DANA PINJAMAN SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DAERAH ( Studi Kasus : Kabupaten Maluku Utara )

BAB  I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan demokrasi dan kinerja daerah.  Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan sub-sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.


Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan, tujuan pembangunan secara efektif dan efisien, pelaksanaan pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, aspirasi serta permasalahan pembangunan di daerah. Oleh karena itu, pembangunan daerah haruslah dapat dilaksanakan secara serasi dan terpadu di berbagai sektor pembangunan menuju tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah.


Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah mempunyai tujuan sebagaimana dikemukakan oleh  Mardiasmo (2002 : 59)  bahwa  tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Selanjutnya dikatakan bahwa pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat  publik untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.


Konsekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang nomor 25 Tahun 1999 tersebut adalah pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam mengelola keuangan daerahnya dengan mencari sumber-sumber penerimaan  potensial  yang dimiliki, sebagai wujud tanggung jawab penyelenggaraan pembangunan, pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Karena salah satu kriteria untuk mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunannya adalah sejauhmana daerah dapat memanfaatkan sumber-sumber keuangan yang dimiliki guna membiayai kebutuhannya, tanpa semata-mata menggantungkan diri pada bantuan pemerintah pusat. Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pasal 79 maupun Undang-Undang nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pasal  3 menyebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pembangunan di daerah adalah pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.


Sumber pembiayaan pembangunan daerah yang umumnya menjadi harapan pemerintah daerah misalnya berasal dari sumbangan atau bantuan pemerintah pusat yang dikenal sekarang ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999  adalah  dana alokasi umum (DAU) yang diperoleh daerah sebesar 25 persen dari penerimaan dalam negeri, akan tetapi sumber dana ini sebagian akan dipakai oleh pemerintah daerah untuk membiayai gaji pegawai, sehingga belum tentu dapat dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek daerah. Kemungkinan yang lebih optimis diharapkan sebagai salah satu sumber yang cukup signifikan berasal dari hasil penerimaan sumber daya alam (SDA), akan tetapi yang menjadi permasalahannya, yaitu hanya beberapa daerah saja yang memiliki kekayaan sumber daya alam, sedangkan bagi daerah-daerah yang miskin sumber daya alam, kemungkinan masih akan banyak meminta bantuan kepada pemerintah pusat.


Pinjaman daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan daerah, padahal di masa yang akan datang sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat akan sangat terbatas. Kondisi yang demikian ini juga dialami oleh Kabupaten Maluku Utara yaitu salah satu kabupaten yang menjadi obyek penelitian yang terletak di wilayah timur Indonesia.  Sumber penerimaan daerah Kabupaten Maluku Utara masih didominasi oleh sumbangan dan bantuan pemerintah pusat, sedangkan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun Bagian Bagi Hasil Pajak / Bukan Pajak relatif terbatas. Berdasarkan data lima tahun terakhir yaitu tahun 1997/1998 sampai dengan 2001 menunjukkan bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD rata-rata hanya sebesar 2,45 %, bagian Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak  sebesar 7,48%, sedangkan 90,07 % berasal dari sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat.


Pinjaman daerah adalah hutang yang harus dibayar kembali sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan bersama antara pemberi pinjaman dengan pihak yang melakukan pinjaman. Oleh karena itu, dana yang diperoleh melalui pinjaman harus diarahkan pemanfaatannya melalui proyek-proyek yang dapat menghasilkan keuntungan, sehingga pembayaran kembali pokok dan bunga pinjaman dapat dipenuhi oleh pemerintah daerah yang melakukan pinjaman.


Masalah  yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah ada atau tidaknya keberanian dan kemampuan pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman, karena pada akhirnya dihadapkan dengan kewajiban pegembalian pinjaman sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama. Di pihak lain pemerintah daerah belum berpengalaman dalam melakukan pinjaman, sehingga harus bersikap hati-hati dalam melakukan pinjaman.


Sehubungan dengan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Utara untuk melakukan pinjaman sebagai salah satu alternatif pembiayaan pembangunan daerah yang ditinjau dari aspek keuangan, dengan asumsi bahwa Keputusan Menteri Keuangan R.I Nomor : 625/KMK.01/2001 tanggal 2 Desember 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 99/KMK.07/2001 tentang Penundaan Pelaksanaan Pinjaman Daerah sudah dicabut.  Keputusan Menteri Keuangan tersebut menyebutkan pada pasal (1) bahwa Perjanjian baru pinjaman daerah yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri ditunda sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2002.


1.2  Keaslian Penelitian


Penelitian yang berkaitan dengan masalah pinjaman daerah, pernah dilakukan oleh beberapa peneliti baik dalam text book, jurnal, tesis maupun program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Elmi, (2002), meneliti mengenai realisasi dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan BUMD di Jawa dan beberapa daerah di Sumatera dengan menggunakan analisis deskriptif dan financial analysis  pada beberapa proyek investasi pemerintah daerah, menyimpulkan bahwa pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur telah memanfaatkan fasilitas dana pinjaman yang disediakan melalui rekening pembangunan daerah (RPD). Sebagai salah satu sumber pembiayaan perkotaan, dana pinjaman itu persentasenya masih kecil sekali yaitu sebesar 1,61 persen untuk pinjaman kota-kota besar dan sebesar 1,07 persen untuk kota sedang dan kecil. Dana pinjaman pemerintah daerah di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sumber dana pinjaman yang lebih besar disediakan melalui subsidiary loan agreement (SLA). Persentase dari sumber pinjaman itu mencapai 25,49 persen untuk kota besar dan 16,44 persen untuk kota sedang dan kecil.


