PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN DAN PENGALOKASIAN BELANJA BERDASARKAN ANGGARAN KINERJA DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN ANGGARAN 2003

BAB I


PENGANTAR


1.1   Latar Belakang


Dengan diberlakukannya UU. No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terutama untuk melaksanakan ketentuan pasal 26 mengenai pengelolaan keuangan dan pelaksanaan desentralisasi, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Selanjutnya agar pengelolaan keuangan daerah dapat memenuhi asas tertib, ekonomis, efektif, efisien, akuntabel, transparan dan komprehensif dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah.


Dengan dikeluarkannya Kepmendagri No. 29 tahun 2002, maka reformasi keuangan daerah secara langsung akan berdampak pada perlunya dilakukan reformasi anggaran daerah (APBD). Reformasi anggaran (budgeting reform) meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan  pertanggung-jawaban anggaran.


Berdasarkan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tersebut di atas, maka untuk menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memenuhi asas tertib, transparansi, akuntabilitas, konsistensi, komparabilitas, akurat dapat dipercaya dan mudah dimengerti perlu disusun Arah dan Kebijakan Umum APBD yang diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat yang berpedoman pada rencana strategis daerah. Berdasarkan Arah dan Kebijakan Umum APBD tersebut, maka disusun Strategi dan Prioritas APBD yang selanjutnya menjadi pedoman bagi perangkat daerah dalam menyusun usulan program, kegiatan dan anggaran yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip anggaran kinerja dan dituangkan dalam  rencana anggaran satuan kerja dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan keuangan daerah.


Dalam rangka akuntabilitas publik, semua komponen dalam pemerintahan daerah terutama pada level yang berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat dan pengambilan keputusan yang memiliki implikasi baik mikro maupun makro dalam setiap aktivitas sosial, politik dan ekonomi serta berbagai aktivitas lainnya, dimana semua aktivitas-aktivitas tersebut dalam pelaksanaannya menggunakan dana yang pada hakekatnya bersumber dari masyarakat hendaknya dapat melakukan optimalisasi belanja. Penggunaan anggaran harus dilakukan secara efektif dan efisien serta disajikan secara logis dan transparan dalam pelaporannya, sehingga masyarakat mendapatkan petunjuk seberapa besar anggaran yang dialokasikan dapat menunjang proses peningkatan kesejahteraan kehidupan mereka.


 Proses anggaran yang telah disepakati antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan amanat rakyat. Ini adalah tantangan untuk menunjukkan bahwa sebagai pihak yang bertanggungjawab akan “kepentingan rakyat” pemerintah daerah dan DPRD harus memposisikan dirinya pada posisi yang tepat. Selain itu, hal tersebut adalah sebuah peluang untuk menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan DPRD bukan sebagai salah satu “penikmat” dana rakyat, tetapi dapat berbagi rasa dengan rakyat dari dana yang “tersedia” bagi daerah (Halim, 2001: 19).


 Peranan DPRD sebagai salah satu stakeholder dalam menentukan strategi pengelolaan pemerintah daerah dewasa ini menjadi semakin penting. Sebab penentuan Strategi dan Prioritas APBD, penetapan Arah dan Kebijakan Umum APBD bahkan sejak proses penjaringan aspirasi masyarakat hendaknya sudah mengikutsertakan DPRD. DPRD dan aparat pemerintah daerah harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai dalam perencanaan dan perumusan kebijakan strategis daerah, termasuk proses dan pengalokasian anggaran belanja daerah agar pelaksanaan berbagai kegiatan pelayanan oleh pemerintah daerah dapat mengakomodasi secara optimal berbagai kepentingan masyarakat dan dilaksanakan secara ekonomis, efisien dan efektif. Untuk menilai prestasi Bupati dan unit organisasi/Dinas-dinas yang dipimpinnya, maka perlu penyusunan anggaran yang berorientasi pada pengukuran kinerja.


Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Yaitu bukan sekedar kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien dan efektif (Mardiasmo, 2002:121).


Sistem dan prosedur penyusunan anggaran yang digunakan  di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah sebelum lahir dan diberlakukannya Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002,  didasarkan atas dua pendekatan utama, yaitu: pertama, pendekatan dari atas ke bawah (top down approach), pendekatan ini disebut juga incrementalism karena pengawasan dan pertanggungjawabannya yang terpusat. Kedua, struktur anggarannya yang bersifat line-item yaitu yang didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Kedua pendekatan ini sedikit sekali memberikan ruang publik untuk mengontrol pelaksanaan anggaran, itupun hanya melalui DPRD, bahkan dengan sistem tersebut masyarakat cenderung pasif dan apatis. Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002, memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota yang lebih besar untuk melakukan improvisasi dan diversifikasi fiskal guna meningkatkan sumber pembiayaan untuk mendorong proses akselerasi pembangunan daerah secara keseluruhan.


