediaan sumber keuangan yang sebanding dengan banyaknya kegiatan pelayanan pemerintahan di daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kewenangan kabupaten/kota tidak diatur dalam peraturan pemerintah tersebut, karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya telah meletakkan semua kewenangan pemerintahan pada daerah kabupaten/kota.


Sesuai Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang nomor  25 Tahun 1999, penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara untuk  meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat, di mana dalam pelaksanaannya penerapan desentralisasi sebagai wujud dari otonomi daerah juga menimbulkan permasalahan dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, di mana pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing tingkat pemerintahan memerlukan dukungan pendanaan. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat pemerintahan dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing.


               Prinsip dasar pemberian otonomi daerah dimaksudkan atas pertimbangan bahwa daerah lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Atas dasar pertimbangan itu, maka pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan dalam usaha meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Kenyataannya banyak ditemukan bahwa antara beban tugas yang harus dikerjakan oleh daerah tidak seimbang atau tidak konsisten dengan kondisi serta situasi keuangan daerah itu sendiri. Setiap daerah mempunyai karakteristik yang masing-masing berbeda antara satu dengan lainnya, termasuk di dalamnya adalah potensi ekonomi. Potensi di sini banyak dipengaruhi oleh potensi sumber daya alam dan potensi geografis yang dimiliki masing-masing daerah, sehingga penyelenggaraan otonomi perlu diimbangi dengan kemampuan untuk menggali dan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pendapatan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerahnya masing-masing.


Propinsi Kalimantan Timur, yang merupakan propinsi terbesar kedua setelah Propinsi Papua memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar di antaranya potensi hutan alam, potensi pertambangan termasuk di dalamnya adalah minyak dan gas bumi, di mana masing-masing menjadi penyumbang terbesar bagi pendapatan nasional dan pendapatan daerah. Potensi sumber daya alam Kalimantan Timur berupa hutan tropis merupakan  terbesar  kedua setelah Amerika Selatan mampu menjadi sumber pendapatan nasional dan daerah terbesar setelah minyak bumi dan gas sejak tahun 1970-an. Di mana kemudian dengan UU No. 25 tahun 1999 pada sektor kehutanan  merupakan salah satu sumber Dana Perimbangan dalam pos APBD. Dengan luas wilayah 21.144.000 Ha dan luas hutan sebesar 15.951.620 Ha (75,44 persen), Kalimantan Timur mempunyai potensi hutan yang cukup besar untuk menopang pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur.  Pemerintah daerah akan menerima bagian dari pembayaran Iuran Hasil Hutan (yang selanjutnya disingkat IHH) dan Iuran Hasil Pengusahaan Hutan (yang selanjutnya disingkat IHPH) dari setiap hasil kayu yang diproduksi di daerahnya, sehingga semakin besar hasil produksi akan semakin besar IHH dan IHPH yang diterima. Hal itu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah non Pajak. Secara rinci dapat terlihat potensi sektor kehutanan yang dilihat dari pemanfaatan kawasan Kalimantan Timur sebagai berikut   (tabel Kawasan) :


Tabel 1.1


Kawasan Hutan Bedasarkan Paduserasi dan RTRWP Propinsi Kalimantan Timur, 2001


Dari tabel 1.1 tentang kawasan hutan berdasarkan paduserasi dan RTRW  Propinsi Kalimantan Timur tahun 2001 dapat dilihat bahwa potensi kawasan budidaya kehutanan Kalimantan Timur cukup besar  yang mana dari 21.144.000 Ha luas wilayah Kalimantan Timur yang merupakan kawasan budidaya kehutanan seluas 15.951.620 Ha (75,44 Persen) terdiri dari 26,07 persen Hutan Produksi;  22,28 persen Hutan Produksi Terbatas; 17,15 persen hutan lindung; 9,31 persen hutan wisata atau KPA (Kawasan Pelestarian Alam); 0,08 persen hutan diklat, selebihnya 5.192.380 Ha (24,56 persen) merupakan kawasan budidaya non kehutanan yang diperuntukkan sebagai kawasan perkebunan, pertambangan, transmigrasi, perikanan, pertanian, danau, sungai, permukiman dan perairan atau luas tiga mil laut .


