IMPLEMENTASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN ACEH SELATAN, 1991/1992-2001

BAB  I


PENGANTAR


1.1    Latar  Belakang


Salah satu unsur yang paling penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah sistem atau cara pengelolaan keuangan daerah, hal ini penting dan mendasar untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada serta upaya untuk mengakomodasi berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang akan dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).  Pasal 4 dan 5 menyebutkan bahwa, pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.


            Anggaran belanja rutin merupakan salah satu alternatif yang dapat merangsang kesinambungan serta konsistensi pembangunan di daerah secara keseluruhan menuju tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama. Oleh  sebab itu, kegiatan rutin yang akan dilaksanakan merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pembangunan di daerah.


            Bertitik tolak dari hasil pembangunan yang akan dicapai dengan tetap memperhatikan fasilitas keterbatasan sumber daya yang ada maka dalam rangka untuk memenuhi tujuan pembangunan baik secara nasional atau regional perlu mengarahkan dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara berdaya guna dan berhasil guna dengan disertai pengawasan dan pengendalian yang ketat baik yang dilakukan oleh aparat tingkat atas maupun tingkat daerah serta jajarannya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


            Jaya, (1999:11) menyatakan bahwa sumber pembiayaan  pem-bangunan yang penting untuk diperhatikan adalah penerimaan daerah sendiri, karena sumber inilah yang merupakan wujud partisipasi langsung masyarakat suatu daerah dalam mendukung proses pembangunan.  Pengelolaan keuangan daerah sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah yang kuat dan berkuasa serta mampu mengembangkan kebesarannya atau menjadi tidak berdaya tergantung pada cara mengelola keuangannya. Dalam hal ini pengelolaan keuangan daerah mengandung beberapa kepengurusan di mana kepengurusan umum atau yang sering disebut pengurusan administrasi dan kepengurusan khusus atau juga sering disebut pengurusan bendaharawan.


            Pengurusan umum erat hubungannya dengan penyelenggaraan tugas daerah di segala bidang yang membawa akibat pada pengeluaran dan yang mendatangkan penerimaan guna menutup pengeluaran rutin itu sendiri. Oleh karena itu, semakin banyak dan beratnya tugas daerah dengan kemungkinan keadaan keuangan yang terbatas, maka perlu adanya efisiensi terhadap rencana-rencana yang akan dijalankan pada masa yang akan datang.


Perhitungan  anggaran daerah  (perhitungan APBD)  adalah pertanggungjawaban pemerintah daerah atas seluruh pelaksanaan program dan kegiatan yang telah dianggarkan dalam APBD. APBD disatu pihak menggambarkan perhitungan atas perkiraan dan realisasi pengeluaran, dan dipihak lain menggambarkan perhitungan atas perkiraan dan realisasi penerimaan daerah dalam membiayai program dan kegiatan daerah dalam satu anggaran tertentu  (Mamesah, 1995: 140).


Menurut UU No. 25 tahun 1999, penerimaan daerah pada dasarnya  terdiri atas tiga hal besar berikut ini:




  1. penerimaan asli daerah (PAD), yang  berasal dari pajak dan  retribusi daerah Laba BUMD, lain – lain penerimaan;

  2. dana perimbangan, yang terdiri atas dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil (termasuk bagi hasil sumber daya alam); serta

  3. pinjaman daerah.


Penerimaan daerah dari sumber PAD merupakan sumber penerimaan yang berasal dari kemampuan daerah itu sendiri dalam menggali sumber keuangan untuk membiayai urusan pemerintahan.  Pada  Pendapatan Asli Daerah yaitu  membandingkan antara rencana penerimaan pada awal tahun dengan realisasi  yang dapat dicapai diakhir tahun, apabila  hasil yang diperoleh lebih besar dari target yang ditetapkan maka penerimaan PAD dikatakan  efektif, tetapi jika realisasi penerimaan PAD kurang dari target yang ditetapkan maka penerimaan PAD kurang efektif.


