IDENTIFIKASI KECAMATAN SEBAGAI PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN LAHAT SUMATERA SELATAN

BAB I


PENGANTAR


1.1 Latar Belakang


Pembangunan ekonomi pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu proses di mana PDB riil atau pendapatan riil per kapita penduduk meningkat secara terus menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita (Wiratmo,1992:4). Pembangunan ekonomi yang dinyatakan dengan peningkatan output dan pendapatan riil per kapita itu memang  bukanlah satu-satunya sasaran kebijaksanaan di negara-negara sedang berkembang termasuk di Indonesia. Namun kebijaksanaan ekonomi dalam menaikan tingkat pertumbuhan output perlu dilakukan karena:




  1. pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai suatu syarat yang diperlukan untuk perbaikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat;

  2. pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai prasyarat untuk mencapai tujuan pembangunan yang lainya seperti penyediaan sarana dan prasarana sosial.


Dalam proses pencapaian pertumbuhan ekonomi dibutuhkan sumber–sumber dana yang berupa modal pembangunan, dengan kemampuan antarnegara atau antardaerah dalam menyediakan modal pembangunan tidak sama, menyebabkan pembangunan yang dicapai antarnegara atau antardaerah terjadi ketimpangan. Kewenangan yang lebih besar diberikan kepada daerah dalam era otonomi sekarang ini, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah dan dengan mengunakan sumber daya-sumber daya yang ada mampu menaksir potensi sumber daya-sumber daya yang dimiliki untuk dipergunakan menyusun model pembangunan ekonomi yang paling sesuai dengan daerah tersebut. Perbedaan kondisi daerah membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan berbeda pula. Peniruan mentah-mentah pola kebijaksanaan yang pernah diterapkan dan berhasil pada suatu daerah, belum tentu memberikan manfaat yang sama bagi daerah lainnya, sehingga kebijakan yang diambil harus sesuai dengan kondisi baik itu masalah, kebutuhan dan potensi daerah yang bersangkutan.


Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintahan daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dalam merangsang perkembangan pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Setiap usaha pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat (Arsyad, 1999:108-109).


Upaya pencapaian kemandirian daerah dan pemerataan pertumbuhan di seluruh wilayah dalam realitasnya dipengaruhi banyak faktor yang saling terjalin, berkaitan dan tumpang tindih sehingga sasaran pembangunan daerah seringkali tidak tercapai. Pada akhirnya akan ada daerah yang lebih maju dibanding dengan daerah lain bahkan berujung pada ketimpangan ekonomi antarpenduduk daerah yang berada di daerah yang lebih maju dibanding penduduk di daerah lainnya yang kurang maju.


Menurut Perroux (1970) pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat dengan intensitas berbeda sehingga dalam proses pembangunannya akan timbul (lihat Arsyad,1999:147-148) :




  1. industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah ;

  2. pemusatan industri pada satu daerah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antardaerah sehingga perkembangan industri di daerah tersebut dapat mempengaruhi wilayah-wilayah lainnya ;

  3. reaksi dari sektor-sektor basis/unggulan yang reaktif diharapkan mempengaruhi sektor-sektor  non basis.


Menurut Blakely (1994:70-73) bahwa peran pemerintah daerah dalam pembangunan daerah adalah sebagai: (1) entrepreneur/developer, yaitu pemerintah daerah bertanggungjawab untuk menjawab suatu usaha bisnis; (2) coordinator, yaitu pemerintah daerah dapat bertindak sebagai koordinator dalam penetapan suatu kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi pembangunan daerahnya; (3) facilitator, yaitu pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan attitudional (perilaku atau budaya masyarakat) di daerahnya; (4) stimulator, yaitu pemerintah daerah dapat menstimulasi penciptaan  dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut  dan mempertahankan serta menumbuhkembangkan perusahaan-perusahaan  yang telah ada di daerahnya (lihat Arsyad, 1999:120-121).


