ANALISIS KINERJA RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN RSUD KABUPATEN SLEMAN 1992/1993 – 2002

BAB I


PENGANTAR


1.1 Latar Belakang


Desentralisasi merupakan penyerahan urusan dan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah yang lebih rendah dan termanifestasikan dalam otonomi daerah (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999) yaitu kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan otonomi daerah pada dasarnya adalah memberdayakan segenap potensi yang dimiliki daerah dan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan daerah.


            Menurut Simanjuntak (2002) sasaran desentralisasi fiskal di Indonesia secara umum adalah: 1) untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara; 2) mendorong akuntabilitas, dan transparansi pemerintah daerah; 3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah; 4) mengurangi ketimpangan antar daerah; 5) menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah; dan 6) meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum (lihat Sadli, 2002;165). Adanya desentralisasi fiskal diarahkan agar setiap daerah mampu mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri,  sehingga dalam penyelenggaraan pemerintah dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan terhadap masyarakat.


Menurut Kaho (1997: 123) salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus  rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan hal ini berarti faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Pemerintah daerah selain harus sanggup menggali sumber-sumber keuangan juga harus sanggup mengelola dan menggunakan secara value for money dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah.


Dalam pelaksanaan otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi sumber keuangan yang utama selain penerimaan-penerimaan lainnya. Pemerintah daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan dalam menggali sumber keuangan sendiri dengan didukung perimbangan keuangan pusat dan daerah serta propinsi dan kabupaten/kota. Sumber-sumber keuangan yang berasal dari PAD pendanaannya diusahakan dan dikelola sendiri oleh daerah, komponen yang berperan penting terhadap kontribusi penerimaannya selain pajak daerah bersumber dari retribusi daerah. Penggolongan retribusi daerah menurut Undang-undang nomor 34 tahun 2000 sebagai perubahan atas Undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdiri atas: retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu.


Sesuai dengan penjelasan  atas Peraturan Pemerintah  Nomor 105 tahun 2000, misi utama dari pengelolaan keuangan daerah adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya keharusan menciptakan pemerintahan yang bersih dengan transparansi dan akuntabilitas keuangan terhadap masyarakat.


Keharusan dalam pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel diharapkan  dapat meningkatkan kinerja bagi pemerintah, maka agar penyajian laporan keuangan pemerintah daerah nantinya dapat dipertanggungjawabkan dan menaikkan kinerja lembaga sektor publik, dalam hal ini pemerintah daerah maka seharusnya dimulai dengan pengelolaan keuangan daerah yang berprinsip pada value for money. Selanjutnya Mardiasmo (2002: 121), menyatakan bahwa  akuntabilitas bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien dan efektif.


            Tuntutan atas pemerintahan yang baik (good governance) yaitu pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan) terhadap masyarakat membuat perimbangan keuangan pusat dan daerah yang adil saja belum cukup, tapi masih diperlukan pengelolaan atas keuangan daerah yang baik sehingga dapat terpenuhinya pelayanan publik yang optimal serta kesejahteraan masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan pemerintah agar memberikan laporan mengenai penguasaan atas dana-dana publik dan penggunaannya, lebih daripada itu harus dapat mempertanggungjawabkan kepada rakyat mengenai penghimpunan sumber-sumber dana publik dan tujuan penggunaannya.


Pengelolaan retribusi daerah secara efektif dan efisien dirasakan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah serta pertanggungjawaban publik. Pemerintah daerah dalam mendorong peningkatan pendapatan daerahnya dalam bentuk retribusi daerah hendaknya tetap berpegang pada asas umum pengelolaan keuangan daerah yang pada prinsipnya harus memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.


Kewenangan dalam otonomi memberikan kesempatan bagi daerah untuk berkembang, namun dari sisi pendanaan merupakan tantangan yang cukup berat mengingat ketergantungan yang selama ini masih sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Peran pajak dan retribusi daerah yang besar terhadap PAD belum diketahui sejauhmana tingkat kinerjanya. Berbeda dengan penelitian Insukindro, dkk (1994) yang menyatakan bahwa pada umumnya peran retribusi lebih dominan daripada pajak daerah, maka di Kabupaten Sleman selama periode penelitian peran pajak daerah justru lebih dominan daripada retribusi daerah. Adapun perkembangan realisasi pajak dan retribusi daerah terhadap total PAD selama sepuluh tahun terakhir, dapat dilihat pada tabel berikut:


 Tabel 1.1


Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Sleman, 1992/1993-2002

















































































































Tahun



Realisasi



Kontribusi



Realisasi



Kontribusi



Anggaran



Pajak Daerah



(%)



Retribusi Daerah



(%)





(Rp)





(Rp)





