DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 1996-2000

BAB I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang Masalah


Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad,1999:11). Dari definisi ini pembangunan ekonomi mempunyai pengertian :




  1. suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus menerus;

  2. usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita;

  3. kenaikan pendapatan per kapita tersebut harus terus berlangsung dalam jangka panjang;

  4. perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang.


Sebagai suatu proses, maka pembangunan ekonomi mempunyai kaitan dan pengaruh antara faktor-faktor di dalamnya yang menghasilkan pembangunan ekonomi tersebut. Selanjutnya pembagunan ekonomi akan tercermin pada kenaikan pendapatan per kapita dan perbaikan tingkat kesejahteraan pada masyarakatnya. Indikator dari laju pertumbuhan ekonomi suatu negara salah satunya ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto atau Produk Nasional Bruto.


Keberhasilan pembangunan ekonomi menurut Todaro (2000 : 21) ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu : (1) perkembangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya basic needs, (2) meningkatkan rasa harga diri self-esteem masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih freedom from servitude yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Ketiga hal  tersebut merupakan tujuan pokok yang harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk) dihampir semua masyarakat dan budaya sepanjang jaman.


      Dalam suatu negara, keberhasilan pembangunan  tidak semata-mata hanya diukur dari kemampuannya untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto atau Produk Nasional Bruto serta Pendapatan Nasional per kapita dari penduduknya. Keberhasilan pembangunan juga diukur  dari keberhasilan usaha negara tersebut untuk mendistribusikan pendapatan secara merata dan adil serta dapat mengurangi jumlah kemiskinan absolut negara itu.


Sigit (1980) menyatakan distribusi pendapatan yang merata antar penduduk/rumah tangga mengandung dua segi penting. Pertama adalah meningkatkan tingkat hidup mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh, dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar rumah tangga (lihat Rudatin,2000:1) .


Robinson (1982) menyatakan upaya pemerataan pendapatan bukan merupakan konsekuensi pertumbuhan yang datang dengan sendirinya tetapi merupakan akibat lanjutan dari suatu tujuan politik, sehingga dalam masyarakat kapitalis akan ditemui kontradiksi-kontradiksi antara pertumbuhan dan pemerataan (lihat Rudatin 1999:2). Kemauan politik dari penguasa yang pada akhirnya akan menentukan pilihan yang mesti diambil.


Di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sulit diwujudkan secara bersama. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi menghendaki GNP yang lebih tinggi dan untuk itu diperlukan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Namun yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana cara memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa yang melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya, kalangan elit kaya raya yang minoritas ataukah mayoritas masyarakat yang miskin. Seandainya  yang diserahi   wewenang itu adalah kelas elit yang kaya raya, maka mereka akan mampu memacu pertumbuhan dengan baik, hanya saja ketimpangan pendapatan dan kemiskinan absolut akan semakin parah. Tetapi jika yang dipilih adalah mayoritas miskin, segenap hasilnya harus dibagi secara lebih merata dan hal ini kurang memungkinkan terpacunya GNP secara agregat atau nasional (Todaro, 2000:177). Persoalan pemerataan pendapatan ini semakin terasa karena adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dan tidak disangsikan dalam proses pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ini, yang kaya akan semakin kaya.


Selama pertumbuhan ekonomi ini dinikmati secara adil oleh masyarakat maka persoalan  pemerataan pendapatan ini tidak akan muncul. Persoalan ini timbul jika terjadi perubahan status quo dari golongan kaya dan golongan miskin, berupa perbedaan tingkat pendapatan yang semakin melebar. Terlebih lagi bila perbedaan yang semakin lebar ini akibat dari perbedaan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan kata lain adanya perbedaan kesempatan untuk mendapatkan trickle down effect (efek penetesan ke bawah) dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Golongan masyarakat yang mendapat kesempatan lebih besar dalam pertumbuhan ekonomi akan berusaha untuk memperbesar bagiannya sedangkan golongan masyarakat yang tidak beruntung akan menerima bagian yang kecil. Kartasasmita (1996:52-53) mengatakan walaupun keberhasilan pembangunan jangka panjang pertama cukup mengesankan, dan dapat menjadi landasan yang cukup kuat untuk melanjutkan pembangunan pada tahap berikutnya, tetapi disadari pula betapa banyaknya masalah pembangunan yang belum terselesaikan. Bahkan keberhasilan telah melahirkan banyak masalah baru, di antaranya masalah kesenjangan atau ketimpangan antardaerah, antarsektor, antarusaha dan antargolongan pendapatan dalam masyarakat. Sejak awal pembangunan, kesenjangan itu sudah ada tetapi terasa makin lebar karena ketidakseimbangan dalam kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. Ketimpangan  dalam kesempatan berpartisipasi ini telah menimbulkan rasa ketidakadilan.