Dalam konteks ini implementasi kebijakan regional memerlukan kekuasaan bertindak, dan karena kekuasaan ini lebih banyak di tangan pemerintah, maka pemerintah daerah harus mampu melihat dan menentukan wilayah-wilayah mana yang secara ekonomi, sosial  dan kultural memiliki potensi untuk dikembangkan, baik yang secara alami  sudah dimiliki oleh wilayah tersebut maupun akibat pembangunan selama ini. Struktur yang sudah dimiliki oleh suatu wilayah harus dijembatani dengan perencanaan fisik dan regional agar dapat berkembang. Menurut Rodinelli (1985) pembangunan infrastuktur sumber-sumber produksi dan pusat-pusat pelayanan  umum, administrasi dan fiskal dapat digunakan secara ekonomis dan efisien oleh penduduk apabila infrastruktur itu diletakkan pada lokasi yang mudah dijangkau sehingga hal ini memberikan akses kegiatan produktif yang mampu memberikan peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi (lihat Juoro, 1997:69).


Pengembangan wilayah pada pusat-pusat pertumbuhan dengan investasi padat modal akan merangsang pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya  merangsang kegiatan pembangunan wilayah. Kebijakan pemerintah dengan industri padat modal tersebut diikuti dengan pembangunan infrastruktur, transportasi, komunikasi dan kelembagaan sosial yang secara alami hal ini dapat meningkatkan daya tarik investasi. Implikasinya terhadap kegiatan ekonomi masyarakat yaitu di satu sisi produk dari pusat pertumbuhan akan digunakan oleh industri-industri lainnya di wilayah sekitarnya (hinterland) dan diekspor ke luar wilayah, sedangkan pada sisi lain memberikan peluang bagi produk-produk yang dihasilkan di sekitar wilayah pusat pertumbuhan untuk digunakan oleh industri di pusat pertumbuhan. Kondisi ini memungkinkan tercapainya mekanisme pasar atau dengan kata lain kebijakan industri di pusat pertumbuhan merupakan generator untuk kegiatan pertanian dan komersial. Kutub-kutub pertumbuhan tersebut diaplikasikan dalam bentuk hierarkhi wilayah melalui sistem kota-kota untuk menjembatani antardesa dengan kota dengan harapan memperkecil perbedaan peluang kegiatan ekonomi dan pelayanan sosial.


Dalam rangka penyelarasan pertumbuhan ekonomi antara wilayah dalam suatu daerah dikemukakan konsep pendekatanya yaitu pengembangan kecamatan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Pendekatan dengan ruang lingkup kecamatan dimaksudkan agar pemerataan pembangunan antarwilayah dapat lebih merata dengan menemukenali spesialisasi dari masing-masing wilayah sedangkan dari aspek fungsionalnya karena di  kecamatan sudah terjadi variasi kegiatan ekonomi, baik dalam kegiatan sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder (industri dan pengolahan) dan sektor tersier (pelayanan dan jasa). Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan  ekonomi dimaksudkan untuk mengidentifikasi aktifitas-aktifitas ekonomi yang menjadi keunggulan dari suatu kecamatan, sehingga dapat ditentukan kebijakan pembangunan yang paling sesuai dengan melihat spesialisasi keunggulanya.


Kabupaten Lahat yang terdiri dari 15 kecamatan, 13 kelurahan, 509 desa definitif dan 3 desa persiapan memiliki jumlah penduduk 558.856 jiwa dengan luas wilayah 6.618,7 Km2 atau 661.182,7 Ha dan kepadatan penduduk 84,44 jiwa/Km2. Gambaran tentang pembangunan ekonomi Kabupaten Lahat tahun 1996-2001 dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku dari tahun 1996-2001 (tabel 1.1).