Sementara itu yang dimaksud dengan dana alokasi umum (DAU) tidak lain adalah dana dari pemerintah pusat yang kewenangan pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana ini disediakan untuk  membiayai pengeluaran belanja rutin dan belanja pembangunan.  Pada belanja rutin dimasa lalu dikenal  dengan istilah dana ganjaran atau  subsidi belanja pegawai, sedangkan pembiayaan pembangunan dikenal istilah dana  subsidi non pegawai atau bantuan umum yang bersifat block grant, yang pada masa lalu dikenal sebagai Inpres Dati I, Inpres Dati II. Dana alokasi Khusus (DAK) adalah bentuk dana yang bersifat khusus (specific grant) yang penggunaannya berdasarkan atas petunjuk atau kebijakan dari pihak pemberi yaitu pemerintah pusat, dan di masa lalu DAK ini dikenal seperti Inpres SD, Inpres Kesehatan, juga subsidi daerah otonom (SDO) dapat dimasukkan dalam kategori dana bersifat khusus. Penerimaan dari Pemerintah Pusat membandingkan antara  nilai awal  yang tertera dalam dokumen penyerahan dana oleh pemerintah pusat  dengan  nilai riil dana  yang disalurkan dan diterima oleh Pemerintah Daerah.


Untuk evaluasi Belanja Rutin, Mardiasmo (1999), menemukan bahwa sejak 1991/1992 hingga tahun anggaran 1995/1996, rata-rata proporsi pengeluaran miscellaneous, yaitu “Belanja Lain-lain”, “Pengeluaran yang Tidak Termasuk Dalam Bagian Lain”, dan “Pengeluaran yang Tidak Tersangka”, terhadap total belanja rutin pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota se Indonesia adalah sebesar 14,33%. Lebih jauh lagi apabila ketiga pengeluaran diatas dibandingkan dengan total belanja rutin non belanja pegawai, maka proporsi pengeluaran miscelaneous di atas menjadi lebih besar, yaitu 45,48%. Hal ini menunjukkan bahwa cost awareness (kesadaran atas uang publik) di seluruh Pemda Kabupaten/Kota di Indonesia masih rendah.


Pelaksanaan belanja pembangunan dengan mencermati realisasi  proyek pada masing-masing sektor  yaitu membandingkan antara nilai  proyek  yang disediakan bagi  satuan kerja untuk mengelolanya dengan  nilai akhir dana yang dapat dikerjakan.  Kajian pada belanja pembangunan  disini ditujukan untuk  mengetahui  seberapa besar  dana proyek dapat dilaksanakan dan kendala  yang dihadapi mengapa  proyek tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Dalam hal ini  kendala yang sering dijumpai  adalah terjadi perubahan kebijakan pemerintah daerah  dalam tahun anggaran berjalan, seperti  dana proyek peningkatan jalan kabupaten  dialihkan untuk  menambah biaya pada sektor keamanan dan ketertiban yang dinilai lebih mendesak.    Pergeseran  ini  hanya dapat dilakukan untuk jenis dana bersifat umum  yaitu dana yang kewenangan  pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah  misalnya dari sumber PAD, Inpres Dati II umum,  Dana Alokasi Umum.


Untuk dana yang bersifat khusus seperti  Subsidi Daerah Otonom, Inpres Dati II Khusus, Dana Alokasi Khusus,  perubahan prioritas penggunaan dana dilakukan oleh pemerintah pusat , karena dana ini pada masa lalu merupakan wujud top down planning  yang sangat dominan di daerah.  Hasil pengelolaan keuangan daerah berupa penerimaan dan belanja dituangkan dalam bentuk laporan pertangungjawaban keuangan daerah yang disusun oleh Kepala Daerah   terdiri dari: Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah  (PP No.105 Tahun 2000: pasal 38). Dalam rangka pertanggungjawaban keuangan inilah tahap perhitungan APBD  sebagai bagian  dari  siklus anggaran  merupakan tahapan yang paling strategis. Dikatakan strategis karena pada tahapan  ini  akan  terlihat  besarnya  realisasi  penerimaan dan pengeluaran yang telah  dicantumkan  dalam  APBD  tahun  anggaran  berjalan,  sehingga  dari    sisi keuangan daerah dapat melihat apakah kegiatan yang telah direncanakan pada tahap penyusunan   APBD   telah  dilaksanakan   sesuai   dengan   anggaran   yang     telah ditetapkan.


