KESIAPAN PEMDA KABUPATEN BENGKAYANG DALAM PENYUSUNAN APBD BERDASARKAN KEPMENDAGRI NOMOR 29 TAHUN 2002

BAB I


PENGANTAR


1.1    Latar Belakang


Kabupaten Bengkayang adalah hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Sambas berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 dan kemudian wilayah Bengkayang tersebut pada tahun 2002 dimekarkan/dipecah kembali menjadi Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang. Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan tanggapan terhadap berkembangnya tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih luas bagi daerah. Kebijakan desentralisasi melalui kedua undang-undang ini bukan hanya sekedar untuk meredam gejolak karena tekanan semangat reformasi, tetapi juga merupakan koreksi total terhadap kebijakan lama dalam perkembangan ketatanegaraan dan kehidupan bangsa yang sentralistik, monopolistik, dan lebih menonjolkan keseragaman daripada keragaman, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakadilan bagi daerah.


Ditinjau dari aspek kemandirian daerah, otonomi diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus daerahnya dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakat, keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan dalam negara kesatuan RepublikIndonesia. Perangkat perundang-undangan di bidang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagai komitmen dari Pemerintah Pusat diharapkan dapat membawa dampak luas terhadap tata kehidupan dan pelaksanaan pembangunan.  Dengan otonomi daerah akan mempunyai peluang yang lebih luas untuk mengembangkan dan membangun masyarakatnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas yang ada.


Dalam kaitan dengan pembiayaan, Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sedikit banyak telah mampu menjawab aspirasi dan keinginan masyarakat dan daerah selama ini. Karena dalam penentuan dana perimbangan misalnya, azaz proporsionalitas, keadilan, trasparansi telah menjadi perhatian, baik pembagian kekayaan (sumber daya alam) maupun dari Dana Alokasi Umum.


Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan membawa konsekuensi pada perubahan pola pertanggungjawaban. Pola pertanggungjawaban akan lebih bersifat horizontal (horizontal accountability) kepada masyarakat dan DPRD bukan lagi pertanggungjawaban vertikal (vertical accountability) kepada Pemerintah Pusat (atasan). Dalam rangka akuntabilitas publik, Pemerintah Daerah seharusnya melakukan optimalisasi anggaran dan belanja secara efisien dan efektif untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Selama ini pengeluaran daerah cenderung tidak memihak pada kepentingan publik. Hal ini dapat terlihat bahwa anggaran dan pengeluaran daerah belum berperan sebagai insentif dalam mendorong pembangunan. Di samping itu masih banyaknya kritikan dari masyarakat mengenai alokasi anggaran yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas dan tidak mencerminkan aspek ekonomis, efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan anggaran.


Anggaran daerah dalam konteks pemberlakuan otonomi dan desentralisasi fiskal menduduki posisi yang sangat penting. Untuk itu anggaran daerah harus disusun berdasarkan kewajaran ekonomis, efisien dan efektif yang bersandarkan pada rencana strategis daerah. Karena anggaran belanja daerah merupakan salah satu instrumen kebijakan yang penting bagi Pemerintah Daerah yang memuat rencana kerja tahunan dalam satuan moneter guna mewujudkan visi dan misi daerah. Untuk itu kemampuan dalam memenej dan mengelola anggaran belanja secara baik akan menentukan keberhasilan proses pembangunan di daerah.


Karena pada dasarnya suatu Pemerintah Daerah melaksanakan fungsi alokasi dengan menggunakan instrumen kebijakan fiskal yang dituangkan dalam APBD setiap tahunnya. Shah (1994) menyebutkan bahwa pengeluaran pemerintah membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, pengembangan sumber daya dan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja (lihat Hasmizon, 2002:2). Selanjutnya Mardiasmo (1999:11) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah, karena anggaran daerah atau APBD merupakan salah satu instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran serta otorisasi pengeluaran di masa yang akan datang. Dengan demikian DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara konkret dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang betul-betul mencerminkan kebutuhan riil masyarakat di daerah sesuai dengan potensi masing-masing, preferensi yang tertuang dalam rencana strategi. Rencana Strategi (Renstra) dan skala prioritas dibuat agar penggunaan anggaran lebih optimal dan sasaran pembangunan guna meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dapat tercapai. Dalam setiap Inmendagri tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, ditegaskan bahwa anggaran belanja pembangunan harus disusun berdasarkan hasil survey, investigasi dan desain (SID).


