KESENJANGAN PDRB PER KAPITA ANTAR DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I



PENGANTAR

 1.1 Latar Belakang


 Pembangunan daerah sebagai bagian integral dan penjabaran dari Pembanguan Nasional,  mempunyai arti penting dalam rangka mewujudkan tujuan nasional dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pembangunan nasional pada dasarnya adalah  mewujudkan masyarakat yang sejahtera, baik secara materiil maupun spirituil yang pada hakekatnya dapat dilakukan dengan cara antara lain memperluas lapangan kerja, meningkatkan dan memeratakan pendapatan per kapita, serta menjalin hubungan ekonomi antardaerah dengan tujuan memperkecil jurang pemisah antara daerah maju dengan daerah tertinggal, mengupayakan pergeseran perekonomian dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier.


Arsyad (1999(a):108) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya  mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, dan semakin kecilnya kesenjangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan tetapi pada kenyataannya bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selamanya diikuti pemerataan secara memadai.


Di negara-negara sedang berkembang, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sulit diwujudkan bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannnya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan Gross National Product yang tinggi dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Namun yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa yang melaksanakan dan berhak menikmati hasil-hasilnya. Pada dasa warsa 1970-an muncul himbauan/  tuntutan dari masyarakat luas untuk dilakukannya peninjauan kembali atas tradisi pengutamaan Gross National Product (GNP) sebagai sasaran kegiatan ekonomi yang utama. Upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatanpun merupakan masalah pokok dalam pembangunan dan sasaran utama kebijakan pembangunan di banyak negara (Todaro, 2000:178).


Sampai saat ini masalah kesenjangan pembangunan ekonomi merupakan isu yang menarik untuk dibicarakan, karena strategi pembangunan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi sehingga segi pemerataan kurang mendapat perhatian, padahal pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua hal penting dalam proses pembangunan. Karena lebih menitikberatkan pada strategi pertumbuhan ekonomi, maka kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan dan peningkatannya telah mencakup semua daerah, akan tetapi pembangunan ekonomi yang selama ini dilaksanakan belum sepenuhnya mampu mengatasi kesenjangan antar daerah (Sumodiningrat, 1997:18).


Menurut Arsyad (1999(a):121) pemerintah daerah dapat bertindak sebagai koordinator untuk menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi pembangunan di daerahnya dengan melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha, dan masyarakat dalam penyusunan sasaran, rencana dan strategi. Pendekatan ini sangat potensial dalam menjaga konsistensi pembangunan daerah dengan nasional (pusat) dan menjamin bahwa perekonomian daerah akan mendapat manfaat yang maksimum.  Peran dari pemerintah daerah sebagai fasilitator, dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan attitudinal (perilaku atau budaya masyarakat) di daerahnya. Hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta pengaturan penetapan daerah yang lebih baik.


Pembangunan menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi dalam kegiatan produksi di suatu wilayah. Pada daerah yang sedang berkembang proses pertumbuhan ekonomi tercermin pada perubahan peranan sektor ekonomi tradisional  (sektor pertanian) mengalami penurunan dan peningkatan peranan sektor non pertanian.


 Pemerintah daerah di Indonesia telah mengalami perubahan seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dengan mendekatkan pembuatan keputusan ke daerah, pemerintah pusat telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan pembangunan ekonominya sendiri. Pemberlakuan otonomi daerah juga berarti pemerintah daerah harus memiliki rencana ekonomi daerah yang baik untuk menyediakan kesejahteraan bagi penduduknya.  UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, akan membawa angin segar bagi daerah untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi ekonomi secara mandiri sehingga kesenjangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor perekonomian secara bertahap dapat diperkecil. Pertumbuhan ekonomi daerah sangat dipengaruhi oleh potensi ekonomi yang dimiliki. Oleh karena itu dalam rangka melaksanakan pembangunan ekonomi daerah maka perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki oleh daerah.


 Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mempunyai beberapa masalah pokok dalam mencapai tujuan pembangunan ekonominya, sebagaimana tertuang dalam Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Tahun 2001-2005,  antara lain sebagai berikut.




  1. Rendahnya daya dukung terhadap pengembangan perekonomian wilayah; sumber daya yang terdapat di DIY terutama sumber daya alam tidak cukup tersedia untuk dapat mendukung pengembangan perekonomian wilayah.

  2. Kesenjangan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antar wilayah pengembangan; terdapat kesenjangan yang nyata dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi antara wilayah pengembangan.

