PENGARUH PDRB RIIL, TINGKAT SUKU BUNGA RIIL, DAN INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP INVESTASI DOMESTIK DI PROPINSI BENGKULU

BAB I


PENGANTAR


1.1 Latar Belakang


          Pada umumnya tinjauan terhadap perekonomian di suatu daerah atau negara secara makro dilakukan dengan melihat hubungan kausal berbagai variabel ekonomi agregatif seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan, tingkat suku bunga, investasi, dan lain-lain. Hubungan kausal atau disebut juga hubungan sebab akibat diperoleh dari kenyataan bahwa hubungan antara variabel-variabel ekonomi memiliki sifat reversible, dalam arti bahwa meningkatnya variabel A bertendensi mengakibatkan meningkatnya variabel B, atau sebaliknya, meningkatnya variabel A justru mengakibatkan menurunnya variabel B (Reksoprayitno, 2000:3-7).


Dengan mengetahui hubungan tersebut diharapkan dapat membantu dalam memecahkan berbagai masalah dalam perekonomian melalui berbagai alternatif tindakan. Tindakan yang dilakukan pemerintah biasanya berbentuk kebijakan atau sering disebut sebagai kebijakan ekonomi makro (macroeconomic policy). Kebijakan ekonomi makro dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan pemerintah yang berupa usaha untuk mempengaruhi besaran-besaran/variabel-variabel ekonomi agregatif, atau dengan kata lain, untuk mempengaruhi jalannya perekonomian dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Reksoprayitno, 2000:7).


Dalam masa pemerintahan Soeharto, Indonesia pernah disebut-sebut sebagai salah satu dari delapan negara Asia yang memiliki kinerja perekonomian yang tinggi (the eight high performing Asian economies).  Ada tiga faktor yang menyebabkan tingginya kinerja perekonomian tersebut, salah satunya adalah laju investasi yang tinggi, khususnya laju investasi swasta, yang memberi sumbangan hingga lebih dari 20% pada produk domestik bruto (PDB) selama kurun waktu 1960 – 1990.


Satu hal yang disebut sebagai faktor utama penyebab meningkatnya investasi pada kurun waktu tersebut, di samping jaminan atas hak kepemilikan (property rights), adalah keberhasilan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur penting yakni jalan, tenaga listrik, dan telepon, yang sangat diperlukan dalam kegiatan ekonomi (World Bank:1993). Di antara ketiga infrastruktur penting tersebut, prasarana transportasi yang berupa jalan merupakan satu variabel yang sulit untuk diganti atau disediakan sendiri oleh investor. Hal ini dikarenakan biaya penyediaannya akan sangat mahal dan akan memerlukan bagian yang besar dalam total nilai investasi yang direncanakan. Berbeda dengan tenaga listrik dan telepon, yang dalam skala tertentu masih dapat disediakan oleh investor.


Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 membalikkan posisi Indonesia menjadi negara dengan kondisi perekonomian yang parah dan pertumbuhan ekonomi yang negatif. Krisis ini awalnya dipicu oleh memburuknya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Kondisi ini membuat pokok maupun bunga pinjaman yang harus dibayar para investor yang menggunakan modal pinjaman luar negeri, meningkat tajam. Bahkan beberapa industri skala besar yang merupakan investasi dengan kandungan impor yang tinggi terpaksa gulung tikar.


Investasi memang tidak dapat dipisahkan dengan pinjaman, dan pinjaman selalu berkaitan dengan bunga. Tingkat suku bunga diyakini oleh para ekonom sebagai salah satu determinan investasi. Hal ini menyangkut biaya investasi (cost of investment) yang harus ditanggung investor. Semakin besar biaya investasi maka akan semakin kecil keuntungan (profitability) yang diperoleh investor, akibatnya semakin kecil minat untuk berinvestasi. Hal ini dibuktikan dengan melambungnya tingkat suku bunga pada masa krisis yang menyebabkan menurunnya investasi domestik.