Menurut Arndt (1987:11) distribusi pendapatan di suatu negara adalah hasil dari berbagai macam faktor ekonomi, sosial, institusional dan politik. Salah satu penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah ketidakseimbangan regional dalam kepadatan penduduk, pendapatan per kapita dan pembangunan antara Pulau Jawa dan Bali dengan pulau-pulau di luar Jawa.


Pembangunan ekonomi Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai maksud tersebut dikehendaki suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu pembangunan ekonomi tidak saja diharapkan dapat mengubah struktur produksi nasional melalui perubahan komposisi PDB, melainkan juga harus mampu mengubah distribusi pendapatan nasional agar makin merata. Keinginan ini juga tertuang dalam GBHN yang menghendaki pemerataan distribusi pendapatan tidak hanya antarlapisan masyarakat, namun juga antardaerah sebagaimana yang tercantum dalam Trilogi pembangunan yang menjadikan pemerataan pembangunan sebagai prioritas.


Oetama (1990) menyatakan  pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga arah perencanaan pembangunan daerah tidak akan terlepas dari perencanaan pembangunan secara nasional (lihat Wahyudi,1997:5). Hal ini terutama untuk menghindari adanya kesenjangan pembangunan antardaerah. Persoalan bagaimana kemudian terjadi kesenjangan akan bisa dicermati dari distribusi penduduk, sumber-sumber ekonomi, struktur ekonomi hingga distribusi pendapatan karena masing-masing daerah mempunyai   potensi   yang    berbeda.              Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya  dengan menggunakan sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk merancang  membangun perekonomian daerah.


Sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan semakin kecilnya kesenjangan pendapatan antarpenduduk, antardaerah dan antarsektor. Akan tetapi pada kenyataannya bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selamanya diikuti pemerataan secara memadai.


Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan daerah adalah dengan  mengamati seberapa besar laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai daerah tersebut yang tercermin dari kenaikan produk domestik regional bruto (PDRB). Propinsi Sumatera Barat  pertumbuhan ekonominya dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini


Tabel 1.1


Produk Domestik Regional Bruto ( Jutaan Rupiah)


Propinsi Sumatera Barat, 1995-2000

























































No



Tahun



PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993



PDRB atas dasar harga berlaku



Laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 1993 (% )


 

1



1995



7.054.198,18



8.267.123,47



8,93



2



1996



7.609.545,09



9.514.827,08



7,87



3



1997



8.000.662,52



10.744.737,28



5,14



4



1998



7.488.411,79



18.052.893,86



-6,40



5



1999



7.580.962,00



20.690.899,00



1,24



6



2000



7.868.588,00



22.367.811,00



3,79



   Sumber : BPS dan Bappeda, Sumatera Barat Dalam Angka, beberapa


                    terbitan


Dalam  tahun 1995 pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Barat  memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu sebesar     8,93 %  dan tahun berikutnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang menurun dan terrendah terjadi pada tahun 1998 yaitu –6,40 % penurunan ini diakibatkan oleh terjadinya krisis ekonomi. Selanjutnya tahun 1999 mulai meningkat yang ditunjukkan dengan meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi.


Propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari delapan kabupaten dan enam kota, secara ekonomi  kondisi masing-masing daerah tidak sama, baik dalam pertumbuhan ekonomi maupun dalam distribusi pendapatan. Daerah Kota Padang adalah daerah yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya sedangkan daerah lain termasuk pada daerah yang sedang pertumbuhan ekonominya dan daerah yang paling rendah pertumbuhan ekonominya adalah daerah Kota Padang Panjang.


Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kesenjangan distribusi pendapatan adalah indeks Gini. Nilai indeks Gini ini berkisar antara nol dan satu. Bila angka indeks Gini sama dengan nol berarti distribusi pendapatan amat merata sekali karena setiap golongan penduduk menerima bagian pendapatan yang sama. Namun, bila indeks Gini sama dengan satu menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang sempurna karena seluruh pendapatan hanya dinikmati oleh satu orang saja.