  3. Penurunan kualitas lingkungan;  penurunan kualitas lingkungan tidak hanya ditunjukkan oleh terjadinya pencemaran air (air sungai maupun air bawah tanah) dan pencemaran uadara, namun juga terjadinya degradasi lahan terutama lahan pertanian yang menjadi lahan kritis.

  4. Ketimpangan antara kesempatan kerja dan angkatan kerja; kesempatan kerja yang lebih luas dan merata belum dapat diwujudkan pada saat ini terutama dalam kaitannya dengan persyaratan atau kualifikasi kebutuhan tenaga, terutama pada sektor industri dan sektor tersier, karena kesempatan kerja dan berusaha di DIY didominasi oleh sektor-sektor informal dan atau sektor ekonomi rakyat yang untuk pengembangannya diperlukan pengerahan sumber daya dan dana yang cukup besar.

  5. Kawasan tertinggal dan kemiskinan; masih terdapatnya desa-desa tertinggal di kawasan pengembangan timur serta jumlah keluarga pra sejahtera yang masih sekitar 21,10% pada tahun 2000 menunjukkan kondisi masyarakat masih belum mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi yang diharapkan.

  6. Ketidakmerataan latar belakang pendidikan masyarakat; walaupun Yogyakarta mempunyai predikat sebagai kota pendidikan, namun masyarakatnya sendiri tidak semuanya mempunyai kesempatan untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi atau dalam mendapatkan pendidikan keahlian, terutama dikarenakan oleh faktor ekonomi.


 Bertolak dari beberapa masalah pokok di atas maka sasaran pembangunan ekonomi dalam Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Daerah Istimewa Yogyakarta  Tahun 2001-2005 antara lain adalah:




  1. terwujudnya pemulihan dan ketahanan ekonomi daerah,

  2. tercapainya kesejahteraan masyarakat;

  3. tercapainya ketahanan budaya;

  4. terwujudnya Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi terkemuka;

  5. terberdayakannya masyarakat.


 Selanjutnya berdasarkan masalah dan sasaran pembangunan ekonomi di Propinsi DIY, sebagaimana tertuang dalam PROPEDA DIY Tahun 2001-2005, penelitian ini khusus menganalisis kesenjangan antardaerah di Propinsi DIY. Penelitian ini dianggap penting agar kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah daerah dan masyarakat mempunyai arah dan sasaran yang jelas, sehingga akan diperoleh hasil yang optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil sesuai dengan tujuan pembangunan Propinsi DIY.


 Salah satu variabel yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan pendapatan antar daerah tersebut adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita yang diperoleh dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk pada suatu daerah. Untuk mengetahui perkembangan PDRB per kapita Propinsi DIY menurut kabupaten/kota selama periode 1993-2000 dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini.


Tabel 1.1


PDRB Per Kapita Propinsi DIY Menurut Kabupaten/Kota


Atas Dasar Harga Konstan 1993 (ribuan) 1993-2000








































Kab/Kota



1993



1994



1995



1996



1997



1998



1999



2000


Sleman

Bantul

Kl. Progo

G. Kidul

Yogya

1.428.266


997.608


1.073.998


1.052.410


2.569.223



1.537.924


1.074.351


1.099.503


1.147.143


2.780.000



1.652.389


1.149.725


1.116.757


1.247.415


3.045.587



1.766.889


1.217.859


1.174.483


1.340.494


3.291.320



1.796.480


1.237.947


1.205.197


1.388.519


3.394.328



1.623.284


1.107.421


1.036.520


1.286.192


2.969.742



1.626.590


1.069.848


932.568


1.302.803


2.951.941



1.612.172


1.087.393


945.840


1.387.982


3.009.980


DIY1.390.6401.503.3751.625.4151.753.1471.760.3361.552.3791.556.5541.607.364

Sumber : PDRB Propinsi DIY dirinci per kab/kota beberapa terbitan


                 PDRB Propinsi DIY beberapa terbitan


 Dari data yang ada pada tabel 1.1 dapat dilihat bahwa selama periode 1993-2000 setiap tahun terjadi peningkatan PDRB per kapita di setiap daerah kabupaten/kota yang ada di Propinsi DIY, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan PDRB per kapita Propinsi DIY pada periode yang sama, namun pada tahun 1998 PDRB per kapita di setiap daerah kabupaten/kota mengalami penurunan sehingga berakibat pula pada penurunan PDRB per kapita Porpinsi DIY. Selanjutnya mulai tahun 1999, terjadi peningkatan PDRB per kapita lagi untuk seluruh daerah walaupun angka peningkatannya kecil.