Tabel 1.1


Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lahat, Atas Dasar Harga Berlaku, 1996-2001 (juta Rupiah)




























































































































































































































































































































NoLapangan Usaha199619971998199920002001
1.Pertanian

450.327



528.676



906.860



964.701



1.052284



1.326.015


1.1.Tanaman bahan Makanan

111.425



138.416



189.497



227.139



268.140



335.216


1.2.Tanaman Perkebunan

253.217



287.421



552.134



548.037



582.802



736.208


1.3.Peternakan dan hasilnya

26.952



32.814



45.354



52.964



58.522



67.524


1.4.Kehutanan

28.282



33.556



48.510



50.813



51.204



49.588


1.5.Perikanan

30.451



36.469



71.365



85.730



91.616



137.478


2.Pertambangan & Penggalian

42.225



52.350



59.171



62.762



74.244



149.493


2.1.Penggalian

42.225



52.350



59.171



62.762



74.244



149.493


3Industri Penggolahan

95.646



123.581



179.692



188.046



189.694



201.057


3.1.Industri Tanpa Migas

95.646



123.581



179.692



188.046



189.694



201.057


4.Listrik, Gas dan Air Bersih

1.670



1.774



2.308



2.867



3.382



4.500


4.1Listrik

1.279



1.499



1.845



2.352



2.830



3.727


4.2Air Bersih

391



275



463



515



552



773


5.Bangunan

96.911



161.436



169.226



196.716



204.341



241.912


6.Perd, Hotel & Restoran

157.952



187.521



278.976



330.662



363.331



426.026


6.1Perdagangan Besar& eceran

139.213



163.932



242.597



287.884



324.030



375.961


6.2Hotel

1.343



1.463



1.332



1.476



1.532



1.450


6.3Restoran

17.371



22.126



35.047



41.302



37.769



48.615


7.Pengangkutan & Komunikasi

35.452



42.935



60.046



72.575



82.854



123.697


7.1Pengangkutan

28.147



34.136



47.101



54.820



63.917



103.013


7.2Komunikasi

7.305



8.799



12.945



17.755



18.936



20.683


8.KeuSewa &Jasa Perusahaan

55.466



63.560



92.905



93.358



108.040



115.818


8.1Bank

3.987



2.374



10.570



6.446



10.667



9.620


8.2Lembaga Keuangan

1.437



1.750



1.820



2.045



2.559



3.902


8.3Sewa Bangunan

48.317



57.501



77.657



81.970



91.627



99.001


8.4Jasa Perusahaan

1.725



1.935



2.858



2.897



3.188



3.295


9.Jasa-jasa

81.105



95.626



121.466



154.592



191.009



269.649


9.1Pemerintahan Umum

64.679



77.766



94.827



126.913



159.498



236.430


9.2Swasta

16.426



17.860



26.639



27.697



31.511



33.219


 Jumlah PDRB1.016.7591.257.4591.870.6502.066.2802.269.1792.858.167

Sumber: BPS Kabupaten Lahat, PDRB Kabupaten Lahat 1993-2001, 2002


Berdasarkan tabel 1.1 PDRB atas dasar harga berlaku selama lima tahun terakhir mengalami kenaikan rata-rata per tahun 23,7 % yaitu dari Rp.1.016.759 juta menjadi Rp.2.858.167 juta. Perkembangan PDRB atas dasar harga konstan dari tahun 1996 sampai tahun 2001 (tabel 2.1).


Tabel 1.2


Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lahat Atas Dasar Harga Konstan, 1996–2001 (juta rupiah)




































No.Jumlah PDRB

1996



1997



1998



1999



2000



2001


1.Berlaku

1.016.759



1.275.459



1.870.650



2.066.280



2.269.179



2.858.167


2.Konstan

800.025



860.037



808.041



820.914



839.979



910.595



Sumber: BPS Kabupaten Lahat, PDRB Kabupaten Lahat 1993-2001, 2001


Dari tabel 1.2 terlihat bahwa rata-rata terjadi kenaikan PDRB per tahun dari tahun 1996 sampai tahun 2001 sebesar 4,9 % yaitu dari Rp.800.025 juta menjadi Rp.910.595 juta, kecuali pada tahun 1998 terjadi penurunan sebesar Rp.51.996 juta atau 6,04 %. Dalam kaitannya dengan uraian di atas, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lahat tahun 2001 sebesar 8,14 %, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 2,32 % dan pada tahun 1997 pertumbuhan ekonomi mencapai 7,5 % tetapi mengalami penurunan yang drastis pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi sebesar 6,05 % dan 1,59% pada tahun 1999, (pada grafik 1.3).


