PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN KABUPATEN MALANG, 1995 – 2000

BAB I


PENGANTAR


 1.1 Latar Belakang


Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah berlaku secara efektif sejak awal Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan membangun daerahnya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah direalisasikan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.


Konsekuensi dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun  1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999,  maka daerah memiliki kewenangan yang lebih luas kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah sekaligus memikul tanggung jawab yang lebih besar. Pemerintah Kabupaten/Kota diharapkan mampu mandiri di dalam menyelenggarakan pemerintahan, menentukan kebijakan pembangunan serta pendanaan sehingga mampu untuk meningkatkan kemampuan dalam merencanakan, menggali, mengelola, dan menggunakan sumber-sumber potensi yang dimiliki daerah.


Sampai saat ini ada tiga pertimbangan yang menunjukkan bahwa titik berat otonomi daerah berada di tingkat Kabupaten/Kota. Pertama, pertimbangan politis di mana Kabupaten/Kota dipandang sebagai bagian integral Negara Kesatuan RepublikIndonesiayang memerlukan kekuasaan dan kewenangan dalam mengelola urusan daerah. Agar tidak terjadi gejolak politik, Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk mengurus daerahnya sendiri. Kedua, pertimbangan administratif bahwa otonomi daerah akan mempermudah masyarakat untuk menerima publik service dari birokrasi pemerintahan. Otonomi daerah diharapkan membuat pelayanan lebih cepat, efektif, efisien, dan murah. Ketiga, pertimbangan pembangunan di mana Kabupaten/Kota dipandang paling dekat dengan masyarakat dalam pembangunan dan sesuai dengan pelaksanaan pembangunan untuk memotivasi partisipasi masyarakat (Kuncoro, 1996:3-17).


Di samping itu, ada beberapa alasan penting yang dikemukakan Osborne dan Gaebler (1993:281-284) mengenai keunggulan pemerintah desentralisasi dengan titik berat pada Kabupaten/Kota. Pertama, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi. Kedua, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih efektif dan inovatif daripada yang tersentralisasi. Ketiga, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produktivitasnya sehingga lebih bermanfaat bagi masyarakat.


Pemerintah daerah mempunyai fungsi untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang maupun jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat daerah, mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal untuk merangsang perkembangan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi dan pelayanan masyarakat di daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.


Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan proses kenaikan pendapatan per kapita daerah dalam jangka panjang. Arsyad (1999:7), suatu perekonomian daerah dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan perekonomian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dicapai lebih tinggi dari waktu tahun sebelumnya. Faktor utama yang menentukan pertumbuhan ekonomi daerah adalah adanya permintaan barang dan jasa dari luar daerah, sehingga sumber daya lokal akan dapat menghasilkan kekayaan daerah sekaligus dapat menciptakan peluang kerja di daerah. Artinya sumber daya lokal baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang dimiliki daerah merupakan kunci dalam perekonomian suatu daerah sehingga sumber daya yang ada merupakan potensi ekonomis yang dapat dikembangkan secara optimal agar dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.


Salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu daerah dalam suatu periode tertentu ditunjukkan oleh PDRB. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.


Peran pemerintah daerah dalam pembangunan daerah adalah : (a) entrepreneur, yaitu pemerintah daerah bertanggungjawab untuk merangsang jalannya suatu bisnis, (b) koordinator, yaitu pemerintah daerah sebagai koordinator dalam penetapan suatu kebijakan atau strategi-strategi bagi pembangunan daerah, (c) fasilitator, yaitu pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan attitudional di daerahnya, (d) stimulator, yaitu pemerintah daerah dapat menstimulasi penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan mempengaruhi investor baru agar masuk dan mempertahankan serta menumbuhkembangkan investor yang telah ada di daerahnya (Blakely, 1994:60). Arsyad (1999:115) merumuskan pembangunan daerah yaitu: Pembangunan daerah = f (sumber daya alam, tenaga kerja, investasi, entrepreneurship, komunikasi, komposisi industri, teknologi, luas daerah, pasar ekspor, situasi ekonomi internasional, kapasitas pemerintah daerah, pengeluaran pemerintah pusat dan bantuan-bantuan pembangunan).


Pembangunan daerah tidak dapat tercapai tanpa didukung oleh kemampuan keuangan daerah dan sangat ditentukan oleh potensi yang dimilikinya. Pada umumnya sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dominan bersumber dari penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Akibatnya tampak disparitas yang sangat besar antara pangsa pajak daerah dan retribusi daerah dengan pangsa komponen-komponen PAD lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum melakukan penggalian potensi sumber-sumber PAD secara optimal yang dalam pelaksanaannya sangat dipengaruhi kondisi perekonomian daerah yang bersangkutan.


Kerusuhan yang terjadi pada peristiwa Mei 1998 di Kota Surakarta serta krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia telah memberikan gambaran mengenai berbagai aspek yang menjadi perhatian Pemerintah Daerah Kota Surakarta khususnya aspek ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Pertumbuhan ekonomi tidak mungkin terjadi selama lembaga-lembaga sosial, kondisi politik dan nilai-nilai moral dalam suatu bangsa tidak menunjang (Jhingan, 1999:67). Perencanaan untuk membangun kembali perekonomian di Kota Surakarta pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan daerah yang lain seperti DKI Jakarta maupunYogyakarta. Perbedaannya adalah pada saat terjadi kerusuhan telah mengakibatkan terganggunya asset dan fasilitas sosial-ekonomi di KotaSurakarta.


Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam rangka merumuskan dan menetapkan kebijakan perencanaan pembangunan daerah agar lebih terarah, permasalahan yang dihadapi oleh Kota Surakarta adalah belum teridentifikasinya sektor unggulan dan subsektor  unggulan daerah agar mampu memberikan kontribusi dan pertumbuhan yang cukup besar terhadap kegiatan ekonomi di Kota Surakarta.


1.2 Keaslian Penelitian


Sepanjang yang diketahui, bahwa telah terdapat beberapa penelitian empiris tentang identifikasi sektor unggulan dan pertumbuhan ekonomi dimana beberapa peneliti sebelumnya menggunakan pendekatan alat analisis yang berbeda-beda. Hanham dan Banasick (2000) melakukan penelitian di Jepang selama periode 1981–1995. Penelitian ini menggunakan analisis Shift-Share dan hasilnya menunjukkan bahwa sektor industri dan struktur perekonomian secara regional berperan dalam menggeser atau mengubah struktur tenaga kerja di lingkup industri dalam daerah regional tersebut. Pengaruh struktur wilayah lingkup regional terhadap perekonomian secara regional di Jepang ternyata tidak merata. Persamaannya dengan penelitian ini adalah keduanya menggunakan alat analisis Shift-Share. Perbedaannya adalah lokasi penelitian, periode penelitian dan alat analisis yang lainnya.


Haynes dan Dinc (1997) dalam penelitiannya di Amerika Serikat tentang perubahan produktivitas dalam perindustrian daerah. Pendekatan yang digunakan adalah Shift-Share sehingga diketahui penyebab perubahan kinerja ekonomi dan kesempatan kerja sektor industri di dua belas negara bagian yaitu enam negara kawasan tropis (Arizona, California, Florida, Kentucky, Tennessee dan Texas) dan enam negara kawasan salju (Illinois, Massachusetts, Michigan, New York, Ohio dan Pennsylvania). Adapun persamaannya dengan penelitian ini adalah keduanya menggunakan alat analisis Shift-Share sedangkan  perbedaannya adalah lokasi penelitian, periode penelitian dan alat analisis yang lainnya.


Khalifah (1996) melakukan penelitian periode 1991-1993 yaitu  pertumbuhan pasar ekspor Malaysiadalam kurun waktu 3 tahun (lihat Purnomo, 2001:10). Alat analisis yang digunakan adalah Shift-Share di mana pertumbuhan ekspor dengan basis industri, sektor manufaktur lebih tinggi daripada sektor pertanian. Persamaannya dengan penelitian ini adalah keduanya menggunakan alat analisis Shift-Share. Adapun perbedaannya adalah lokasi penelitian, periode penelitian dan alat analisis yang lainnya.


Penelitian lain juga dilakukan oleh Soepono (1993) melakukan penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta periode 1980-1990 dalam kurun waktu sepuluh tahun. Alat analisis yang digunakan adalah Shift-Share Klasik/tradisional, Esteban-Marquilas dan Arcelus. Persamaannya dengan penelitian ini adalah keduanya menggunakan alat analisis yang sama yaitu Shift-Share Klasik serta modifikasi Esteban-Marquilas dan Arcelus. Adapun perbedaannya terletak pada lokasi penelitian, periode penelitian dan alat analisis lainnya.


Sjafrizal (1997) melakukan penelitian di Wilayah Indonesia Bagian Barat periode 1987-1995 dengan menggunakan alat analisis tipologi Klassen dan indeks Williamson. Persamaannya dengan penelitian ini adalah keduanya menggunakan alat analisis yang sama yaitu Tipologi Klassen. Adapun Perbedaannya terletak pada lokasi penelitian, periode penelitian dan alat analisis yang lainnya.


Nelli melakukan penelitian di Kabupaten Subang Jawa Barat periode 1993-1998 dalam kurun waktu enam tahun. Adapun alat analisis yang digunakan adalah Location Quotient, Shift-Share, Peringkat Sektor Unggulan dan Skoring Kuantitatif. Persamaannya dengan penelitian ini adalah keduanya menggunakan alat analisis yang sama yaitu Location Quotient dan Shift-Share. Adapun perbedaannya terletak pada lokasi penelitian, periode penelitian dan alat analisis yang lainnya. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa sektor unggulan di Kabupaten Subang adalah Pertanian, Perdagangan, dan Pemerintahan.


Secara umum penelitian ini memiliki kesamaan dimana penelitian ini juga menggunakan alat analisis yang pernah digunakan dan disesuaikan dengan permasalahan yang ada. Perbedaannya adalah alat analisis yang digunakan mengalami penyesuaian berdasarkan konteks penelitian serta lokasi unit analisisnya yang berada di Kota Surakarta propinsi Jawa Tengah.


1.3 Tujuan Penelitian


Mengacu kepada latar belakang yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk :




  1. membandingkan kinerja ekonomi Kota Surakarta dengan Propinsi Jawa Tengah yang dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita;

  2. mengidentifikasi sektor dan subsektor unggulan dalam perekonomian Kota Surakarta;

  3. menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah Kota Surakarta dibandingkan dengan Propinsi Jawa Tengah.

0 komentar:

Posting Komentar