1992/1993



  1.292.455.892,46



0,45



    997.996.167,50



0,34



1993/1994



  1.402.995.137,27



0,40



 1.316.589.012,00



0,38



1994/1995



  2.294.602.398,84



0,44



 1.752.651.285,00



0,34



1995/1996



  3.950.032.991,25



0,53



 2.340.639.446,00



0,31



1996/1997



  4.904.287.863,05



0,46



 2.523.970.420,00



0,24



1997/1998



  6.307.064.984,82



0,47



 3.450.573.395,00



0,26



1998/1999



  7.229.182.708,87



0,49



 3.466.829.646,00



0,23



1999/2000



  9.185.908.717,58



0,54



 5.551.344.263,90



0,32



2000



  9.602.014.787,69



0,54



 5.676.781.484,60



0,32



2001



  6.069.014.396,26



0,54



 8.268.612.581,75



0,28



2002



22.094.977.769,96



0,57


   10.225.900.071,44

0,26



Rata2





0,49





0,30




  Sumber:  BPKKD Bidang Belanja Kabupaten Sleman, Perhitungan APBD,                  beberapa terbitan (data diolah)



Dari tabel 1.1 menunjukkan bahwa pendapatan daerah Kabupaten Sleman yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya demikian juga dengan PAD. Kontribusi pajak daerah terhadap total PAD setiap tahunnya selalu lebih dominan daripada retribusi daerah. Secara persentase, rata-rata pajak daerah menyumbang sebesar  49% terhadap total PAD sedangkan retribusi daerah menyumbang lebih kecil yaitu sebesar 30% terhadap total PAD.


Penerimaan PAD Kabupaten Sleman yang potensial untuk dikembangkan bersumber dari retribusi pelayanan kesehatan. Retribusi pelayanan kesehatan ini merupakan retribusi paling dominan dalam pembentukan total retribusi daerah. Adapun realisasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan serta kontribusinya  terhadap retribusi daerah dan total PAD Kabupaten Sleman tahun anggaran 1992/1993-2001, dapat ditunjukkan pada tabel berikut:


Tabel 1.2


Kontribusi Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD


terhadap Retribusi Daerah dan PAD Kabupaten Sleman,


1992/1993 – 2002































































































































Tahun



Realisasi Retr.



Realisasi



Kontribusi



Total PAD



Kontribusi



Anggaran



Pely. Kesehatan



Retribusi Daerah



terhadap





terhadap





(Rp)




(Rp)



Retr.Daerah (%)




(Rp)



PAD (%)



1992/1993



  285.002.685,00



   997.996.167,50



0,29



    2.900.154.892,33



0,10



1993/1994



  365.882.035,00



1.316.589.012,00



0,28



   3.467.932.075,27



0,11



1994/1995



  543.023.800,00



1.752.651.285,00



0,31



  5.168.421.306,69



0,11



1995/1996



  637.371.470,00



2.340.639.446,00



0,27



  7.442.337.458,56



0,09



1996/1997



  763.698.900,00



2.523.970.420,00



0,30



10.574.223.659,38



0,07



1997/1998



1.398.701.775,00



3.450.573.395,00



0,41



13.464.881.289,39



0,10



1998/1999



1.744.228.661,00



3.466.829.646,00



0,50



14.786.415.038,00



0,12



1999/2000



2.665.240.450,00



5.551.344.4263,90



0,48



17.125.444.712,22



0,16



2000



2.523.123.904,00



5.676.781.484,60



0,44



17.889.883.435,46



0,14



2001



3.649.028.367,00



8.268.612.581,75



0,44



29.571.153.214,43



0,12



2002



4.296.574.897,00



1.225.900.071,44



0,42



38.908.105.817,97



0,11



Rata-rata




.

0,38





0,11



Sumber:  BPKKD Bidang Belanja Kabupaten Sleman, Perhitungan APBD, beberapa terbitan    (data diolah)


            Terlihat pada tabel 1.2 bahwa Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD Kabupaten Sleman secara rata-rata dalam 11 (sebelas) tahun menyumbang sebesar 38% terhadap total retribusi daerah dan 11% terhadap total PAD. Sebagai salah satu sumber PAD yang terbesar pada pos retribusi daerah, penerimaan retribusi pelayanan kesehatan di Kabupaten Sleman masih memiliki peluang untuk dikembangkan antara lain dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi penerimaannya dengan demikian dapat dilakukan langkah-langkah dan kebijakan dalam peningkatan penerimaan retribusi secara rasional.


Upaya peningkatan penerimaan daerah tidak selamanya melalui peningkatan tarif maupun penambahan obyek retribusi daerah, tapi dapat dilakukan dengan optimalisasi terhadap potensi retribusi daerah yang telah ada juga dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan retribusi daerahnya. Pengelolaan retribusi daerah secara efisien dan efektif tidak terlepas dari kewenangan dalam hal otonomi di bidang kesehatan yang memberikan kesempatan bagi daerah khususnya RSUD untuk lebih mengembangkan sistem kesehatan rumah sakit daerah masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta kondisi dan kemampuan daerahnya.