Struktur perekonomian Kabupaten Lahat tahun 2001 diwarnai dengan kuat oleh ciri struktur ekonomi primer, struktur ekonomi penghasil bahan baku khususnya struktur ekonomi agraris (tabel 1.4).


Tabel 1.4


Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Lahat,


Atas Dasar Harga Konstan, 1996-2001 (juta Rupiah)




























































































































































































































































































































NoLapangan Usaha

1996



1997



1998



1999



2000



2001


1.Pertanian

44,29



42,04



48,48



46,69



46,37



46,39


1.1.Tanaman bahan Makanan

10,96



11,01



10,13



10,99



11,82



11,73


1.2.Tanaman Perkebunan

24,90



22,86



29,52



26,52



25,68



25,76


1.3.Peternakan dan hasilnya

2,65



2,61



2,42



2,56



2,58



2,36


1.4.Kehutanan

2,78



2,67



2,59



2,46



2,26



1,73


1.5.Perikanan

2,99



2,90



3,81



4,15



4,04



4,81


2.Pertambangan & Penggalian

4,16



4,16



3,16



3,04



3,27



5,23


2.1.Penggalian

4,16



4,16



3,16



3,04



3,27



5,23


3Industri Penggolahan

9,41



9,83



9,61



9,10



8,36



7,03


3.1.Industri Tanpa Migas

9,41



9,83



9,61



9,10



8,36



7,03


4.Listrik, Gas dan Air Bersih

0,16



0.14



0,12



0,14



0,15



0,16


4.1Listrik

0,13



0,12



0,10



0,11



0,12



0,13


4.2Air Bersih

0,03



0,02



0,02



0,03



0,03



0,03


5.Bangunan

9,53



12,84



9,05



9,52



9,01



8,46


6.Perd, Hotel & Restoran

15,53



14,91



14,91



16,00



16,01



14,91


6.1Perdagangan Besar& eceran

13,69



13,04



12,97



13,93



14,28



13,15


6.2Hotel

0,13



0,12



0,07



0,07



0,07



0,05


6.3Restoran

1,71



1,76



1,87



2,00



1,66



1,70


7.Pengangkutan & Komunikasi

3,49



3,41



3,21



3,51



3,65



4,33


7.1Pengangkutan

2,77



2,71



2,52



2,65



2,82



3,60


7.2Komunikasi

0,72



0,70



0,69



0,86



0,83



0,72


8.KeuSewa &Jasa Perusahaan

5,46



5,05



4,97



4,52



4,76



4,05


8.1Bank

0,39



0,19



0,57



0,31



0,47



0,34


8.2Lembaga Keuangan

0,14



0,14



0,10



0,10



0,11



0,14


8.3Sewa Bangunan

4,75



4,57



4,15



3,97



4,04



3,46


8.4Jasa Perusahaan

0,17



0,15



0,15



0,14



0,14



0,12


9.Jasa-jasa

7,98



7,60



6,49



7,48



8,42



9,43


9.1Pemerintahan Umum

6,36



6,18



5,07



6,14



7,03



8,27


9.2Swasta

1,62



1,42



1,42



1,34



1,39



1,16


 Jumlah PDRB

100,00



100,00



100,00



100,00



100,00



100,00



Sumber: BPS Kabupaten Lahat,  PDRB Kabupaten Lahat 1993-2001, 2001


            Pada kelompok ekonomi primer, kontribusi terbesar yaitu subsektor tanaman perkebunan (25,76) dan subsektor tanaman bahan makanan (11,73) dengan peningkatan kontribusi dari 25,68 % tahun 2000 menjadi 25,76 pada tahun 2001, sedangkan subsektor tanaman pangan mengalami penurunan sebesar 0,09 % dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 1997, 1999 dan 2000 mengalami kontraksi sehingga terjadi penurunan rata-rata sebesar 2,84 % dan mengalami kenaikan sebesar 7,6 % pada tahun 1998 dan 2001.


