KEMAMPUAN DAERAH DARI ASPEK KEUANGAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS DI KOTA PONTIANAK, 1989/1990 – 2001)

BAB  I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


Krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang melanda Indonesia telah membawa dampak pada berbagai aspek atau sektor kehidupan, di mana dampak tersebut tidak hanya melanda sektor privat, tetapi juga sektor publik (pemerintah). Dampak yang terjadi tersebut lebih bersifat negatif seperti bertambahnya tingkat pengangguran dan kemiskinan, meskipun tidak dipungkiri ada juga yang bersifat positif misalnya meningkatnya ekspor beberapa komoditi yang tentunya akan meningkatkan pendapatan para penghasil komoditi tersebut.


Dampak negatif dari krisis ekonomi pada sektor publik (pemerintah) ini di antaranya terjadi pada sektor APBN, yaitu akan mempengaruhi sektor pendapatan dan pengeluaran APBN tersebut. Pendapatan dan pengeluaran dalam APBN menjadi labil dalam arti kata tingkat ketidakpastiannya menjadi tinggi. Ketidakpastian dalam penerimaan APBN ini tentu pada gilirannya akan mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karena sebagian besar daerah kabupaten/kota di Indonesia tingkat ketergantungan keuangan kepada pemerintah pusat tinggi sehingga dengan  krisis ini maka tingkat ketergantungannya akan lebih tinggi.


Sejalan dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 tersebut, tuntutan reformasi di segala bidangpun digulirkan oleh masyarakat. Salah satunya adalah tuntutan otonomi daerah yang luas serta perimbangan keuangan yang lebih adil, proporsional dan transparan antarpemerintah pusat dan daerah. Guna mencermati tuntutan tersebut maka MPR  menghasilkan suatu ketetapan yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.


Berdasarkan ketetapan MPR ini maka dikeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah, yaitu :




  1. Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun  1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;

  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara  Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.


Kedua undang-undang ini menuntut bahwa daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan , lembaga adat dan LSM serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kenyataan yang terjadi selama ini adalah rendahnya proporsi PAD terhadap APBD, sehingga daerah sangat bergantung kepada sumber dana dari pemerintah pusat yaitu bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat, baik untuk pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Hal ini tercermin dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dari masing-masing daerah tingkat II seluruh Indonesia yang belum mampu membiayai pengeluaran rutinnya.


Hal yang sama tentunya juga terjadi pada masing-masing daerah kabupaten/kota di Propinsi Kalimantan Barat yang dilihat dari kontribusi PAD terhadap total penerimaan APBD tahun 1997/1998 – 1999/2000  berikut ini :


Tabel 1.1


Kontribusi PAD Terhadap Total Penerimaan APBD Kabupaten/Kota di Propinsi Kalimantaran Barat, 1997/1998 – 1999/2000


( %)
































































Kabupaten/Kota



1997/1998



1998/1999



1999/2000



Rata-Rata


Kota Pontianak

14,3



13,2



9,6



 12,4


Kabupaten Pontianak

3



3,5



2,4



 3,0


Kabupaten Sambas

4,3



3,8



2,6



 3,6


Kabupaten Sanggau

2,2



1,9



1,8



 2,0


Kabupaten Sintang

2



2



1,6



 1,9


Kabupaten Kapuas Hulu

1,3



1



0,9



 1,1


Kabupaten Ketapang

2,2



2,1



2



 2,1




  Sumber Data : BPS Pusat, Statistik Keuangan Daerah Tingkat II, 1997-1999 (diolah)


Berdasarkan tabel 1.1 di atas diketahui bahwa rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan APBD kabupaten/kota di Kalimantan Barat rata-rata di bawah 10 persen. Hanya Kota Pontianak di atas 10 persen, selain Kota Pontianak rata-rata di bawah 4 persen.


Rendahnya kontribusi PAD terhadap total penerimaan APBD kabupaten/kota di Kalimantan Barat tersebut mengindikasikan bahwa masih dominannya peranan bantuan dana dari pemerintah pusat di dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah kabupaten/kota di Kalimantan Barat. Ketergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat tersebut tentu pada gilirannya akan membuka peluang yang besar bagi pemerintah pusat melakukan intervensi dalam berbagai kebijakan pengelolaan keuangan dan pembangunan daerah. Hal ini tentunya dapat membatasi pemberdayaan masyarakat, prakarsa dan kreatifitas dan peran serta masyarakat dalam pembangunan.