Dari uraian tersebut memberikan makna  bahwa, seharusnya tidak ada satu lini-pun dalam struktur pemerintah daerah kabupaten/kota yang tidak memiliki program prioritas dan dituntut untuk mampu menjabarkan ke dalam kegiatan-kegiatan operasional yang memiliki tolok ukur pencapaian hasil yang jelas. Dengan demikian akan tercapai target pengelolaan anggaran yang profesional, ekonomis, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Di samping itu juga mengharuskan pemerintah daerah untuk dapat mengalokasikan anggaran yang senantiasa dapat diukur pemanfaatannya agar hemat, daya guna dan tepat guna. Peran serta masyarakat sebagai pemilik sebagian dana menjadi sangat urgen dalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.


 Sistem, prosedur, format serta bentuk dan struktur APBD yang berlaku selama ini kurang mampu mendukung tuntutan perubahan sehingga perlu perencanaan APBD yang sistematis, terstruktur dan komprehensif (Mardiasmo, 2002: 117). Reformasi anggaran hendaknya meliputi perubahan struktur anggaran (budgeting structure reform) dan perubahan proses penyusunan APBD (budgeting process reform). Perubahan struktur anggaran dilakukan untuk mengubah struktur anggaran tradisional yang bersifat line-item dan incrementalism.  Perubahan struktur anggaran tersebut dimaksudkan untuk menciptakan transparansi dan meningkatkan akuntabilitas publik (public accountability).  Dengan struktur anggaran yang baru tersebut akan tampak secara jelas besarnya surplus dan defisit anggaran serta strategi pembiayaan apabila terjadi defisit fiskal. Format baru APBD tersebut akan memudahkan dalam membuat perhitungan dana perimbangan yang menjadi bagian daerah. Hal tersebut juga memudahkan bagi publik untuk melakukan analisis, evaluasi, dan pengawasan atas pelaksanaan dan pengelolaan APBD. Pemerintah daerah juga dimungkinkan untuk membentuk dana cadangan. Dengan demikian, anggaran tidak harus dihabiskan selama  tahun anggaran bersangkutan, namun bisa ditransfer dalam dana cadangan. Selain perubahan dalam struktur, dalam proses penyusunannyapun harus berdasarkan anggaran kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.


Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka permasalahan yang timbul adalah sejauh mana keterlibatan masyarakat termasuk DPRD dalam proses penyusunan APBD, dan seberapa jauh proses penuyusunan APBD Kabupaten Wonogiri mengacu pada penyusunan anggaran kinerja. Proses dan pengalokasian anggaran belanja tersebut akan dievaluasi dalam rangka menyusun belanja pemerintah pada tahun-tahun berikutnya, terutama dalam rangka penyusunan anggaran kinerja.


1.2   Keaslian Penelitian


Penelitian yang berhubungan  dengan Anggaran kinerja telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, terutama penelitian di luar negeri termasuk juga penelitian yang dilakukan di Indonesia. Sebagai pembanding dikemukakan beberapa hasil penelitian berikut ini.


Rubin (1996)  menulis tentang anggaran untuk  akuntabilitas di beberapa Kota di Amerika Serikat. Dalam tulisan tersebut, bentuk akuntabilitas anggaran pertama berkaitan dengan birokrasi atau otoritas hirarkikal, kedua pelaporan kepada masyarakat secara rinci dan komprehensif bagaimana uang mereka dibelanjakan. Ketiga penanganan pegawai yang dipilih bertanggungjawab terhadap hasil anggaran dan kualitas manajemen keuangan dan yang keempat kontrol langsung masyarakat pada pelaksanaan anggaran. Alat analisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis deskriptif kualitatif.


Miller dan Russek (1997) memfokuskan penelitiannya tentang masalah anggaran yang dihadapi oleh negara bagian dan lokal di Amerika Serikat pada akhir tahun 1980-an dan awal Tahun 1990-an. Dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa peningkatan penerimaan pajak dapat membantu mengatasi defisit anggaran, akan tetapi penetapan pajak oleh pemerintah negara bagian dan lokal dapat berpengaruh posistif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penetapan pajak akan merugikan pertumbuhan bila penerimaan pemerintah digunakan untuk  membayar transfer payment, akan tetapi tidak merugikan bila digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Alat analisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis deskriptif kualitatif.