            Untuk kelompok sekunder kontribusi terbesar berasal dari sektor bangunan 8,46 %, padahal sektor ini mengalami penurunan sebesar 0,55 poin dibandingkan tahun 2000 yang mencatat kontribusi sebesar 9,01 % terhadap pembentukan PDRB secara keseluruhan. Untuk kelompok tersier kontribusi terbesar berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 14,91 % dan dari angka itu sebagian besar merupakan sumbangan subsektor perdagangan besar dan eceran yang mencapai 13,15 %.


            Perkembangan pendapatan per kapita masyarakat dapat dilihat pada tabel 1.5 berikut,


Tabel 1.5


Pendapatan Per Kapita Masyarakat kabupaten Lahat Atas Dasar Harga Belaku dan Konstan, 1996-2001 (Rp)

































Pendp / kapita

1996



1997



1998



1999



2000



2001


Harga Berlaku

1.353.422,8



1.662.526,4



2.430.510,1



2.646.986,4



2.963.519,2



3.691.728,3


Harga Konstan

1.063.292,4



1.132.120,9



1.049.478,1



1.051.051,7



1.096.405,3



1.174.892,3



Sumber: BPS Kabupaten Lahat, PDRB Kabupaten Lahat 1993-2001, 2001


Pendapatan per kapita masyarakat  atas dasar harga berlaku mengalami kenaikan rata-rata sebesar 22,9 %, sedangkan pendapatan per kapita masyarakat atas dasar harga konstan mengalami fluktuasi di  mana pada tahun 1998 pendapatan per kapita masyarakat mengalami penurunan sebesar 7,3 % dan diimbangi dengan kenaikan pada tahun berikutnya sebesar 1%, 4,3 % dan 7,2 % pada tahun 1999, 2000 dan 2001.         Gambaran umum perekonomian seperti uraian di atas dengan ditandai pertumbuhan ekonomi yang menguat diiringi tingkat inflasi yang tinggi, merupakan potret keadaan perekonomian Kabupaten Lahat. Pertumbuhan ekonomi sebesar 8,41 % lebih disebabkan oleh pertumbuhan positif sektor bangunan sebesar 43,61% atau 46,86 poin, yang pada masa krisis cukup mengalami kontraksi hingga mengalami pertumbuhan negatif sebesar 29,5 %.


            Jika dilihat secara sektoral, perekonomian agraris masih tetap mewarnai perekonomian  daerah Kabupaten Lahat di mana sektor primer yang mencakup  kegiatan pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi yang besar yaitu 51,62 % dari total PDRB yang mencapai Rp.2.858.167 juta. Dominanya sektor primer menunjukan bahwa secara makro sektoral produksi pertanian masih menjadi tulang punggung perekonomian daerah. Akibatnya struktur perekonomian di Kabupaten Lahat masih ditentukan seberapa besar peranan sektor pertanian dalam memproduksi barang dan jasa.