Khusus untuk Kota Pontianak di mana sebagai Ibukota Propinsi Kalimantan Barat yang memiliki konsekuensi dan tanggung jawab sebagai pintu gerbang dari Propinsi Kalimantara Barat, dituntut untuk mampu memberikan pelayanan terhadap perkembangan kota dan regional. Kondisi kontribusi PAD terhadap total penerimaan APBD  yang masih rendah tersebut tentunya dapat menjadi suatu hambatan di dalam tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang diharapkan. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan penerimaan PAD dengan tingkat pertumbuhannya lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan APBD, sehingga proporsi PAD terhadap total penerimaan APBD meningkat.


Berdasarkan uraian-uraian yang telah disebutkan sebelumnya di mana kontribusi PAD terhadap total penerimaan APBD Kota Pontianak masih rendah, sehingga di dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kota Pontianak tersebut sangat tergantung kepada pemerintah pusat. Kemampuan keuangan pemerintah pusat sendiri terbatas dan bahkan semakin terbatas. Di sisi lain otonomi daerah itu sendiri menuntut daerah agar mandiri, oleh karena itu permasalahan khusus yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kemandirian keuangan daerah tersebut khususnya Kota Pontianak.


1.2  Keaslian Penelitian


Penelitian yang berkaitan dengan kemampuan keuangan suatu daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sudah banyak dilakukan, tetapi penelitian yang sama ditujukan khusus pada Kota Pontianak belum pernah dilakukan. Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu yang mengkaji kemampuan keuangan suatu pemerintah daerah, antara lain :




  1. Kuncoro (1995) melakukan penelitian yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal di Indoneisa. Penelitian tersebut melihat sejauh mana upaya desentralisasi di Indonesia yang dikaitkan dengan kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah berdasarkan derajat desentralisasi fiskal daerah. Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini di antaranya APBD dan PAD serta belanja daerah untuk kurun waktu 1984-1990 dan alat analisis yang digunakan yaitu analisis kontribusi. Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah di 27 propinsi di Indonesia selama tahun 1984/1985 - 1990/1991 masih rendah rata-rata hanya 15,4 persen dan PAD hanya membiayai pengeluaran rutin daerah sebesar kurang dari 30 persen, ini berarti ketergantungan daerah  terhadap pemerintah pusat tinggi. Penyebab utama ketergantungan fiskal di Indonesia setidaknya meliputi : kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah; tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan; kendati pajak daerah cukup beragam ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan; adanya kekhawatiran kecenderungan disintegrasi dan separatisme: kelemahan dalam pemberian subsidi. Adapun alternatif solusi yang ditawarkan antara lain meningkatkan peran BUMD; meningkatkan penerimaan daerah; mengubah pola pemberian subsidi; meningkatkan pinjaman daerah;

  2. Gustiar  (1996) menganalisis tentang   otonomi   keuangan  daerah tingkat II dengan studi kasus di Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sintang Propinsi Kalimantan Barat tahun 1992 – 1995. Variabel yang digunakan dalam penelitan tersebut adalah APBD dan PDRB, sedangkan alat analisis yang digunakan adalah analisis kontribusi dan analisis regresi berganda (multiple regression). Temuan utama dalam penelitian ini, bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah serta peranan PAD pada umumnya masih rendah, sementara di lain pihak penerimaan bantuan pemerintah pusat dalam keseluruhan penerimaan APBD tingkat II cukup besar. Tingkat perkembangan ekonomi daerah (PDRB) dan bantuan pemerintah pusat dikatakan secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang nyata, walaupun secara sendiri-sendiri terdapat variabel bebas yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap derajat otonomi keuangan daerah;

  3. Radianto (1997) menganalisis tentang peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai pembangunan di seluruh Daerah Tingkat II Maluku mengatakan bahwa peranan PAD  tersebut masih rendah. Ini dapat dilihat dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah tingkat II Maluku yang rendah, dan jauh di bawah rata-rata IKR daerah tingkat II se Indonesia. Selain itu dikatakan bahwa tingkat perkembangan ekonomi daerah dan jumlah penduduk mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan derajat otonomi fiskal daerah;

  4. Mardiasmo (2000) dalam kajiannya tentang implikasi APBN dan APBD dalam konteks otonomi daerah menyatakan bahwa terjadi perubahan-perubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme pengelolaan keuangan sebagai akibat dari otonomi daerah tersebut. Perubahan-perubahan dimaksud yaitu perubahan porsi dan struktur baik APBN maupun APBD karena adanya dana perimbangan. Selain daripada itu dikatakan bahwa keberhasilan otonomi daerah bukan semata-mata pada usaha peningkatan PAD akan tetapi juga bagaimana kewenangan/keleluasaan menggunakan sumber-sumber dana yang ada baik dari dalam maupun dari luar berupa dana perimbangan atau yang lainnya tersebut;