Sebagai salah satu komponen penerimaan retribusi daerah, retribusi pelayanan kesehatan di Kabupaten Sleman merupakan retribusi jasa umum yang disumbangkan oleh Dinas Kesehatan dan RSUD Murangan Kabupaten Sleman. Sejak tahun anggaran 1999/2000, penerimaan retribusi pelayanan kesehatan RSUD Kabupaten Sleman menjadi satu pos dengan penerimaan dari Dinas Kesehatan pada APBD.


Selama periode penelitian dari tahun 1992/1993 sampai dengan tahun 2002 penerimaan retribusi pelayanan kesehatan terbesar selalu didominasi oleh RSUD Kabupaten Sleman. Kenaikan penerimaan dari RSUD relatif lebih tajam daripada penerimaan Dinas Kesehatan. Rata-rata penerimaan retribusi pelayanan kesehatan dari Dinas Kesehatan adalah 21,21% dan RSUD adalah 78,79% dari keseluruhan penerimaan retribusi pelayanan kesehatan. Kontribusi retribusi pelayanan kesehatan dari Dinas Kesehatan dan RSUD Kabupaten Sleman selama tahun 1992/1993 sampai dengan 2002 dapat dilihat pada tabel berikut ini:


Tabel 1.3


Kontribusi Retribusi Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan dan RSUD Kabupaten Sleman terhadap Retribusi Pelayanan Kesehatan, 1992/1993 – 2002























































































































Tahun



Dinas



Kontribusi



RSUD



Kontribusi



Retribusi Pely.





Kesehatan



(%)





(%)



Kesehatan



1992/1993



139.518.675



32,86



   285.002.685



67,14



   424.521.360



1993/1994



151.115.975



29,23



   365.882.035



70,77



   516.998.010



1994/1995



153.287.450



22,01



   543.023.800



77,99



   696.311.250



1995/1996



184.113.750



22,41



   637.371.470



77,59



   821.485.220



1996/1997



200.517.850



20,80



   763.698.900



79,20



   964.216.750



1997/1998



462.856.590



24,86



1.398.701.775



75,14



1.861.558.365



1998/1999



547.182.505



23,88



1.744.228.661



76,12



2.291.411.166



1999/2000



567.117.025



17,54



2.665.240.450



82,46



3.232.357.475



2000



422.295.710



12,54



2.945.419.614



87,46



3.367.715.324



2001



604.953.365



14,22



3.649.028.367



85,78



4.253.981.732



2002



641.716.665



12,99



4.296.574.897



87,01



4.938.291.562



Rata-rata


 

21,21





78,79





Sumber:  BPKKD Bidang Belanja Kabupaten Sleman, Perhitungan APBD, beberapa terbitan  (data diolah)


RSUD Murangan Kabupaten Sleman merupakan Rumah Sakit Umum Dearah dengan kategori kelas C berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 105/Menkes/SK/II/1998 dan mendapat persetujuan MenPAN Nomor B-510/I/94 tanggal 28 April 1994. Sebagai salah satu kontributor terbesar dalam pembentukan sumber PAD, peran retribusi pelayanan kesehatan RSUD belum diketahui apakah kinerja pengelolaannya telah dilakukan secara efisien dan efektif maupun faktor-faktor (variabel independen) yang berpengaruh dalam penerimaannya. Dengan dilakukan analisis kinerja terhadap pengelolaan retribusi pelayanan kesehatan akan diketahui sejauhmana kualitas pengelolaannya. Peningkatan pendapatan daerah yang diperoleh dari retribusi       daerah   seharusnya   diikuti dengan kualitas pelayanan pemerintah yang baik pada masyarakat khususnya pelayanan kesehatan.


1.2  Keaslian Penelitian


Dalam penelitiannya, Kuncoro dkk (1996), menemukan bahwa Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta belum mampu membiayai pembangunan daerahnya dengan pembiayaan dari sumber Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS). Dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat ketergantungan Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta terhadap subsidi pusat masih sangat besar.


Insukindro dkk (1994) menemukan bahwa pada umumnya peran retribusi daerah lebih dominan pajak daerah. Salah satu faktor penghambat dalam penentuan potensi PAD adalah karena kelangkaan data Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang akurat. Penentuan target PAD masih kurang realistik, karena potensi belum tergali dengan baik. Penentuan potensi atau target hanya berdasarkan pada data historis yang belum tentu realistik dengan keadaan yang sesungguhnya.