            Jika dibandingkan dengan PDRB per kapita Propinsi DIY, seperti tampak pada tabel 1.1, selama periode 1993-2000 PDRB per kapita Kabupaten Kulon Progo jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan PDRB per kapita Kota Yogyakarta, namun perbedaan besarnya PDRB per kapita belum bisa memberikan kesimpulan, apakah perbedaan tersebut tergolong ringan atau berat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka diperlukan analisis dengan mempergunakan alat-alat analisis tertentu yang akan dilakukan pada penelitian ini.


             Karakteristik daerah kabupaten/kota yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta  berdasarkan pola pertumbuhan dan PDRB per kapita diketahui dengan membandingkan laju pertumbuhan PDRB kabupaten/kota dan laju pertumbuhan Propinsi DIY dengan PDRB per kapita kabupaten/kota dan PDRB per kapita Propinsi DIY. Perbandingan tersebut dilakukan dengan  Klassen Typology (Sjafrizal, 1997:30). Tipologi daerah kabupaten/kota di Propinsi DIY berdasarkan rata-rata pertumbuhan PDRB dan rata-rata PDRB per kapita pada tahun 1993-2000 adalah seperti tabel berikut ini.


Tabel 1.2


Tipologi Daerah Kabupaten/Kota Berdasarkan Rata-rata Pertumbuhan PDRB dan Rata-rata PDRB Per Kapita di Propinsi DIY, 1993-2000.























Tipologi I  (daerah maju & tumbuh cepat)



Tipologi II (daerah berkembang cepat)




Rata-rata pertumbuhan > 5.46


Rata-rata PDRB per kapita > Rp 1.593.651,-




Rata-rata pertumbuhan > 5.46


Rata-rata PDRB per kapita < Rp 1.593.651,-



Tipologi III (daerah maju tapi tertekan)



Tipologi IV (daerah relatif tertinggal)




Rata-rata pertumbuhan < 5.46


Rata-rata PDRB per kapita > Rp 1.593.651,- : Kabupaten Sleman dan Kota yogyakarta




Rata-rata pertumbuhan < 5.46


Rata-rata PDRB per kapita < Rp 1.593.651,- : Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo



   Sumber : lihat tabel 1.1


             Struktur perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengalami pergeseran, hal ini terbukti dari perkembangan data sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier selama dua dasa warsa terakhir. Pada tahun 1980 sektor primer sebesar 42,45 % dan sektor tersier 43,65 %. Namun pada tahun 2000, sektor primer 22,43 % sedang sektor tersier sebesar 53,14 %, sementara sektor sekunder sebesar 24,43 %. Sektor tersier memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan sektor primer terus mengecil hingga kontribusinya terkecil mulai tahun 1994 dan sektor sekunder memberikan kontribusi sedikit lebih besar dibanding sektor primer. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.


Gambar 1.1   Struktur Perekonomian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,  1980 – 2000.


 Uraian di atas menggambarkan bahwa kesenjangan ekonomi selalu merupakan masalah yang cukup rumit dalam pembangunan. Kesenjangan dapat berupa kesenjangan antar penduduk, kesenjangan antar sektoral atau kesenjangan antar wilayah, bahkan kesenjangan antar negara. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi pada masalah  kesenjangan yang menjadi masalah bagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan judul Kesenjangan Antardaerah Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


 1.2  Keaslian Penelitian


            Penelitian mengenai kesenjangan banyak dilakukan oleh para peneliti. Diskusi tentang kesenjangan adalah topik yang sangat menarik karena merupakan satu dilema dalam pembangunan.


             Esmara (1975:41-57) melakukan  analisis kesenjangan antar daerah di Indonesia menggunakan koefisien disparitas Williamson dari PDRB per kapita. Di luar propinsi penghasil migas (Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah), secara umum kesenjangan antardaerah jauh lebih rendah dibandingkan jika daerah tidak  termasuk migas. Namun selama periode 1968-1972 baik dengan migas maupun tanpa migas, kesenjangan antardaerah cenderung meningkat dari 0,340 meningkat menjadi 0,522.


