PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISPARITAS REGIONAL DI JAWA TENGAH, 1983-2000

BAB I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan.  Dengan demikian pembangunan ekonomi mempunyai pengertian :




  1. suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus;

  2. usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita;

  3. perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya). Sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari dua aspek yaitu aspek perbaikan di bidang organisasi ((institusi) dan perbaikan dibidang regulasi baik formal maupun non formal (Arsyad, 1999 : 6 ).


Menurut Paul D. Streeten, Direktur World Development Institute yang konsep pembangunan harus didefinisikan kembali sebagai upaya menghapus berbagai bentuk penyakit umat manusia : mal nutrisi (kekurangan gizi); penyakit; buta huruf; daerah-daerah pemukiman kumuh; pengangguran dan ketimpangan pendapatan (lihat Todaro 2000 : 92). Jika hanya dihitung berdasarkan tingkat pertumbuhan agregat, maka mungkin pembangunan yang sudah dijalankan selama ini telah membawa keberhasilan besar. Tetapi apabila diukur atas dasar jumlah kesempatan kerja baru, peningkatan keadilan sosial dan pemberantasan kemiskinan, pembangunan selama ini tidak banyak membuahkan hasil, atau bahkan telah gagal.


Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan Gross National Product  (GNP) yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Namun yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya, kalangan elit kaya yang minoritas atau mayoritas rakyat yang miskin (Todaro, 2000 : 177).   Lebih lanjut dinyatakan perlu dilakukan upaya  peninjauan kembali terhadap segenap prioritas pembangunan  dari  tujuan memaksimalkan laju pertumbuhan GNP menjadi pengutamaan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan langsung, seperti pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan pendapatan. Namun terdapat jurang yang lebar antara upaya peninjauan kembali segenap prioritas pembangunan dengan pelaksanaannya.  Sangat disadari bahwa upaya peninjauan kembali strategi pembangunan yang lebih menitik-beratkan pada perbaikan nasib golongan miskin akan berhadapan dengan berbagai macam masalah dan kendala politik, kelembagaan dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan struktur kekuasaan.


Kemiskinan dan pemerataan merupakan masalah pelik dan sensitif dalam pembangunan ekonomi. Karenanya dalam membangunan selalu diperhatikan segi pemerataan di samping pertumbuhan. Ajaran teori lama bahwa pemerataan akan dengan sendirinya makin baik setelah mencapai tingkat pembangunan tertentu (trickle down effect), dan untuk mengejar pertumbuhan cepat, pemerataan harus dikorbankan lebih dulu sudah usang di kalangan perencana ekonomi pembangunan kontemporer (Sigit, 1997 : 172). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pemerataan dan pengentasan kemiskinan harus diupayakan seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dan tidak perlu menunggu kue hasil pembangunan menjadi besar dulu.


Perencanaan pembangunan di Indonesia semasa orde baru dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang dibuat oleh Badan Perencana dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Repelita I yang disusun dan dimulai pelaksanaannya tanggal 1 April 1969 diikuti Repelita selanjutnya (Arsyad ,1999 : 33).


Sejak meletusnya Peristiwa Malari tahun 1974,  lahir konsep Trilogi Pembangunan sebagai produk Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Konsep ini menjadi tumpuan kebijakan pembangunan Pelita II sampai dengan Pelita VI. Trilogi Pembangunan pada hakekatnya merupakan strategi pembangunan setiap Pelita. Keberhasilan setiap tahap pembangunan (Pelita) harus didukung oleh : pertumbuhan; stabilisasi dan pemerataan dan keadilan (Saleh dkk., 2000 : 39). Pelaksanaan strategi pembangunan tersebut telah banyak dicapai kemajuan yang berarti, namun demikian juga masih terlihat bahwa banyak tujuan mendasar yang masih jauh dari harapan yang ingin diwujudkan, bahkan mungkin masih ada arah pelaksanaan yang belum sesuai dengan perspektif yang dikehendaki dan diamanatkan oleh UUD 1945.


Pembangunan yang terpusat dan tidak merata selama ini ternyata hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan tidak diimbangi kehidupan sosial, politik, ekonomi yang demokratis dan berkeadilan, fundamental ekonomi yang rapuh, penyelenggaraan negara yang sangat birokratis dan cenderung korup, serta tidak demokratis menyebabkan krisis moneter dan ekonomi, yang nyaris berlanjut dengan krisis moral yang memprihatinkan ( GBHN, 2002 : 7). Penyelanggaraan negara di bidang ekonomi dilakukan atas dasar kekuasaan yang terpusat dan campur tangan pemerintah yang terlalu besar, sehingga kedaulatan ekonomi tidak di tangan rakyat dan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif, serta kesenjangan  ekonomi yang meliputi kesenjangan antara pusat dan daerah, antardaerah, antarpelaku dan antargolongan pendapatan, telah meluas ke seluruh aspek kehidupan struktur ekonomi tidak kuat yang ditandai berkembangnya monopoli serta pemusatan kekuatan ekonomi di kelompok kecil   masyarakat  dan daerah tertentu (GBHN, 2002 : 11).