Pertanggungjawaban  keuangan  melalui perhitungan anggaran  tersebut,   perhitungan    anggaran  yang    telah   ditetapkan  oleh Kabupaten Aceh Selatan  sejak tahun anggaran 1991/1992 sampai tahun anggaran 2001,  selalu  menunjukkan adanya sisa lebih perhitungan anggaran. Hal ini  berarti  terjadi kelebihan  antara realisasi penerimaan dengan realisasi pengeluaran pada tahun anggaran sebelumnya.


Dalam rangka pertanggungjawaban publik dan tranparansi, maka perhitungan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pengelolaan keuangan pada masa akan datang. Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang akan diteliti adalah sejauhmana pelaksanaan  anggaran dan realisasi penerimaan, belanja, sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu dalam APBD  di Kabupaten Aceh Selatan selama periode 1991/1992-2001.


1.2   Keaslian  penelitian


Menurut Kuncoro, (1995) dalam penelitiannya mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia, variabel yang diamati PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP), ganjaran, subsidi (grants), bantuan, pinjaman daerah, sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu selama kurun waktu 1984/1985–1990/1991 seluruh kabupaten di Indonesia. Alat analisis yang digunakan metode proporsional. Hasil penelitian diperoleh (1) proporsi PAD 12,9 persen, (2) proporsi bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) 12,4 persen, (3) proporsi sumbangan/bantuan Pemerintah Pusat 70,3 persen,  (4) pinjaman daerah 1,5 persen, (5) sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu 2,9 persen.


Klase dan Dougherty, (2002) melakukan penelitian pengaruh pelaksanaan anggaran pada fungsi pengeluaran pemerintah, variabel yang diamati adalah pengeluaran per kapita untuk bidang pendidikan, kesejahteraan, transportasi, kesehatan dan pengeluaran pemerintah di negara Amerika dari tahun 1986 sampai dengan tahun 1997.  Variabel dianalisis dengan time-series regression analysis. Analisis terhadap variabel  dikemukakan bahwa pelaksanaan  anggaran rata-rata sebesar $ 44 per kapita untuk   belanja pendidikan, $ 127 per kapita belanja kesejahteraan,  $ 15 per kapita belanja kesehatan, tetapi kurang dari $ 19 belanja transportasi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pelaksanaan anggaran belanja berpengaruh positif terhadap pengeluaran per kapita di beberapa daerah.


Brojonegoro, (2000) melakukan penelitian desentralisasi fiskal di Indonesia selama periode  1992-2001, variabel yang diamati (1) belanja daerah, (2) pendapatan daerah  (3) dana dari Pemerintah Pusat. Alat analisis yang digunakan Shift and Share. Hasil penelitian diperoleh belanja daerah terhadap total belanja  rata-rata sebesar 24,82 persen, penerimaan daerah terhadap total penerimaan rata-rata 3,80 persen, penerimaan dari pemerintah pusat terhadap total belanja daerah rata-rata 103,04 persen. Secara umum dikemukakan bahwa pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mempertimbangkan kewenangan desentralisasi yang diberikan kepada daerah dan konsekuensinya pada belanja daerah. Pemerintah daerah akan memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menjalankan pemerintahan dalam menyediakan pelayanan publik kepada masyarakat. Untuk melaksanakan pelayanan publik pemerintah daerah perlu dukungan dana dari pemerintah pusat melalui bantuan keuangan.


            Mardiasmo (2000) melakukan penelitian implikasi APBN dan APBD dalam kontek otonomi daerah, variabel yang diamati PAD, dana perimbangan, produk domestik bruto (PDB). Alat analisis yang digunakan proporsi untuk menghitung porsi subsektor pembiayaan pembangunan terhadap produk domestik bruto. Hasil penelitian dikemukakan bahwa  pergeseran anggaran belanja dalam APBN menjadi anggaran belanja daerah (APBD) menurunkan produk domestik bruto tahun 1999/2000 dengan rasio  1,3 menjadi tahun 2000 dengan rasio  0,9, sehubungan dengan pengalihan pengelolaan kegiatan pembangunan dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi.