Nataludin, (2001), yang mencoba melihat kemampuan keuangan daerah dalam melakukan pinjaman menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 di Propinsi Jambi dengan menggunakan analisis kuantitatif yang bersifat deskriptif seperti analisis tingkat pertumbuhan, kontribusi, analisis jumlah maksimum pinjaman dan kemampuan pengembalian pinjaman, menyimpulkan bahwa pemerintah kabupaten/kota di Propinsi Jambi mempunyai kemampuan untuk melakukan pinjaman daerah, hal ini tercermin dengan adanya dana neto atau selisih antara penerimaan daerah dengan pengeluaran daerah yang bernilai positif, yang berarti kabupaten/kota di Propinsi Jambi, akan dapat menyediakan besarnya batas angsuran pokok yang selama periode 1996/1997 – 2000, mengalami peningkatan rata-rata 14,07% setiap tahun.


Kim, (1997), melakukan penelitian mengenai peran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1970 sampai dengan 1991 di Korea dengan menggunakan analisis pertumbuhan dan multiplier effect.  Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa peran pemerintah daerah dalam pertumbuhan ekonomi regional sangat signifikan.  Investasi dan konsumsi pemerintah daerah mempunyai efek positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional dan sebaliknya pajak daerah dan pendapatan non pajak mempunyai efek yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional, serta peranan pemerintah sebagai pendorong berdampak ganda (multiplier effect) di mana investasi pemerintah daerah jauh lebih besar dari konsumsi pemerintah daerah.


Cullotta, (1998), meneliti masalah pinjaman dari aspek pentingnya kebijakan dibidang pinjaman. Dikemukakan bahwa kebijakan formal di bidang pinjaman daerah merupakan bagian terpenting dalam pengelolaan keuangan yang efektif dan harus tercermin dalam program pengembangan sumber investasi daerah. Beberapa alasan yang mendasari kebijakan di bidang pinjaman daerah adalah: (1) untuk menciptakan parameter pinjaman yang akan membantu mencegah kelebihan penerimaan pinjaman; (2) kebijakan di bidang pinjaman akan memberikan bukti-bukti pada pihak investor dan pihak lain yang berkepentingan bahwa pemerintah akan menetapkan pengelolaan keuangan yang baik; (3) kebijakan di bidang pinjaman membuktikan adanya konsistensi dan kesinambungan dalam pengembangan kebijakan publik dan memberi arah bagi daerah dalam proses pengambilan keputusan.


Simanjutak et. al, (2000), yang telah melakukan penelitian tentang kemampuan pemerintah daerah di era otonomi daerah, menyimpulkan bahwa dari 26 propinsi yang dikaji 19,23 % sama sekali tidak layak untuk melakukan pinjaman karena proyeksi penerimaan totalnya cenderung lebih kecil dibandingkan dengan belanja wajib. Berlawanan dengan itu, juga ada lima daerah yang sangat mampu untuk meminjam yang dilihat dari kemampuan membayar angsuran pokok di atas Rp100 milyar, dan dua daerah dengan kemampuan yang kecil dengan angsuran pokok kurang dari Rp10 milyar. Dari 292 daerah kabupaten/kota yang diteliti, disimpulkan bahwa 14,38 % atau 42 daerah tidak memiliki kapasitas untuk meminjam, 8,22 % mempunyai kemampuan yang besar, 19,86 % kemampuan agak besar dan 44,52 % kemampuan menengah sedangkan sisanya 13,01 % atau sebanyak 38 daerah mempunyai kemampuan kecil sampai dengan sangat kecil.


Dari beberapa penelitian tersebut di atas, terdapat perbedaan dengan yang akan dibahas dalam penelitian ini, terutama lokasi penelitian, penggunaan variabel serta data yang digunakan adalah data terbaru. Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Maluku Utara, sedangkan data yang digunakan adalah data Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagian daerah yang terdiri dari bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), bagi hasil sumberdaya alam (SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta anggaran belanja baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan, dengan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dan Batas Maksimum Pinjaman (BMP) sebagai alat analisis penelitian untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam melakukan pinjaman.


1.3  Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan:




  1. mengukur  kemampuan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Utara  jika  melakukan pinjaman ditinjau dari aspek keuangan;

  2. mengetahui besarnya Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dan Batas  Maksimum Pinjaman (BMT) yang diperbolehkan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Utara sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000, jika Pemerintah Kabupaten Maluku Utara melakukan pinjaman.


1.4  Manfaat penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:




  1. dapat memberikan bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Utara dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, khususnya bila sebagian dari sumber pembiayaan pembangunan daerah yang direncanakan bersumber dari dana pinjaman;

  2. sebagai bahan masukan dan informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Utara maupun Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya dalam memberi arah dan alternatif kebijakan yang berkaitan dengan pinjaman daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

0 komentar:

Posting Komentar