Sejalan dengan semakin meningkatnya informasi melalui berbagai media masa, semakin meningkat pula daya kritis dan kepekaan masyarakat terhadap pembangunan nasional, isu ketimpangan pembangunan antardaerah terus mengemuka. Isu kesenjangan dipandang sebagai suatu kegagalan pembangunan dipandang dari sisi pemerataan. Meskipun upaya untuk mengurangi kesenjangan telah dilaksanakan dengan strategi Trilogi Pembangunan dan upaya-upaya lain untuk meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, namun disinyalir bahwa kesenjangan pembangunan semakin meningkat. Menurut Sigit (1997 : 172) Majunya komunikasi masa global, adanya kemiskinan dan ketidakmerataan di tengah kemajuan ekonomi, akan membawa dampak sosial-politik yang justru sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan.


Terjadinya kesenjangan pembangunan antardaerah menurut Tim P4N-UGM  dengan Bappeda Jawa Tengah ( 1997 : 1-2) dinyatakan bahwa beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan  yang lambat. Daerah-daerah  tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena kurangnya sumberdaya alam yang dimiliki, adanya kecenderungan penanam modal (Investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang telah memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi dan tenaga kerja yang terampil, di samping itu adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat kepada daerah. Jadi jelas bahwa pembangunan ekonomi akan membawa (inherent) ketimpangan regional apabila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh. Sehingga untuk menghindari hal tersebut strategi  yang  diambil  adalah perencanaan  pembangunan (Setyarini, 1999 : 3).


Kesenjangan pembangunan dan pendapatan antarpenduduk  bukan hanya merupakan masalah pembangunan nasional, tetapi juga oleh Propinsi Jawa Tengah sebagai bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga grand stategy Trilogi Pembangunan yang dicanangkan Pemerintah Indonesia juga membawa implikasi kebijakan bagi Jawa Tengah, terlebih kebijakan pembangunan yang cenderung sentralistik sebelum era reformasi, maka lingkungan strategis kebijakan nasional tersebut sangat berpengaruh terhadap strategi pembangunan di Jawa Tengah.


Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan  yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia pertengahan tahun 1997, memiliki pertumbuhan yang cukup tinggi di atas tujuh persen per tahun.  Selama lima tahun ( 1996 – 2000 ) mengalami fluktuasi, terlebih pada tahun 1998 terjadi penurunan PDRB akibat krisis ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 1996 di atas 7 %, pada tahun 1997 turun menjadi 3,03 %; Bahkan pada tahun 1998 terjadinya puncak krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi yang cukup besar yaitu menjadi minus 11,74 %.  Kondisi perekonomian tahun 2000 mulai membaik ditandai pertumbuhan ekonomi (PDRB) sebesar 3,90 %. Berdasarkan sektor pembentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)  Jawa Tengah selama lima tahun (1996 – 2000)  atas dasar harga konstan 1993 tersaji pada tabel 1.1.


Tabel 1.1


PDRB menurut Sektor atas Dasar Harga Konstan 1993 Propinsi Jawa Tengah, 1996 – 2000


































































































Sektor



Tahun



1996



1997



1998



1999



2000


Pertanian

8487791,93


(20,28 %)



8216026,20


(19,05 %)



7940632,03


(20,86 %)



8184670,67


(20,78 %)



8447654,90


(20,64 %)


Pertambangan dan Galian

527557,05


(1,26 %)



587426,67


(1,36 %)



545662,76


(1,43 %)



575612,99


(1,46 %)



589963,73


(1,44 %)


Industri Pengolahan

13327648,25


(31,84 %)



13709758,32


(31,79 %)



11707062,06


(30,76 %)



12036861,68


(30,55 %)



12421426,24


(30,35 %)


Listrik, gas dan air bersih

346833,47


(0,83 %)



393556,61


(0,91 %)



407879,93


(1,08 %)



450221,11


(1,14 %)



493724,43


(1,21 %)


Bangunan

2011485,33


(4,81 %)



2139684,09


(4,96 %)



1452845,56


(3,82 %)



1626238,4


(4,13 %)



1650463,27


(4,03 %)


Perdagangan, Hotel dan restoran

9034329,6


(21,58 %)



9612930,14


(22,29 %)



8747290,31


(22,98 %)



9026900,22


(22,91 %)



9631793,24


(23,53 %)


Pengangkutan dan Komunikasi

1705241,76


(4,07 %)



1765846,11


(4,09 %)