            Arah bagi kebijakan pembangunan yang akan ditempuh oleh pemerintah daerah dilakukan dengan melihat spesialisasi keunggulan dari tiap wilayah atau kecamatan. Kebijakan pembangunan yang dialokasikan dalam bentuk dana pembangunan dapat betul-betul tepat sasaran,  sehingga ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya dapat diperkecil. Wilayah-wilayah yang selama ini tertinggal diharapkan mampu mengejar ketertinggalanya dengan tetap berjalan pada fungsi wilayah masing-masing. Skala yang berbeda-beda dari masing masing wilayah dalam sistem ekonomi, administrasi dan pelayanan umum serta fiskal berakibat fungsi dari wilayah tersebut berbeda pula dalam pola harmonisasi yang mampu saling menunjang peran wilayah satu dengan wilayah lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah yang diangkat yaitu belum teridentifikasi kecamatan kecamatan yang dapat dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.


1.2 Keaslian Penelitian


  Penelitian secara empiris di luar negeri maupun dalam negeri mengenai pengembangan kawasan dengan pendekatan sektoral maupun spasial telah banyak dilakukan. Dari beberapa penelitian tersebut terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lahat ini, baik pengunaan alat analisis, variabel penelitian selain tempat dan waktu penelitian.


Hasil yang ditemukan oleh Benziger (1996) mengenai hubungan keterkaitan antara desa dan kota di Cina adalah kinerja pertumbuhan desa-desa dipengaruhi oleh kemampuan aksesbilitas yang dimiliki. Aksesbilitas tersebut berupa kedekatan dengan kota-kota yang ditunjukkan dengan jarak dari desa ke kota, fasilitas yang digunakan, nilai output industri, tingkat pendidikan, jumlah tenaga kerja dalam sektor industri. Persamaan dengan penelitian di Kabupaten Lahat adalah pada pengujian hubungan  keterkaitan antara desa dengan kota  melalui pendekatan wilayah kecamatan yang berperan pusat pertumbuhan dengan wilayah kecamatan lain di sekitarnya sebagai hinterland, sedangkan perbedaannya terletak pada pendekatan untuk mengetahui interaksi antara pusat pertumbuhan dengan hinterlandnya. Penelitian Benziger mempergunakan analisis regresi, sedangkan penelitian di Kabupaten Lahat menggunakan analisis model interaksi Carrothers.


Bintarto (1983) melakukan penerapan model gravitasi pada interaksi sosial. Penerapannya dilakukan untuk 4 kota  di Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Yogyakarta yaitu Yogyakarta, Surakarta, Salatiga dan Magelang yang lokasinya mengelilingi kompleks gunung kembar Merapi dan Merbabu. Dalam penelitian ini menghasilkan sesuatu yang berbeda dari teori pada umumnya yang mengangap interaksi terkuat  adalah dari jarak yang terpendek, akan tetapi ditemukan bahwa interaksi terkuat antara 4 kota tersebut adalah Yogyakarta –Surakarta yang jaraknya terjauh dibandingkan dengan Magelang – Salatiga yang jaraknya terpendek, sedangkan dalam penelitian ini ditemukan bahwa interaksi terkuat antara dua wilayah ditentukan oleh kedekatan jarak antaranya. Persamaan dengan penelitian ini adalah dengan digunakannya pendekatan Model Interaksi atau Gravitasi, variabel penduduk dan jarak antar wilayah.


Bintarto dan Surastopo (1979) mengestimasi interaksi antara 4 kota kecamatan di DIY yaitu Kecamatan Pakem, Kecamatan Sleman, Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Bantul. Hasil dari penelitian empat kota kecamatan di DIY dilandasi anggapan bahwa kondisi jalan dan fasilitas alat transportasi dianggap sama. Interaksi terkuat antara keempat kecamatan tersebut adalah Kecamatan Pakem dengan Kecamatan Sleman, berdasarkan jarak terpendek yang dilalui. Persamaan dengan penelitian ini adalah bahwa interaksi terbesar antara dua wilayah ditentukan oleh kedekatan jarak antara keduannya dan kharakteristik dari keadaan geografis lokasi penelitian berupa kawasan pegunungan, lereng vulkan dan sistem perhubungannya masih belum baik sedangkan perbedaanya adalah lokasi dan tahun penelitian.