Distribusi pendapatan di Propinsi Sumatera Barat tahun 1999 berada dalam ukuran ketidakmerataan rendah yang tercermin dari indeks Gini sebesar 0,25.  seperti dalam tabel 1.2. Dibandingkan dengan indeks Gini Indonesia, Propinsi Sumatera Barat angka indeks Gininya jauh lebih kecil.


Tabel 1.2


Indeks Gini berdasarkan Pengeluaran Rumah Tangga


Per Propinsi di Pulau Sumatera, 1993-1999


































































Propinsi

1993



1996



1999


D.I.Aceh

0,29



0,26



0,27


Sumatera Utara

0,30



0,30



0,27


Sumatera Barat

0,31



0,28



0,25


Riau

0,27



0,30



0,27


Jambi

0,24



0,25



0,26


Sumatera Selatan

0,30



0,30



0,27


Bengkulu

0,28



0,27



0,28


Lampung

0,26



0,28



0,29


Indonesia

0,34



0,36



0,36



             Sumber: BPS-Statistics Indonesia, BAPPENAS,UNDP


                           Indonesia Human Development Report, 2001.


 Tingkat kesejahteraan masyarakat daerah Sumatera Barat  yang diindikasikan antara lain dengan angka harapan hidup, angka kematian bayi terus mengalami perbaikan seperti terlihat dalam tabel 1.3 berikut


Tabel 1.3


Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Kematian Bayi (AKB)


Menurut Propinsi di Pulau Sumatera, 1996-1999




















































































Propinsi


 1996 1999

 



AHH



AKB



AHH



AKB


D.I.Aceh

66



46



68



39


Sumatera Utara

66



47



67



41


Sumatera Barat

64



55



66



48


Riau

67



42



68



38


Jambi

66



48



67



43


Sumatera Selatan

64



54



66



48


Bengkulu

64



55



65



49


Lampung

65



52



66



46



Indonesia



63



56



66



46



         Sumber: BPS Indonesia, Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2000


Angka harapan hidup yang merupakan perkiraan rata-rata lama hidup yang dapat dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka ini memperlihatkan keadaan dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di suatu negara/daerah, karena merupakan bentuk akhir dari hasil upaya peningkatan kesehatan secara keseluruhan ( Susanti, 1995 : 119)


Angka kematian bayi atau infant mortality rate (IMR)  menunjukkan banyaknya kematian bayi di bawah satu tahun per 1000 kelahiran atau dengan kata lain semakin kecil IMR, semakin sedikit pula jumlah bayi yang meninggal di bawah satu tahun per 1000 kelahiran. Keadaan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengetahuan ibu mengenai gizi dan perlunya imunisasi menjadi semakin baik, yang antara lain dapat dilihat dari jenis penyakit yang menyebabkan kematian bayi. Kecilnya IMR juga menunjukkan kemampuan tenaga kesehatan maupun sarana kesehatan yang membaik (Susanti, 1995 :120)


Berdasarkan keadaan di atas, dapat dirumuskan permasalahannya yaitu apakah ada hubungan fungsional antara  peningkatan pendapatan per kapita dengan distribusi pendapatan. Di samping itu juga apakah ada  hubungan fungsional antara pendapatan per kapita dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Propinsi Sumatera Barat


1.2 Keaslian Penelitian


Penelitian secara empiris mengenai kesenjangan antardaerah dan kesenjangan pendapatan sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian tersebut  mencakup kawasan global, nasional maupun regional. Esmara (1975) melakukan penelitian berdasarkan pendekatan pengeluaran, hasil penelitiannya  menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan secara regional di Indonesia. Studi Esmara menggambarkan bahwa sementara pulau Jawa menyumbang 60% dari produk domestik bruto (PDB) tetapi kepadatan penduduk di Pulau Jawa menyebabkan pendapatan per kapita berada di bawah pendapatan per kapita nasional


Hanya Jakarta dan Jawa Timur saja yang pendapatan per kapitanya lebih besar dari pada pendapatan per kapita nasional. Menurut Esmara ketidakmerataan jelas dipengaruhi oleh jumlah penduduk di Propinsi yang bersangkutan, walaupun mungkin sumbangannya terhadap produk domestik bruto Indonesia cukup besar.