Kwon , (2002) melakukan penelitian pengaruh desentralisasi fiskal pada belanja publik, studi kasus di Korea. Variabel yang diamati adalah pajak daerah, pajak nasional, belanja pemerintah pusat (CE), belanja pemerintah daerah (LE), rasio total pengeluaran pemerintah (TE), kemampuan keuangan daerah (DEC), pendapatan per kapita dan jumlah penduduk.  Alat analisis yang digunakan yaitu model regresi ordinary least squares (OLS) dan model regresi generalized least squares (GLS). Hasil analisis diperoleh  bahwa desentralisasi fiskal dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah untuk melaksanakan pelayanan publik. Teori keuangan negara  yang menyatakan desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi di pemerintah daerah dengan mengakui perbedaan kebutuhan daerah, sehingga desentralisasi diharapkan akan memberikan peluang kompetisi dan motivasi bagi daerah untuk berkreasi dan bertanggungjawab kepada masyarakat.


Pembangunan yang dilakukan dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah di Korea memberikan peluang sangat baik bagi daerah. Hasil penelitian dapat diamati dari  nilai koeffisien negatif  rasio belanja pemerintah daerah terhadap total belanja pemerintah pusat (DEC = CE         -2,491; LE -0,207; TE -1,931)  menunjukkan bahwa  belanja sektor publik akan mengurangi pengeluaran pemerintah pusat. Artinya desentralisasi fiskal  akan mengubah kebutuhan penyediaan barang publik dan kebutuhan masyarakat di Korea.


Berkaitan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti  disebutkan di atas, apabila dibandingkan dengan penelitian ini mempunyai beberapa kesamaan antara lain permasalahan yang akan dibahas serta beberapa alat analisis yang relevan untuk digunakan. Penelitian ini difokuskan untuk meneliti pelaksanaan  penerimaan, belanja rutin, belanja pembangunan  dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu  di Kabupaten Aceh Selatan selama periode 1991/1992 sampai 2001.


1.3     Tujuan dan Manfaat  penelitian


1.3.1     Tujuan  penelitian


          Tujuan   yang   ingin   dicapai  dalam  penelitian  ini adalah untuk mengetahui  sebagai berikut.




  1. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selama 11 tahun yaitu dari tahun 1991/1992-2001;

  2. Kontribusi  pendapatan asli daerah (PAD) terhadap APBD dari tahun anggaran 1991/1992 sampai tahun anggaran 2001.

  3. Kontribusi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap APBD yang diterima oleh Pemerintah Daerah dari tahun anggaran 1991/1992 sampai tahun anggaran 2001.

  4. Kontribusi Dana dari Pemerintah yang lebih tinggi terhadap APBD dari tahun  anggaran 1991/1992 sampai tahun anggaran 2001. Perhitungan dilakukan untuk melihat sumbangan masing-masing komponen penerimaan terhadap APBD;

  5. Proporsi anggaran belanja rutin terhadap APBD dari tahun anggaran 1991/1992 sampai tahun anggaran 2001.

  6. Proporsi anggaran belanja pembangunan terhadap APBD dari tahun anggaran 1991/1992 sampai tahun anggaran 2001.

  7. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu (SATL) dari tahun 1991/1992 sampai tahun anggaran 2001.


1.3.2     Manfaat  Penelitian


Manfaat  yang diharapkan  dari  penelitian ini adalah sebagai berikut.




  1. Masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan   dalam melaksanakan  anggaran daerah,  khususnya  tingkat realisasi  pengelolaan keuangan yang telah dianggarkan, baik dari  bagian penerimaan daerah  maupun belanja daerah;

  2. Membantu  memperluas khasanah pengkajian  masalah keuangan daerah, khususnya dalam   penyusunan  anggaran daerah  dan laporan pertanggungjawaban  keuangan daerah yang menyangkut laporan pertanggung jawaban   Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

0 komentar:

Posting Komentar