Dalam memperhitungkan nilai keuntungan, di samping mempertimbangkan tingkat suku bunga investor juga harus mempertimbangkan seberapa besar permintaan terhadap barang atau jasa yang akan dihasilkan dalam investasinya. Secara teoritis, besar kecilnya permintaan terhadap barang dan jasa sangat bergantung pada kuat lemahnya daya beli masyarakat, yang dicerminkan oleh besar kecilnya pendapatan riil. Dengan demikian pendapatan riil juga memiliki peran sebagai determinan dalam investasi. Dalam perekonomian nasional pendapatan ini biasanya dilihat dari produk domestik bruto (PDB), sedangkan di daerah disebut sebagai produk domestik regional bruto (PDRB).


Propinsi Bengkulu hingga sekarang memang masih dipandang sebagai salah satu daerah yang terbelakang di antara propinsi-propinsi lainnya. Hal ini dibuktikan dengan peringkat daya saing Propinsi Bengkulu secara nasional untuk semua indikator berada pada posisi ke 25 dari 26 propinsi lainnya. Peringkat ini diperoleh Propinsi Bengkulu karena banyak variabel dalam indikator perekonomian mempunyai peringkat yang sangat buruk (Abdullah dkk., 2002:64).


Berdasarkan hasil penelitian Abdullah dkk. (2002:148-150) terhadap 26 propinsi di Indonesia, pada tahun 1999 pembentukan modal tetap bruto (investasi domestik) Propinsi Bengkulu adalah sebesar Rp182.431 juta atau 11,01% terhadap PDRB dengan laju pertumbuhan investasi sebesar              –32,24%.  Dengan nilai-nilai tersebut Propinsi Bengkulu menduduki peringkat ke 25 untuk investasi domestik dan peringkat ke 21 untuk laju pertumbuhan investasinya.


Pada tahun yang sama, produk domestik regional bruto (PDRB) Propinsi Bengkulu adalah sebesar Rp1.657.636 juta (peringkat 25) dengan laju pertumbuhan PDRB 1,61% (peringkat 17), tingkat bunga riil jangka pendek 29,53% (peringkat ke 21) dan indikator biaya modal perbankan yang menghambat kegiatan usaha 3,78 pada skala 1 sampai 6 (1 sangat tidak setuju, 6 sangat setuju) membuat  propinsi ini menduduki peringkat ke 25. Indikator infrastruktur, panjang jalan per luas wilayah, Propinsi Bengkulu berada pada peringkat ke 14 dengan 0,0030 km/km2, sedangkan persentase panjang jalan berkualitas baik terhadap total panjang jalan adalah 48,74% dan berada pada peringkat ke 5 (Abdullah dkk., 2002:144-145, 195-196, 209-210).


Hal yang menarik untuk diamati dari data di atas adalah bahwa Propinsi Bengkulu memang memiliki PDRB yang rendah dan tingkat suku bunga riil yang tinggi sehingga mungkin menjadikannya tidak begitu menarik bagi investasi domestik, dan persentase panjang jalan berkualitas baik yang lebih baik dibandingkan 21 propinsi lainnya kelihatannya tidak memberi pengaruh yang semestinya terhadap investasi domestik. Padahal infrastruktur jalan menurut Bank Dunia (1993) merupakan salah satu indikator infrastruktur yang menyebabkan meningkatnya investasi secara luar biasa selama kurun waktu 1960 – 1990 di Indonesia dan tujuh negara asia lainnya. Kenyataan yang demikian tentunya menarik untuk dikaji lebih jauh.


Berdasarkan uraian di atas, kinerja perekonomian yang baik di antaranya dapat dicapai melalui dukungan yang kuat dari investasi. Apalagi untuk daerah yang pendapatannya masih rendah seperti Propinsi Bengkulu, pemerintah daerah selalu dihadapkan pada keterbatasan anggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara maksimal. Rendahnya investasi domestik di Propinsi Bengkulu merupakan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Masalah ini menyebabkan Propinsi Bengkulu selama ini sulit untuk segera mengejar ketertinggalannya di berbagai sektor dari daerah-daerah lainnya. Melalui hasil penelitian ini diharapkan pemerintah daerah dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang diperlukan guna menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya investasi domestik di Propinsi Bengkulu.