Penelitian yang dilakukan di beberapa kota di Amerika untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya kota yang dilakukan oleh Anas dan Small (1998) melalui pendekatan jumlah dan pertumbuhan penduduk, membahas pula teori-teori aglomerasi yang menyangkut aspek skala ekonomi  internal; skala  ekonomi eksternal; kompetisi yang tidak sempurna; stabilitas, pertumbuhan dan dinamika; dan model-model non dinamis; serta mengenai kesejahteraan ekonomi pada struktur perkotaan. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat kekuatan dunia yang menghasilkan keberapa kewenangan  desentralisasi dan keragaman  pada skala kota dan skala lokal aglomerasi. Persamaan dengan penelitian ini adalah bagaimana peran suatu wilayah sebagai suatu pusat pertumbuhan ekonomi yang berfungsi sebagai generator yang mampu menstimulus terhadap peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat di wilayahnya maupun wilayah hinterlandnya, sedangkan perbedaan  adalah  terletak pada skala kota yang diteliti, variabel  dan waktu penelitian.


Pudjiwinarno (2000) meneliti tentang model pengembangan wilayah kecamatan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sleman sebagai langkah untuk mengetahui sektor unggulan di tiap kecamatan sehingga dapat diperoleh kecamatan-kecamatan baru yang dapat dikembangkan sebagai pusat pengembangan wilayah di samping kecamatan yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu Kecamatan Godean, Kecamatan Pakem dan Kecamatan Turi. Persamaan dengan penelitian ini adalah pengunaan Teori Growth Pole, variabel penduduk dan memanfaatkan alat analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP), Location Quotient (LQ) dan analisis Overlay. Perbedaannya terletak pada penekanan untuk menemukan kecamatan yang secara kategori sebagai pusat pertumbuhan dan tidak menguji suatu pusat pertumbuhan wilayah disamping pada pemakaian sebagian alat analisis.


Haeruddin  (2001) meneliti tentang identifikasi kecamatan sebagai pusat pertumbuhan wilayah di Kabupaten Soppeng. Hasil yang diperoleh  dari penelitian  tersebut adalah bahwa terdapat satu kecamatan di  Kabupaten Soppeng yang dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan wilayah selain Kecamatan Lalabata sebagai ibukota kabupaten, yaitu Kecamatan Lilirilau dan sebagai hinterlandnya adalah Kecamatan Liliiaja. Selain itu terdapat tiga variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan wilayah tersebut antara lain  tingkat tenaga kerja terdidik, pendapatan perkapita, dan tingkat buta huruf. Perbedaanya dengan penelitian ini di samping data, lokasi dan waktu penelitian juga pada pemakaian sebagian alat analisis, dimana pada penelitian ini digunakan alat analisis Location Quotient (LQ), analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) dan analisis Overlay sedangkan pada penelitian di Kabupaten Sopeng dipergunakan alat analisis Ekonometrika Model Logit Binary.


 


1.3 Tujuan dan Manfaat Yang diharapkan


 


1.3.1 Tujuan penelitian


            Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :




  1. mengidentifikasi kecamatan-kecamatan mana yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lahat;

  2. mengetahui interaksi antara kecamatan-kecamatan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan kecamatan-kecamatan sebagai pendukung (hinterland);

  3. mengetahui spesialisasi keunggulan tiap kecamatan dengan melihat komoditas unggulan di tiap kecamatan.


  1.3.2 Manfaat penelitian


            Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat :




  1. sebagai masukan berupa sumbang saran atau pemikiran baru  bagi Pemerintah Kabupaten Lahat dalam merumuskan kebijakan  pembangunan daerah dengan mengedepankan aspek regional dan sektoral, khususnya mengenai peran kecamatan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;

  2. menambah pengetahuan penulis dalam kajian mengenai pusat pertumbuhan wilayah di daerah khususnya di Kabupaten Lahat;

  3. sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang membahas pada pokok masalah yang sama.

0 komentar:

Posting Komentar