Potensi alam yang ada merupakan sumber kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui (non-reneweable resources). Hal ini terlihat dari kecenderungan atau trend yang menurun dari tahun ke tahun. Untuk itulah diperlukan kebijakan yang terencana untuk dapat mewujudkan pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan (sustainable forest development), sehingga masih dapat terus diandalkan sebagai sumber penghasilan bagi keuangan daerah. Keberadaan wewenang di daerah hendaknya dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan di daerah, dengan asumsi bahwa pemerintah daerah lebih tahu kondisi riil yang ada di daerahnya.


Salah satu ukuran kuantitatif untuk melihat perkembangan ekonomi suatu daerah adalah Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (yang selanjutnya disingkat APBD), yang kemudian dalam penelitian ini ditekankan kepada pos pendapatan yang salah satunya berupa Dana Perimbangan, berupa Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak; Dana Alokasi Umum (yang selanjutnya disingkat DAU) dan Dana Alokasi Khusus (yang selanjutnya disingkat DAK). Dari sisi tersebut, secara ceteris paribus, akan dapat dilihat seberapa jauh tingkat pengaruh dan kontribusi penerimaan IHH dan IHPH terhadap pendapatan daerah. Dalam bagi hasil sumber daya alam sektor kehutanan masih terdapat satu pos penerimaan lagi berupa Dana Reboisasi, hanya kemudian alokasi ke pemerintah daerah berupa Pos Dana  DAK yang berbeda  pembagiannya dengan pembagian IHH dan IHPH sebagai bagi hasil bukan pajak. Penelitian ini akan ditekankan kepada penerimaan dana perimbangan dari IHH dan IHPH yang mempunyai sifat langsung kepada pola pengelolaannya dibandingkan dengan dana alokasi khusus.


Dalam tabel 1.2 terlihat kontribusi penerimaan IHH dan IHPH terhadap tingkat pendapatan dalam APBD Propinsi Kalimantan Timur selama 20 (dua puluh) tahun terakhir, mulai dari tahun anggaran 1982/1983 sampai dengan tahun 2001.


Tabel 1.2


Kontribusi  Penerimaan  IHH  dan  IHPH Terhadap APBD berdasarkan Harga Konstan Propinsi Kalimantan Timur, 1982 / 1983 - 2001




















































































































































































































Tahun



IHH



IHPH



APBD



Kontribusi


 

 



(Rp)



(Rp)



(Rp)



(%)