Investasi berperan sebagai stok penyangga. Hal ini berkaitan dengan hubungan stock dan flow dalam perilaku investasi. Pengertian investasi mengandung dua elemen yaitu permintaan atas modal dan investasi sebagai aliran (flow) yang menyesuaikan tingkat stok modal (capital stock). Dalam investasi dikenal dua kondisi stok modal, yaitu stok modal aktual dan stok modal yang diinginkan. Stok modal aktual merupakan stok modal yang ada sekarang sedangkan stok modal yang diinginkan merupakan stok modal yang sesungguhnya ingin dicapai. Dengan kata lain stok modal yang diinginkan merupakan kondisi keseimbangan yang diharapkan. Fungsi investasi adalah untuk menjaga agar stok modal selalu berada pada tingkat yang diinginkan. Aliran investasi berperan menyesuaikan antara  stok modal aktual dengan yang diinginkan. Penyesuaian antara keduanya jika dilakukan dengan cepat akan memerlukan biaya yang mahal, sehingga investasi lebih cenderung dilakukan secara bertahap. Penyesuaian yang dilakukan secara bertahap ini menimbulkan kesenjangan antara stok modal aktual dan yang diinginkan. Dengan demikian investasi tidak berada dalam keseimbangan. Kondisi ini menimbulkan biaya ketidakseimbangan dan biaya penyesuaian yang harus dihadapi investasi. Adanya upaya percepatan penyesuaian menunjukkan bahwa investasi memiliki perilaku yang dinamis.


Dengan mempertimbangkan perilaku investasi sebagai stok penyangga tersebut, maka untuk menganalisis perkembangan investasi domestik dalam penelitian ini digunakan analisis ekonometri dengan pendekatan model koreksi kesalahan (error correction model=ECM). Penggunaan model ini dianggap tepat karena formulasinya diturunkan dengan menggunakan pendekatan stok penyangga (buffer stock approach) yang mempertimbangkan adanya biaya ketidakseimbangan dan biaya penyesuaian yang harus ditanggung investor akibat kesenjangan atau ketidakseimbangan yang terjadi antara stok modal aktual dengan yang diinginkan. Di samping itu model ini juga memiliki spesifikasi dinamik yang dibutuhkan untuk menjelaskan perilaku investasi serta memasukkan variabel tak bebas kelambanan sebagai salah satu variabel penjelasnya untuk menjelaskan adanya keterlambatan penyesuaian antara stok modal aktual dan stok modal yang diinginkan.


1.2  Keaslian Penelitian


Penelitian tentang pengaruh PDRB riil, tingkat suku bunga riil, dan infrastruktur jalan terhadap investasi domestik di Propinsi Bengkulu belum pernah dilakukan. Penelitian tentang investasi pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Reinikka dan Svensson (1999) meneliti mengenai bagaimana penyediaan pelayanan dan infrastruktur publik mempengaruhi investasi swasta di Uganda. Keduanya menggunakan model regresi linier sederhana yang diturunkan dari fungsi preferensi quasi-linier aliran kas perusahaan. Penelitian dilakukan terhadap 171 perusahaan yang dibedakan atas perusahaan yang menyediakan modal komplementer untuk memasang pembangkit listrik dan perusahaan yang tidak  menyediakan modal komplementer. Dengan menggunakan variabel pembangkit tenaga listrik yang dipasang perusahaan (generator), jumlah hari perusahaan tidak menerima pasokan listrik dari jaringan publik (lostdays) dan laba ditahan (retained earnings) yang diproxy dengan keuntungan (profit), sebagai variabel bebas, serta laju investasi swasta sebagai variabel tak bebas. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pada perusahaan yang memiliki generator sendiri tingkat investasinya tidak memiliki hubungan dengan lostdays, sebaliknya pada perusahaan yang tidak memiliki generator tingkat investasinya berhubungan negatif dan signifikan terhadap lostdays, sedangkan laba ditahan memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap laju investasi swasta.