Selanjutnya menurut Esmara di Pulau Jawa dan Madura, distribusi pendapatan di daerah perkotaan lebih timpang daripada di daerah perdesaan. Sebaliknya di luar Jawa, distribusi pendapatan di daerah perdesaan lebih timpang dari pada di perkotaan. Implikasi dari studi ini mempertegas akan perlunya penyebaran kepadatan penduduk dan pembangunan ke daerah-daerah yang diharapkan mampu mengurangi ketimpangan tersebut.


Penelitian yang dilakukan oleh King dan Weldom mengamati distribusi pendapatan di Pulau Jawa berdasarkan data Susenas, Survey biaya hidup dan beberapa hasil penelitian lain (lihat Rudatin 1999 : 41). Peneliti ini mengemukakan  bahwa pola distribusi pendapatan di daerah perdesaan Jawa menunjukkan ketidakmerataan relatif sebagai berikut: 20 % quintile tertinggi memperoleh lebih dari 36 %, sementara quintile terrendah hanya memperoleh kurang dari 10 % dari pendapatan total. Indeks Gini mengalami penurunan dari 0,33 pada tahun 1964-65 menjadi 0,31  pada tahun 1969-70. Diukur dengan kedua indikator tersebut dapat dikatakan bahwa ketidakmerataan di daerah pedesaan Pulau Jawa masih berada pada tingkat sedang.


Penelitian yang dilakukan oleh Estudillo (1977) tentang  ketidakmerataan pendapatan di Philipina tahun 1961-1991, variabel  yang diamati adalah jumlah rumah tangga di perkotaan, usia anggota keluarga yang bekerja, pendidikan anggota keluarga dan tingkat upah. Alat analisa  yang digunakan  adalah Gini coefficient dan squared coefficient of variation. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa distribusi pendapatan  di Philipina tidak merata dengan indeks Gini 0,50. Meningkatnya   jumlah rumah tangga di perkotaan, berubahnya usia anggota keluarga yang bekerja, meningkatnya pendidikan anggota keluarga dan tingkat upah yang tidak merata akan menyebabkan bertambahnya ketidakmerataan pendapatan.


Lyons (1997) hasil penelitiannya menunjukkan distribusi pendapatan di Propinsi Post-Mao China. Studi Lyons menggambarkan bahwa kesenjangan dalam propinsi di Post-Mao China benar-benar tidak hanya diukur dengan output aggregate (GDP per kapita) tetapi juga dengan indikator melek huruf, tingkat kematian bayi, dan indikator  ekonomi sosial yang lain. Beberapa indikator ini mempunyai hubungan yang relatif lemah satu sama lainnya


Penelitian yang dilakukan oleh Windu (2002) tentang distribusi  pendapatan dan tingkat kesejahteraan di daerah Istimewa Yogyakarta  tahun 1994-2000. Variabel yang digunakan adalah indeks Gini dan indikator kesejahteraan. Penelitian ini menyatakan bahwa distribusi pendapatan di daerah Istimewa Yogyakarta berada dalam kategori ketidakmerataan rendah dengan indeks Gini sebesar 0,27.


Dari penelitian yang pernah dilakukan tersebut, maka penelitian ini mempunyai kesamaan dengan peneliti sebelumnya yaitu menggunakan indeks Gini, indeks mutu hidup. Perbedaan dengan penelitian  lain adalah tempat dan waktu penelitian. Penelitian ini tentang  distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah kabupaten dan kota yang terdapat di Propinsi Sumatera Barat.


1.3  Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan penelitian


Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk


mengetahui :




  1. tingkat pemerataan  pendapatan di Propinsi Sumatera Barat;

  2. perkembangan tingkat kesejahteraan di Propinsi Sumatera Barat;

  3. pengaruh pendapatan per kapita terhadap distribusi pendapatan dan   tingkat kesejahteraan di Propinsi Sumatera Barat.


1.3.2  Manfaat penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :




  1. sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam  ekonomi pembangunan serta penelitian yang berkaitan dengan distribusi pendapatan   di Propinsi Sumatera Barat;

  2. sebagai informasi bagi Pemerintah Daerah Sumatera Barat dalam menentukan kebijakan  pembangunan sehingga alternatif pembangunan yang dipilih dapat mengurangi ketimpangan yang terjadi dan memperbaiki tingkat kesejahteraan.

0 komentar:

Posting Komentar