  5. selanjutnya Boadway (2001) meneliti  tentang  pentingnya perimbangan keuangan (fiscal sharing) antardaerah di negara bagian Amerika Serikat. Variabel yang diamati dalam penelitian tersebut di antaranya pelaksanaan perimbangan keuangan, keuntungan dan biaya desentralisasi, serta formula dari subsidi/bantuan pemerintah pusat. Penelitian ini tidak menggunakan alat analisis tertentu dan bersifat deskriptif. Dikatakan bahwa alasan dilakukannya perimbangan keuangan antardaerah tersebut adalah untuk menciptakan efisiensi dan pemerataan antardaerah serta meningkatkan kesejahteraan daerah. Adapun parameter yang pantas digunakan dalam skema perimbangan keuangan tersebut yaitu derajat desentralisasi fiskal daerah; komitmen politik untuk pemerataan keuangan; perangkat-perangkat daerah yang dimiliki;

  6. Bahl (2002) telah mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Di mana variabel-varibel yang menjadi bahan evaluasi di antaranya DAU (Dana Alokasi Umum), formula DAU, pajak daerah, dana kontigensi, pelaksanaan otonomi khusus, sistem pengawasan dan evaluasi serta koordinasi pemerintah pusat. Penelitian/evaluasi tersebut tidak menggunakan alat analisis tertentu dan bersifat deskriptif. Salah satu isu penting yang disoroti adalah tentang pajak daerah. Dikatakan bahwa daerah harus mempunyai wewenang dalam penentuan pajak daerah tersebut untuk mengontrol  perdagangan daerah dan penerimaan daerah. Dikatakan juga bahwa Undang-Undang nomor 22, 25 dan 34 terlalu luas, sementara aturan pelaksanaanya terlalu sempit. Untuk itu ketentuan tentang pajak daerah tersebut harus segera ditinjau ulang dan dianjurkan agar pemerintah pusat hati-hati di dalam menentukan seberapa besar  wewenang yang diberikan kepada daerah dalam menentukan kebijakan pajak daerah tersebut.


Penggunaan variabel data PAD secara rinci meliputi pajak daerah dan jenis-jenis pajak daerah; retribusi daerah dan jenis-jenis retribusi daerah; bagian laba BUMD dan jenis-jenis BUMD dalam penelitian ini merupakan salah satu perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang disebutkan sebelumnya, di samping perbedaan waktu dan tempat/lokasi penelitian serta karakteristik sosial ekonomi dan sumber daya alamnya. Ada beberapa  alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian sebelumnya antara lain alat analisis kontribusi, analisis derajat otonomi fiskal, dan kemampuan rutin daerah. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat belum pernah dilakukan penelitian secara khusus ditujukan di Kota Pontianak guna memperoleh gambaran tentang kemampuan keuangan Pemerintah Daerah Kota Pontianak dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.


1.3  Tujuan Penelitian


Bertolak dari perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :




  1. untuk menganalisis kontribusi sumber-sumber penerimaan APBD terhadap total APBD dan trend dari kontribusi tersebut selama tahun anggaran 1989/1990 – 2001;

  2. untuk menganalisis kontribusi sumber-sumber penerimaan PAD terhadap total PAD dan trend dari kontribusi tersebut selama tahun anggaran 1989/1990 – 2001;

  3. untuk menganalisis kontribusi sumber-sumber pajak daerah terhadap total pajak daerah dan trend kontribusinya serta efektivitas dari masing-masing jenis pajak daerah selama tahun anggaran 1989/1990 – 2001;

  4. untuk menganalisis kontribusi sumber-sumber retribusi daerah terhadap total retribusi daerah dan trend kontribusinya serta efektivitas dari masing-masing jenis retribusi daerah selama tahun anggaran 1989/1990 – 2001;

  5. untuk menganalisis kontribusi masing-masing BUMD terhadap total bagian laba BUMD dan trend kontribusinya serta efektivitas dari masing-masing BUMD selama tahun anggaran 1989/1990 – 2001;

  6. untuk menganalisis Derajat Otonomi Fiskal Daerah dan Indeks Kemampuan Rutin Daerah serta trend masing-masing selama tahun anggaran 1989/1990 – 2001.


1.4   Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :




  1. sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Pontianak dalam rangka membuat kebijakan yang berkaitan dengan meningkatkan kemampuan keuangannya di masa akan datang;

  2. sebagai tambahan bahan acuan/referensi di dalam penelitian-penelitian lebih lanjut berkaitan dengan kemampuan keuangan pemerintah daerah .

0 komentar:

Posting Komentar