Kanaan (1998) melakukan penelitian tentang perkembangan investasi swasta dengan menghubungkan berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Israel dan Palestina baik secara politik maupun ekonomi selama beberapa periode dengan perkembangan investasi swasta di kedua daerah tersebut. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada tiga faktor penyebab dari kecenderungan menurunnya investasi swasta di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pertama, ketidakseimbangan perdagangan antara kedua daerah tersebut dengan Israel, ekspor Israel dapat masuk dengan bebas sedangkan ekspor dari kedua daerah tersebut ke Israel dibatasi. Kedua, sektor keuangan di kedua daerah tersebut masih terbelakang. Ketiga, kurangnya dukungan pemerintah terhadap investasi swasta dan tidak memadainya penyediaan infrastruktur melalui investasi publik.


Penelitian lainnya tentang investasi swasta dilakukan oleh Servén (2002) yang meneliti pengaruh ketidakpastian nilai tukar riil (the real exchange rate uncertainty) terhadap investasi swasta di 61 negara berkembang. Servén menggunakan alat analisis ekonometrika dengan pendekatan konvensional yang didasarkan pada system GMM (generalized methods of moments) estimator untuk melakukan estimasi. Penelitian ini menggunakan rasio investasi tetap swasta/PDB sebagai variabel tak bebas, sedangkan variabel bebasnya adalah ketidakpastian nilai tukar riil, harga relatif barang modal dan tingkat suku bunga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakpastian nilai tukar riil, harga relatif barang modal dan tingkat suku bunga memiliki hubungan negatif dan sangat signifikan terhadap rasio investasi tetap swasta/PDB.


Penelitian yang dilakukan Reinikka dan Svensson (1999) menguji pengaruh pelayanan dan penyediaan infrastruktur publik yang berupa jaringan listrik terhadap investasi swasta dengan menggunakan model regresi linier sederhana yang diturunkan dari fungsi preferensi quasi-linier aliran kas perusahaan, Kanaan (1998) melihat pengaruh infrastruktur publik terhadap investasi swasta tanpa membedakan jenis infrastruktur publik tersebut dengan cara mengamati kebijakan pemerintah dibidang ekonomi dan politik dan implikasinya terhadap perkembangan investasi swasta, dan Servén (2002) menguji pengaruh ketidakpastian nilai tukar riil, suku bunga, dan harga relatif barang modal terhadap investasi swasta dengan system GMM estimator sebagai metode yang digunakan untuk mengestimasi parameter-paramaternya. Ketiga penelitian tersebut menguji pengaruh variabel-variabelnya terhadap investasi swasta secara agregat. Berbeda dengan ketiganya, penelitian ini akan menguji pengaruh pendapatan riil, tingkat suku bunga riil, dan secara khusus infrastruktur publik yang berupa jalan, terhadap investasi domestik dengan menggunakan alat analisis ekonometrika berupa model koreksi kesalahan (ECM).


Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan perilaku investasi domestik khususnya di Propinsi Bengkulu dan umumnya daerah-daerah lain yang kondisi perekonomiannya mirip dengan propinsi ini. Karena propinsi ini merupakan daerah yang relatif kecil dan terbelakang dalam struktur perekonomiannya, maka hasil-hasil empiris dari penelitian-penelitian yang telah diuraikan sebelumnya kurang tepat digunakan untuk menjelaskan perkembangan investasi domestik di daerah ini atau daerah lain yang mirip dengannya.


1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung dan menganalisis pengaruh PDRB riil, tingkat suku bunga riil, dan infrastruktur jalan terhadap investasi domestik di Propinsi Bengkulu.


1.4  Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil keputusan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di Propinsi Bengkulu.

0 komentar:

Posting Komentar