 
1982 / 1983

8.226.486.265,10



22.139.953,90



46.402.876.100,83



17,78


 
1983 / 1984

8.905.163.762,61



25.813.167,66



53.294.779.874,47



16,76


 
1984 / 1985

9.503.750.832,00



30.095.800,00



60.247.877.767,54



15,82


 
1985 / 1986

4.943.782.822,15



34.378.432,34



71.127.386.233,40



7,00


 
1986 / 1987

5.732.837.027,07



37.794.800,00



64.237.720.422,03



8,98


 
1987 / 1988

6.887.753.928,01



340.874.000,00



64.348.389.965,76



11,23


 
1988 / 1989

8.789.733.950,09



698.574.000,00



78.254.908.716,64



12,12


 
1989 / 1990

11.937.502.670,90



392.684.400,00



100.394.838.172,64



12,28


 
1990 / 1991

14.853.262.953,33



436.733.200,00



141.361.355.780,98



10,82


 
1991 / 1992

13.689.613.315,74



2.204.123.301,85



173.086.469.419,76



9,18


 
1992 / 1993

17.166.282.847,82



2.569.806.811,06



202.773.107.162,17



9,73


 
1993 / 1994

24.137.500.580,19



1.259.326.561,00



205.066.018.460,66



12,38


 
1994 / 1995

30.704.079.410,07



1.982.228.232,00



246.684.958.260,35



13,25


 
1995 / 1996

30.441.995.253,90



988.195.005,00



266.370.940.445,35



11,80


 
1996 / 1997

32.023.765.939,54



1.658.924.298,00



290.275.051.548,96



11,60


 
1997 / 1998

34.532.534.550,22



1.562.104.222,00



305.012.143.149,27



11,83


 
1998 / 1999

37.841.382.479,87



3.355.140.247,00



349.097.055.056,85



11,80


 
1999 / 2000

40.281.828.443,72



1.167.293.447,00



574.368.697.517,24



7,22


 

2000



41.742.465.802,42



1.256.384.578,00



806.689.797.645,32



5,33


 

2001



30.850.143.455,56



1.916.425.988,00



1.308.000.000.000,00



2,51


 

Jumlah



413.191.866.290,31



21.939.040.444,81



5.407.094.371.700,22



219,44


 

Rata-rata



20.659.593.314,52



1.096.952.022,24



270.354.718.585,01



10,97


 
Sumber data : Biro Keuangan Sekretariat Daerah Propinsi Kalimantan Timur, Nota Perhitungan      APBD, beberapa terbitan  (data diolah) 

               Berdasarkan tabel 1.2 tersebut, terlihat bahwa sesungguhnya kontribusi penerimaan IHH dan IHPH terhadap pendapatan APBD secara keseluruhan masih relatif kecil. Pada tahun 1982/1983 s/d 2000, belum terdapat formulasi baru menurut UU No. 25 tahun 1999 tentang Dana Perimbangan berupa pembagian bagi hasil sumber daya alam antara Pusat dan Daerah, semuanya masih tergantung dengan pembagian dari Pusat, di mana terlihat bahwa kontribusi IHH dan IHPH rata-rata hanya 10,97 persen dari APBD. Pada sisi lain jika dilihat dari luas tebangan, hasil produksi kayu bulat dari Kalimantan Timur masih dapat dikatakan bahwa porsi hasil sumber daya alam sektor kehutanan yang ada belum mampu memberikan peningkatan APBD secara signifikan. Selain itu juga mempunyai kecenderungan menurun jika dilihat dari sifat dasar sumber daya alam kehutanan yang termasuk sumber daya yang tak dapat diperbaharui.


Apabila kemudian dilihat dari potensi subsektor kehutanan dalam porsi kontribusinya terhadap PDRB dibandingkan dengan subsektor lainnya pada sektor pertanian selama kurun waktu 6 tahun (1996-2001) berdasarkan harga konstan, terlihat bahwa peranan kontribusi subsektor kehutanan adalah yang terbesar dibandingkan subsektor yang lainnya meski trend yang terjadi adalah menurun.  Sementara secara keseluruhan terlihat bahwa sektor pertanian, termasuk di dalamnya adalah subsektor kehutanan mempunyai peranan sebagai penyumbang terbesar. Secara rinci dapat dilihat dalam tabel 1.3 sebagai berikut  (tabel PDRB) :


Tabel 1.3


PDRB  Sektor  Pertanian Menurut Lapangan Usaha Atas dasar harga konstan Propinsi Kalimatan Timur,  1996 – 2001 (Jutaan  Rupiah)



Pembagian persentase dana perimbangan berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 dan PP No. 104 tahun 2000, menjadi dasar perhitungan besarnya dana yang akan diterima oleh Propinsi Kalimantan Timur, yang juga dapat digunakan untuk memperkirakan dana perimbangan dari sektor kehutanan untuk tahun yang akan datang.  Di samping itu juga dapat diperkirakan potensi sumber daya alam sektor kehutanan sebagai sumber pendapatan daerah untuk periode-periode selanjutnya, dalam artian bahwa kondisi sektor kehutanan akan semakin surut dalam beberapa tahun yang akan datang.