1765265,74


(4,64 %)



1946926,99


(4,94 %)



2053018,42


5,02 %)


Keuangan, Persewaan dan jasa perusahaan

2114567,23


(5,05 %)



2283522,22


(5,29 %)



1502666,55


(3,95 %)



1559305,07


(3,96 %)



1605968,13


(3,92 %)


Jasa-jasa

4306569,10


(10,29 %)



4420088,54


(10,25 %)



3995902,44


(10,50 %)



3987776,61


(10,12 %)



4038526,07


(9,87 %)


PDRB Jateng

41862203,72



43129838,99



38065273,35



39394513,74



40932538,43



Sumber : BPS Jawa Tengah, Jawa Tengah Dalam Angka 2001, 2001 (diolah)


 Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah selama waktu lima tahun (1996 –2000) berfluktuasi, tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah mengalami penurunan yang sangat tajam menjadi minus 11,75 % akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.  Laju pertumbuhan ekonomi menurut sektor-sektor di Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 1.2.


Tabel 1. 2


Laju Pertumbuhan PDRB atas Harga Konstan 1993 menurut Sektor Propinsi  Jawa Tengah, 1996 – 2000


























































































Sektor



Tahun (Persen)



1996



1997



1998



1999



2000


Pertanian

3,37



-3,20



-3,35



3,07



3,21


Pertambangan dan galian

11,85



11,35



-7,11



5,49



2,49


Industri Pengolahan

8,71



2,87



-14,61



2,82



3,19


Listrik, Gas dan Air Bersih

14,03



13,47



3,64



10,38



9,66


Bangunan

11,24



6,37



-32,10



11,93



1,49


Perdagangan, Hotel dan Restoran.

8,35



6,40



-9,00



3,20



6,70


Pengangkutan dan Komunikasi.

12,88



3,61



-0,09



10,29



5,45


Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan.

7,11



7,99



-34,20



3,77



2,99


Jasa-jasa

4,13



2,64



-9,60



-0,20



1,27



Sumber : BPS Jawa Tengah, Jawa Tengah Dalam Angka 2001(diolah)


Hasil evaluasi Pelita V sampai dengan Paruh waktu Pelita VI menunjukkan  bahwa kesenjangan pendapatan antardaerah yang diukur dengan indeks Williamson mengalami peningkatan dari 0,62 tahun 1988 menjadi 0,73 tahun 1995. Kesenjangan absolut yaitu kesenjangan antar PDRB  per kapita Dati II tertinggi dan terendah mengalami peningkatan dari tujuh kali tahun 1993 menjadi delapan kali tahun 1995. Demikian juga kesenjangan pendapatan antarpenduduk selama paruh waktu Pelita VI juga mengalami peningkatan dari 0,28 tahun 1990 menjadi 0,30 tahun 1996. Disamping kesenjangan yang semakin melebar, pengangguran di Jawa Tengah juga semakin tinggi.   Setyarini (1999) yang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pembangunan di Propinsi Jawa Tengah periode 1983–1995 juga menemukan bahwa kesenjangan  di Jawa Tengah yang diukur melalui indeks Williamson rata-rata sebesar 0,81 selama periode pengukuran dan cenderung meningkat trendnya meskipun dalam angka yang relatif kecil setiap tahun.


Terjadinya krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997 dan pergeseran kebijakan pembangunan yang bersifat sentralistik ke arah desentralisasi dengan berlakunya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada pemerintah kabupaten/kota, sehingga daerah memiliki peluang yang lebih luas mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat dan potensi daerah-masing. Perubahan strategi dan kebijakan yang cukup mendasar tersebut akan membawa perubahan terhadap strategi pembangunan di Jawa Tengah.


Indikator keberhasilan pembangunan bukan hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi semata, tetapi pengentasan kemiskinan dan  pemerataan pembangunannya adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan itu sendiri.  Ada teori yang mengatakan adanya tradeoff  antara pertumbuhan dan kesenjangan. Namun kenyataan membuktikan ketidakmerataan di negara sedang berkembang dalam dekade belakangan ini ternyata berkaitan dengan pertumbuhan rendah. Di banyak negara sedang berkembang tidak ada tradeoff antara pertumbuhan dan ketidakmerataan (Kuncoro, 2000 : 110-111). Lebih lanjut menurut Field (1990)  dinyatakan bahwa diskusi mengenai ada tidaknya tradeoff antara pertumbuhan dengan pemerataan tergantung jenis data yang digunakan apakah silang tempat (cross section), runtut waktu (time series) ataukah menggunakan data mikro (lihat Kuncoro, 2000 : 111).