Berdasarkan hasil pengamatan, penyusunan anggaran daerah pada umumnya masih terdapat adanya penggunaan anggaran yang kurang tepat pada sasaran, seperti penentuan skala prioritas yang kurang berjalan sebagaimana mestinya, yaitu lebih mengutamakan pada pemerataan anggaran untuk tiap unit kerja dan pada pelaksanaan proyek semata, akibatnya suatu program/kegiatan dilaksanakan bukan sepenuhnya untuk mencapai sasaran kerja secara utuh. Selain itu, intervensi perencanaan anggaran baik belanja pembangunan maupun belanja rutin masih mewarnai proses penyusunan APBD, hal ini ditunjukan masih adanya program/proyek yang masuk APBD tidak melalui terminal (hasil Rakorbang), melainkan masuk dalam perjalanan melalui melalui pendekatan (lobby) di dalam panitia anggaran. Lebih lanjut intervensi anggaran tidak hanya terjadi pada proses perencanaan, tetapi juga pada pelaksanaan, sehingga terjadi penggunaan anggaran tidak sesuai dengan yang tertuang dalam APBD, karena ada perubahan penggunaannya. Keadaan ini antara lain disebabkan masih banyak proyek daerah yang cenderung hanya sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat.


Mardiasmo (1999) menyebutkan bahwa selama ini penentuan besarnya pengeluaran atau alokasi dana untuk suatu kegiatan oleh unit kerja dilakukan dengan menggunakan Fenomena Anggaran Tradisional melalui pendekatan incremental dan line item  (lihat Hasmizon, 2002:5). Pendekatan incremental menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar dalam menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan dengan jumlah atau persentase tertentu tanpa alasan lain yang lebih rasional. Suatu unit kerja mengajukan usulan program/proyek kurang berdasarkan proposal yang lebih rasional, yang dapat memprediksi kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya diperlukan, melainkan berlomba-lomba mengajukan usulan program/proyek sebanyak-banyaknya dan menganggarkan melebihi kebutuhan riil (over-estimate). Selain itu suatu unit kerja membuat usulan lebih mendahulukan angka (uang) dari pada sasaran program itu sendiri. Menyebabkan program/proyek tersebut kurang layak untuk dilaksanakan, namun karena anggarannya sudah disahkan dalam APBD maka tetap dilaksanakan guna menghabiskan anggaran tersebut.


Pendekatan Incremental seperti ini tidak saja kurang menjamin terpenuhinya kebutuhan riil, namun juga bisa mengakibatkan kesalahan yang berkelanjutan, karena tidak diketahui apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan dasar penyusunan anggaran sudah didasarkan kepada kebutuhan yang wajar, sedangkan pendekatan Line-item, yaitu perancangan anggaran yang didasarkan item yang telah ditentukan pada periode sebelumnya, mengakibatkan pemerintah daerah tidak dapat mengganti satu atau lebih item pengeluaran yang telah ada, sekalipun keberadaannya mungkin sudah tidak layak lagi. Secara operasional pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah  dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Penjelasan Pasal 5 PP tersebut mengisyaratkan semua pengeluaran daerah  dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD, sehingga APBD menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian,  pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.


Menyadari akan hal ini dalam mengakomodasikan berbagai tuntutan dan aspirasi masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang tersebut diharapkan dalam jangka pendek dapat mempercepat pemulihan perekonomian nasional dan daerah didorong untuk lebih kreatif, tanggap dan mampu mengambil inisiatif dengan tujuan memaksimalkan efesiensi dan efektivitas  sedangkan dalam jangka panjang dapat menambah kesiapan daya saing daerah menghadapi globalisasi perekonomian dunia. Melalui pemberlakuan kedua undang-undang tersebut terbuka bagi daerah merubah paradigma pengelolaan keuangan daerah dari paradigma lama  yang bersifat anggaran tradisional (traditional budgeting), ke paradigma baru anggaran berdasarkan kinerja (performance budgeting) yang bertujuan untuk menyusun anggaran yang lebih berorientasi pada kepentingan publik dan memenuhi prinsip tranparansi, akuntabilitas dan value for money.


Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan dianalisis dalam penulisan ini adalah : “Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 belum dilaksanakan dengan sempurna


1.2    Keaslian Penelitian


Sampai saat ini studi tentang penyusunan APBD berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 belum ada, namun penelitian tentang praktek penyusunan anggaran daerah pernah dilakukan oleh Ediharsi dkk (1998) di Kabupaten/Kota Banda Aceh, Bukittinggi, Kampar, Jambi dan Cirebon. Penelitian tersebut dititikberatkan pada praktek penyusunan anggaran daerah yaitu lebih banyak difokuskan pada standar peraturan dan teori keuangan daerah serta kendala-kendala yang dihadapi dalam penyusunan APBD.


Setwilda propinsi Jawa Tengah bersama tim peneliti Universitas Sebelas Maret (UNS, 1999) meneliti tentang standarisasi pengeluaran Pemerintah Daerah di Propinsi Jawa Tengah. Dalam penelitian itu dibangun beberapa skenario pengalokasian anggaran untuk kelompok belanja rutin non-belanja pegawai.  Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa besarnya dana maksimal yang digunakan untuk urusan pemerintahan sebesar 63,03% dari total belanja rutin non-belanja pegawai dan 36,97% digunakan untuk operasional pelayanan publik.


Kwon, (2002) melakukan penelitian pengaruh desentralisasi fiskal pada belanja publik, studi kasus di Korea. Variabel yang diamati adalah pajak daerah, pajak nasional, belanja Pemerintah Pusat (CE), belanja Pemerintah Daerah (LE), rasio total pengeluaran pemerintah (TE), kemampuan keuangan daerah (DEC), pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Alat analisis yang digunakan yaitu model regresi Ordinary Least Squares (OLS) dan model regresi Generalized Least Squares (GLS). Hasil analisis diperoleh bahwa desentralisasi fiskal dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah untuk melaksanakan pelayanan publik. Teori keuangan negara yang menyatakan desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi di Pemerintah Daerah dengan mengakui perbedaan kebutuhan daerah, sehingga desentralisasi diharapkan akan memberikan peluang kompetisi dan motivasi bagi daerah  dengan mengakui perbedaan kebutuhan daerah, sehingga desentralisasi diharapkan akan memberikan peluang kompetisi dan motivasi bagi daerah untuk berkreasi dan bertanggungjawab kepada masyarakat.


Pembangunan yang dilakukan dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah diKoreamemberikan peluang sangat baik bagi daerah. Hasil penelitian dapat diamati dari nilai koeffisien negatif  rasio belanja pemerintah daerah terhadap total belanja Pemerintah Pusat (DEC = CE -2,491; LE – 0,207; TE -1,931) menunjukkan bahwa belanja sektor publik  akan mengurangi pengeluaran Pemerintah Pusat. Artinya desentralisasi fiskal akan mengubah kebutuhan penyediaan barang publik dan kebutuhan masyarakat di Korea.


Aspek yang membedakan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian sebelumnya adalah: Pertama, penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Bengkayang Propinsi Kalimantan Barat. Kedua, fokusnya adalah penyusunan APBD di Kabupaten Bengkayang berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Ketiga, metodologi dan alat analisis yang digunakan yaitu analisis SWOT .


1.3    Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1   Tujuan penelitian


Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memperoleh gambaran tentang kesiapan penyusunan APBD di Kabupaten Bengkayang berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, dan secara khusus   yaitu :




  1. mengetahui apakah di dalam penyusunan APBD itu sudah sesuai dengan Kepmendagri atau belum ?;

  2. mengetahui upaya apa yang telah dilakukan Pemda Kabupaten Bengkayang untuk melaksanakan Kepmendagri tersebut ?.


1.3.2     Manfaat penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan kontribusi nyata dalam pembangunan daerah Kabupaten Bengkayang pada umumnya dan secara khusus :




  1. sebagai bahan acuan dan pertimbangan dalam penyusunan anggaran pemerintah daerah  berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 di dalam setiap program/kegiatan, sehingga  alokasi pengeluaran pemerintah tersebut dapat lebih terarah, efektif dan efisien;

  2. penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya khususnya penelitian tentang pelaksanaan APBD berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002.

0 komentar:

Posting Komentar