Berdasarkan uraian latar belakang, pengolahan hasil hutan yang sesuai dengan potensi yang ada serta tidak meninggalkan unsur kelestarian dan keberlanjutan produksi kayu (sustainable forest development), maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan diamati dalam penelitian ini adalah seberapa besar penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam (yang selanjutnya disingkat BHSDA) yang berasal dari sektor kehutanan khususnya dari IHH dan IHPH di Propinsi Kalimantan Timur berdasarkan potensi sumber daya alam yang ada serta apakah sudah sesuai dengan potensi yang dimiliki, dan yang lebih jauh lagi adalah apakah sektor kehutanan masih dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan daerah dalam tahun-tahun yang akan datang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dana perimbangan sektor kehutanan berdasarkan  Undang-Undang No. 25 tahun 2000.


Pada tahun anggaran 2001, telah disepakati menjadi awal pelaksanaan otonomi daerah dan sudah sangat wajar dan adil apabila Propinsi Kalimantan Timur menginginkan suatu pembagian BHSDA yang lebih rasional dari dana perimbangan sumber daya alam (yang selanjutnya disingkat SDA) dari sektor kehutanan untuk mendukung keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dengan potensi yang ada menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Berdasarkan permasalahan tersebut, tertarik untuk meneliti tentang “Analisis Penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam Dari Iuran Hasil Hutan dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan Propinsi Kalimantan Timur”.


Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan  dari penerimaan BHSDA sektor kehutanan khususnya dari IHH dan IHPH di Propinsi Kalimantan Timur adalah  sebagai  berikut .




  1. Seberapa besar  penerimaan dari hasil  BHSDA sektor kehutanan yang ada di Propinsi Kalimantan Timur sesuai dengan potensi yang ada menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.

  2. Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Timur menginginkan suatu pembagian yang lebih rasional dari dana perimbangan sumber daya alam sektor kehutanan untuk mendukung keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

  3.  Dalam jangka panjang apakah potensi kehutanan yang ada masih dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan APBD untuk periode-periode berikutnya.


1.2.        Keaslian Penelitian


Keaslian penelitian ini terlihat dari sudut pandang pembahasan sektor kehutanan yang menghitung besarnya dana perimbangan dari sumber daya alam sektor kehutanan dalam pelaksanaan undang-undang otonomi daerah dan undang-undang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Penekanannya pada sisi potensi pendapatan daearh pada masa yang akan datang.


Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya dengan judul “Kontribusi IHH dan IHPH terhadap Pendapatan Daerah Kalimantan Timur“, oleh Budihartono (1999). Pada penelitian tersebut, basisnya pada undang-undang dan peraturan yang lama sementara pada penelitian ini sudah diterapkan undang-undang nomor 22 dan 25 tahun1999 tentang otonomi daerah, variabel yang diteliti adalah seberapa besar penerimaan pendapatan  IHH dan IHPH dalam memberikan kontribusinya kepada APBD, sedangkan penelitian  ini akan meneliti potensi dan proyeksi di masa yang akan datang dalam penerimaan dana perimbangan yang berasal dari sumber daya alam sektor kehutanan yang potensial bagi penerimaan daerah dalam menopang kemandirian otonomi daerah sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.