Makhfatih (1997) dalam penelitiannya mengenai kinerja Pemerintah Daerah Tingkat II di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode 1991/1992-1995/1996 menunjukkan, bahwa pemungutan pajak penerangan jalan, retribusi pasar dan retribusi parkir telah efisien sedangkan Pajak Pembangunan I dan Pajak Keramaian tingkat efisiensinya masih relatif rendah, kecuali Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Tingkat efisiensi pengeluaran Belanja Pegawai di setiap daerah tingkat II relatif masih rendah kecuali Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Pencapaian tingkat efisiensi Belanja Pegawai selama periode tersebut menunjukkan perubahan yang berfluktuasi dan bagi Kabupaten Kulonprogo menunjukkan penurunan efisiensi yang cukup tajam.


Klazinga, dkk (2001), melakukan penelitian tentang masalah kebijakan tentang kesehatan masyarakat dan manajemen dengan pengumpulan data yang terkait untuk melaksanakan pengawasan. Dengan menggunakan indikator kesehatan masyarakat dapat membantu membedakan jasa sesuai sesuai dengan spesifikasi dan permintaan masyarakat. Indikator ini sebaiknya dikembangkan melalui partisipasi masyarakat. Pengembangan dan penggunaan indikator merupakan satu kesatuan dalam perencanaan dan penyusunan pelayanan kesehatan, sedangkan penentuan kebijakan dengan pengumpulan data yang terkait.


Lewis, Gerald dan Margaret (1996), menemukan bahwa anggaran  rumah sakit Aybar di Republik Dominika lebih tinggi 50% dari biaya pelayanan yang sesungguhnya sehingga mengakibatkan pemborosan biaya yang tinggi, waktu yang terbuang dan produktivitas yang rendah. Walaupun pengeluaran bagi dokter merupakan sebagian besar keseluruhan pengeluaran, hasil penelitian menghitung hanya 12% jam kerja dokter diperuntukkan untuk pengobatan dan perawatan.  Proporsi anggaran rumah sakit bagi pengeluaran personel/pegawai lebih dari 84%. Hal ini menunjukkan adanya inefisiensi  dan manajemen rumah sakit yang buruk.


Haryono (2001) melakukan penelitian di Puskesmas Sidoarjo, menunjukkan bahwa efisiensi retribusi pelayanan kesehatan puskesmas selama 6 tahun (1996-2001) berfluktuasi. Penyebab dari inefisiensi retribusi pelayanan kesehatan puskesmas karena peningkatan pengeluaran tunjangan pangan pegawai puskesmas, membengkaknya biaya operasional (input). Selama tahun penelitian retribusi pelayanan kesehatan puskesmas belum mencapai hasil yang efektif.


Wasli (2001), mengatakan perhitungan potensi pada tahun 1996/1997 dan 1997/1998 lebih rendah daripada target yang ditetapkan oleh RSUD, sedangkan pada tahun 1998/1999 sampai dengan 2000 perhitungan potensi lebih besar daripada target yang ditetapkan. Tingkat efisiensi rata-rata 136,72% atau tidak efisien, sedangkan tingkat efektivitas rata-rata sebesar 67,68% atau kurang efektif.


Utomo (1997: 54-55), menemukan realita bahwa pelaksanaan desentralisasi dan otonomi di Dati II Kudus dalam hal tertentu lebih luas dan leluasa daripada di Dati II Cilacap, di Dati II Cilacap banyak kegiatan ekonomi yang dikendalikan pemerintah pusat atau pengusaha luar daerah yang berada di luar jangkauan pemerintah daerah. Kurangnya kepentingan pusat dan dati I di Kudus menyebabkan kurangnya campur tangan pemerintah pusat dan dati I terhadap pelaksanaan pemerintahan di Kudus.


Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada lokasi, obyek, periode waktu penelitian, dan alat analisis yang digunakan terutama analisis regresi dengan penggunaan 3 (tiga) variabel independen terhadap realisasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan RSUD Kabupaten Sleman.  Berkaitan dengan hal tersebut, sejauh pengamatan dan pengetahuan peneliti dapat dikatakan bahwa penelitian ini belum pernah ada dan dilakukan di Kabupaten Sleman.


1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan penelitian


1.   Mengetahui kinerja pengelolaan retribusi pelayanan kesehatan daerah Kabupaten Sleman tahun 1992/1993-2002.




  1. Mengukur besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan Kabupaten Sleman tahun 1992/1993-2002.

  2. Mengetahui pertumbuhan retribusi pelayanan kesehatan kabupaten Sleman tahun 1992/1993-2002.

  3. Memproyeksikan retribusi pelayanan kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2003-2006.


1.3.2 Manfaat penelitian




  1. Membantu memberi masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam menentukan kebijakan yang mampu meningkatkan kinerja pengelolaan retribusi pelayanan kesehatan.

  2. Menambah referensi dalam bidang ilmu keuangan daerah tentang usaha peningkatan Pendapatan Asli Daerah khususnya dalam pengelolaan retribusi pelayanan kesehatan.

0 komentar:

Posting Komentar