Masrizal (1998) menganalisis tehnik penganggaran dalam pertumbuhan ekonomi. Dari hasil analisis tersebut disimpulkan bahwa anggaran pemerintah (government budget) mempunyai peranan yang cukup penting dalam program pembangunan ekonomi suatu negara. Anggaran (budget) tidak hanya sebagai alat informasi bagi masyarakat, namun sekaligus merupakan alat kontrol dan akuntabilitas. Dari hasil penelitiannya juga menyebutkan bahwa penerapan sistem anggaran tradisional bagi negara sedang berkembang sudah tidak mampu lagi mengantisipasi kegiatan-kegiatan pemerintah yang semakin komplek dan struktur organisasi yang semakin modrn. Sistem anggaran yang sangat populer untuk melaksanakan  program pembangunan serta merangsang perkembangan alternatif pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang adalah Planing Programming and budgeting system dan zero base budgeting system.


Brodjonegoro dan Asanuma (2000) mengatakan bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mungkin akan menciptakan masalah pokok dalam manajemen pengeluaran negara/pemerintah di tingkat pemerintah daerah. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pemerintah daerah harus mampu melakukan  perencanaan, program dan anggaran pengeluaran pembangunan mereka sendiri. Tidak adanya pengalaman dapat menyebabkan pemerintah daerah salah mengatur pengeluaran, karena kekeliruan-kekeliruan dalam prioritasi (penentuan prioritas) dan pentahapan proyek. Masalah kemampuan institusional yang tidak memadai untuk mengatur pengeluaran-pengeluaran negara/pemerintah daerah dapat juga disertai dengan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, bukan hanya oleh birokrasi daerah tetapi juga oleh politisi lokal.


Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi (PAU-SE) Universitas Gadjah Mada yang bekerjasama dengan Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman (2000); yang menyusun konsep manajemen pengeluaran daerah, Standar Analisa Belanja (SAB) serta bentuk dan struktur APBD 2001. Hasil penelitian menyajikan contoh simulasi dari struktur APBD yang berdasarkan pendekatan kinerja, pernyataan anggaran, penentuan satuan ukur SAB.


Mardiasmo (2001) melakukan studi kasus di enam kota/kabupaten dengan periode amatan 1991/1992 sampai dengan 1995/1996 yang meneliti budgetary slack dan pendekatan anggaran, serta waktu pemberian bantuan menyimpulkan dua hal. Pertama, ketergantungan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah propinsi dan pusat mendorong terjadinya kesenjangan anggaran. Kedua, pendekatan bottom up cenderung menjadi sebuah formalitas belaka karena pemerintah kabupaten/kota dianggap tidak memiliki perencanaan strategik dan prioritas yang jelas.


Lutfieka (2001) meneliti tentang evaluasi proses penyusunan dan pengalokasian anggaran belanja Kabupaten Aceh Tenggara. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kebijakan penyusunan APBD di Kabupaten Aceh Tenggara belum berdasarkan kepentingan masyarakat, hal ini terbukti peran DPRD dan masyarakat belum terlibat secara aktif dan berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan penyusunan APBD. Proses penyusunan APBD masih didominasi oleh pihak eksekutif dalam menentukan skala prioritas dan plafon anggaran.


Mawardi (2002) meneliti tentang anggaran belanja daerah pemerintah Kabupaten Banjar Kalimantan selatan ditinjau dari proses dan pengalokasian. Dalam tulisan tersebut disimpulkan bahwa proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Banjar belum mencerminkan aspirasi masyarakat daerah, di mana arah dan kebijakan umum anggaran lebih didominasi dan mencerminkan aspirasi pemerintah atasan.


  Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti  disebutkan di atas, apabila dibandingkan dengan penelitian ini mempunyai beberapa kesamaan antara lain permasalahan yang akan dibahas serta beberapa alat analisis yang relevan untuk digunakan. Perbedaan yang paling menonjol antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, adalah adanya penjaringan aspirasi masyarakat dan peran serta DPRD, mengacu pada anggaran kinerja dan Kepmendagri No. 29 tahun 2002. Selain perbedaan lokasi, periode pengamatan dan obyek penelitian.


1.3   Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1  Tujuan penelitian


Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :




  1. mengevaluasi proses penyusunan anggaran kinerja pada APBD Kabupaten Wonogiri, termasuk penjaringan aspirasi masyarakat dan peran serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

  2. mengevaluasi besarnya alokasi anggaran belanja Kabupaten Wonogiri untuk  bagian belanja  pelayanan publik dan belanja aparatur daerah, dengan masing-masing kelompok belanja Administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/investasi.


1.3.2  Manfaat  penelitian




  1. Sebagai sumbang saran atau pemikiran baru  bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonogiri dalam mengambil keputusan mengenai penyusunan anggaran kinerja.

  2. Memberikan tambahan ilmu mengenai proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, terutama yang berbasis anggaran kinerja.

  3. Sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya, khususnya kajian anggaran kinerja  di Kabupaten Wonogiri.

0 komentar:

Posting Komentar