Alavalapati, et. al (1999) meneliti sektor kehutanan di Alberta Canada menjelaskan bahwa pada mulanya manajemen kehutanan di Albertahanya menekankan pada pendapatan dari hasil hutan terutama kayu. Sejak tahun 1994 Pemerintahan Albertamelakukan perubahan manajemen tradisional menjadi manajemen sektor kehutanan yang terpadu terutama bidang lingkungan dan rekreasi. Hal itu membawa konsekuensi meningkatkan pengeluaran pemerintah yang cukup banyak,  tetapi nantinya juga akan mendatangkan pendapatan yang tidak sedikit dari berbagai bidang. Ada 4 pengaruh yang langsung dirasakan pada tahun 1995, yaitu : 1). meningkatkan $80 juta dari hasil ekspor pulp dan kertas, karena pemerintah menekankan pentingnya ekspansi industri sektor kehutanan, 2). menurunkan $10 juta pendapatan dari ekspor kayu bulat, karena adanya batasan volume dan kendala ekspor kayu bulat, 3). meningkatkan 25 persen biaya produksi kayu, karena ada tambahan pajak kayu dan iuran asosiasi untuk tujuan strategis terutama manajemen kehutanan yang berkelanjutan, 4). meningkatkan 25 persen biaya produksi pulp dan kertas, karena ada tambahan pajak lingkungan.


Suparmoko (1997) menjelaskan bahwa masalah yang sulit dipecahkan dalam sektor kehutanan adalah kegiatan penebangan kayu yang sangat peka terhadap perubahan keadaan pasar kayu baik dalam negeri maupun luar negeri. Harga kayu bulat dan kayu lapis tidak stabil.  Naik turunnya harga kayu bulat mendorong untuk merebut  pasaran kayu di luar negeri dengan cara meningkatkan kualitas kayu ekspor dan membatasi volume kayu glondongan. Dalam rangka meningkatkan perkembangan industri kayu pemerintah mendorong  para pemegang HPH agar dapat membangun industri  kayu yang didukung dengan terbitnya SKB 3 menteri tanggal 8 Mei 1980 dan SKB 4 Dirjen tanggal 12 April 1981 yang isinya menyangkut  usaha penyediaan kayu glondongan sebagai bahan mentah industri pengolahan kayu di dalam negeri dalam hubungannya meningkatkan ekspor komoditi kayu. Pengaruh yang segera tampak adalah menurunnya volume ekspor kayu glondongan dan banyak pemegang HPH yang kesulitan bahanbakudalam usahanya serta banyak pengrajin kayu yang gulung tikar. Penduduk yang kehidupannya sangat tergantung pada kegiatan perkayuan menjadi sangat terganggu dan sulit  meningkatkan pendapatan.


Beberapa hasil penelitian masalah kehutanan banyak menekankan kepada penelitian pada usaha efisiensi dan efektivitas penggunaan dana  dan kontribusinya tehadap pendapatan daerah.  Pada penelitian ini menekankan pada  analisis penerimaan bagi hasil sumber daya alam sektor kehutanan sebagai sumber pendapatan dalam rangka otonomi dan desentralisasi kewenangan. Lebih jauh lagi adalah pada proyeksi jangka panjang keberadaan sektor kehutanan sebagai sumber pendapatan daerah yang berkelanjutan dengan melihat pada sisi potensi kontribusinya terhadap pendapatan.


1.3.        Tujuan Penelitian dan Manfaat penelitian


1.3.1.  Tujuan penelitian


Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah seperti tersebut  di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan :




  1. menghitung dan menganalisis BHSDA dari sektor kehutanan di Propinsi Kalimantan Timur secara rasional sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Nomor 25 Tahun 1999;

  2. memproyeksikan penerimaan BHSDA sektor kehutanan yang diproduksi di Propinsi Kalimantan Timur selama kurun waktu tahun 2004-2006, sesuai dengan perubahan dan perkembangan otonomi daerah;

  3. untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan sektor kehutanan khususnya dari IHH dan IHPH pada masa-masa yang akan datang di Propinsi Kalimantan Timur.



1.3.2.   Manfaat penelitian




  1. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan atau informasi untuk digunakan sebagai referensi perhitungan penerimaan daerah yang bersumber dari dana perimbangan sumber daya alam sektor kehutanan menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.

  2. Hasil penelitian ini juga diharapkan sebagai acuan dan pertimbangan dalam menyusun konsep pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan (sustainable forest development) terutama yang berkaitan dengan kebijakan peningkatan penerimaan daerah.

0 komentar:

Posting Komentar