Pembangunan Jawa Tengah selama kurun waktu 1983-2000  telah banyak mengalami kemajuan dilihat dari pertumbuhan ekonomi utamanya sebelum krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997, tetapi dari beberapa penelitian yang ada diindikasikan bahwa tingkat kesenjangan antardaerah semakin meningkat, dan tingkat penggangguran semakin tinggi.  Krisis ekonomi yang berakibat menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi terutama pada tahun 1998 disertai dengan krisis multi dimensi, telah membawa perubahan mendasar terhadap strategi dan kebijakan pembangunan baik di tingkat  nasional dan regional Jawa Tengah. Perubahan strategi dan kebijakan akan berdampak pada proses dan hasil pembangunan di masa yang akan datang. Sementara polemik tentang bagaimana upaya untuk menyelaraskan antara pertumbuhan dan pemerataan terus berkembang. Penelitian yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Regional di Jawa Tengah, 1982-2000”, menelaah apakah pembangunan di Jawa Tengah terjadi tradeoff antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan atau terjadi pertumbuhan disertai perbaikan pemerataan pada periode sebelum krisis ekonomi dan periode krisis ekonomi.


1.2   Keaslian Penelitian


Penelitian yang membahas kesenjangan ekonomi antardaerah dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson, entropi theil dan kesenjangan pendapatan per kapita penduduk dengan menggunakan Indeks Gini atau Rasio Gini, telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri.  Wei dan Fan (2000) menyimpulkan bahwa yang menyebabkan terjadinya kesenjangan di Propinsi Jiangsu, RRC utamanya antara Sunan dengan Suzhong dan Subei adalah karena adanya sintesa tiga agen utama perubahan spatial yaitu : Negara; agen lokal dan investor asing. Ketiga pilar tersebut yang merupakan perwujudan kerangka pembangunan “dari atas, dari bawah dan dari luar” didukung oleh kelimpahan sumber daya utamanya pertanian dan sumber daya manusia, menyebabkan pertumbuhan ekonomi  Sunan lebih cepat dan semakin memperlebar kesenjangan dengan Suzhong dan Subei. Sementara Ying (2000) yang mengadakan penelitian di Cina pada periode 1978-1994 dengan meggunakan alat analisis entropi theil menyatakan bahwa ketimpangan di Cina mengalami penurunan dari 0,069 tahun 1978 menjadi 0,047 tahun 1994.


Syafrizal (1997) melakukan penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan regional di wilayah Indonesia bagian barat, menemukan berdasarkan angka indeks Williamson ketimpangan regional untuk wilayah Indonesia Bagian Barat ternyata lebih rendah daripada angka untuk Indonesia secara keseluruhan. Kenyataan tersebut memberi indikasi bahwa pemerataan pembangunan antar daerah  wilayah Indonesia bagian barat secara relatif lebih baik dengan kondisi rata-rata seluruh Indonesia. Kenyataan tersebut tidak hanya bersifat sementara, tetapi kelihatannya telah bersifat tetap mulai 1971-1995. Berdasarkan angka indeks kesenjangan Williamson diketahui bahwa tingkat kesenjangan di Wilayah Indonesia Bagian Barat menunjukkan penurunan dari 0,274 tahun 1971 menjadi 0,179 tahun 1993.


Penelitian tentang kesenjangan di Propinsi Jawa Tengah pernah dilakukan oleh Setyarini (1999) yang membahas faktor-faktor yang  mempengaruhi kesenjangan pembangunan ekonomi antardaerah di Propinsi Jawa Tengah, dengan periode waktu 1983 – 1995.  Penelitian tersebut menyimpulkan  bahwa kesenjangan pembangunan ekonomi antardaerah di Jawa Tengah yang dihitung dengan menggunakan koefisien disparitas Williamson selama periode 1983-1995 cenderung mengalami peningkatan, meskipun peningkatan relatif lambat. Hal ini dibuktikan dengan arah garis trend linear dari koefisien disparitas yang positif sebesar 0,05. Kesamaan dengan penelitian terdahulu tersebut adalah lokasi dan metode penghitungan tingkat kesenjangan serta waktu penelitian.  Sedang yang membedakan dengan penelitian terdahulu khususnya terhadap penelitian kesenjangan di Jawa Tengah adalah perbedaan waktu penelitian dan metode yang digunakan untuk analisis pertumbuhan.


1.3   Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah yang ada, maka diperlukan suatu upaya untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di Propinsi Jawa Tengah yang telah dilaksanakan selama ini. untuk itu maka dapat dirumuskan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut :




  1. mengkaji pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi di Jawa Tengah sebelum dan pada masa krisis ekonomi;

  2. mengkaji pola dan struktur  ekonomi regional di Jawa Tengah sebelum dan pada masa krisis ekonomi;

  3. mengitung tingkat disparitas regional di Jawa Tengah sebelum dan pada masa krisis ekonomi.

0 komentar:

Posting Komentar