 Bourdet (1998) yang melakukan penelitian tentang dinamika kesenjangan-kesenjangan regional di Laos, menyimpulkan bahwa efek-efek positif kebijakan reformasi terhadap daerah-daerah yang kaya yang berasal dari kekuatan lokalisasi dan perkembangan industrial jauh lebih besar daripada efek-efek positif terhadap daerah miskin yang berasal dari peningkatan pengeluaran-pengeluaran sosial.


            Penelitian tentang kesenjangan distribusi pengeluaran rumah tangga di Indonesia yang dilaksanakan oleh Akita, dkk (1999), menyimpulkan bahwa  pertumbuhan PDB rata-rata lebih dari 5 % per tahun, telah mampu menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan  secara signifikan dari hampir 40 % pada tahun 1976 menjadi 13,5 % pada tahun 1993.


            Wei dan Fan (2000)  melakukan penelitian tentang Kesenjangan regional di Propinsi Jiangsu China menunjukkan bahwa pertumbuhan yang cepat di kota-kota menyumbang peningkatan kesenjangan antardaerah (kabupaten). Sejak bergulirnya reformasi, pertumbuhan bagian selatan (Sunan) bahkan lebih cepat dan memperlebar kesenjangan dibandingkan bagian tengah (Suzhong)  dan utara (Subei).


            Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sjafrizal (1997), dalam penelitiannya di wilayah Indonesia bagian barat menyimpulkan, secara relatif perkembangan pembangunan regional di wilayah Indonesia Bagian Barat dalam periode 1987-1997 ternyata lebih baik dibandingkan dengan rata-rata seluruh Indonesia, baik dari segi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan pembangunan antar wilayah.  Kecenderungan kesenjangan di wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia secara keseluruhan semakin menurun.


            Studi empiris yang dilakukan oleh Andayasa (1999) yang mengambil lokasi di Propinsi Sumatera Selatan dalam kurun waktu 1984-1996, dengan menggunakan Indeks Williamson telah ditemukan bahwa terjadi kesenjangan antar daerah, dan antar sektoral di Propinsi Sumatera Selatan, di mana pola hubungan antar pertumbuhan dengan kesenjangan pembangunan di Propinsi Sumatera Selatan  pada periode penelitian ternyata tidak mengikuti pola kurva U terbalik sebagaimana pendapat Kuznets.


            Selanjutnya Prasetyanto (1999) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pembangunan antardaerah di Propinsi DIY periode 1981 – 1995, dengan kecenderungan tingkat kesenjangan menurun. Variabel yang signifikan menurunkan kesenjangan adalah persentase sektor industri terhadap PDRB, dan yang signifikan meningkatkan kesenjangan adalah Inpres Dati II.


            Selain itu Ariani (2000) juga telah melakukan studi empiris tentang pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi antar daerah di Propinsi Jawa timur dengan menghitung laju pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar daerah dengan Indeks Williamson dan mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan antar daerah periode 1980-1998. Hasil penelitian menunjukkan besarnya kesenjangan ekonomi antar daerah di Jawa timur dari tahun 1980-1998 berdasarkan PDRB per kapita cukup bervariasi yaitu antara 0,661 sampai 1,162 dengan trend kesenjangan ekonomi antar daerah semakin meningkat.


            Wardana (2002) melakukan penelitian tentang distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta  periode 1994-2000 menyimpulkan bahwa pendapatan terdistribusi secara relatif merata, tingkat kesejahteraan masyarakat termasuk dalam kategori baik serta pendapatan per kapita berpengaruh secara tidak signifikan terhadap distribusi pendapatan, umur harapan hidup dan angka melek huruf.


          Dari beberapa hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya tidak ada kesamaan dengan penelitian yang dilakukan, terutama waktu atau periode penelitian (penelitian sebelumnya periode 1981-1995),  variabel (faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pada penelitian sebelumnya adalah persentase sektor industri terhadap PDRB dan Inpres Dati II)  dan pendekatannya (penelitian sebelumnya menggunakan autoregresif model).


1.3  Tujuan Penelitian


Berkenaan dengan latar belakang dan  perumusan  masalah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:




  1. menganalisis kesenjangan antar daerah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan indeks Williamson dari sisi PDRB per kapita;

  2. mengidentifikasi kecenderungan kesenjangan antardaerah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;

  3. menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesenjangan dengan menganalisis pengaruh investasi swasta, pengeluaran pembangunan dan laju pertumbuhan.


 Alasan pemilihan PDRB per kapita karena PDRB per kapita mencerminkan pendapatan yang diterima masing-masing penduduk. Pemilihan investasi swasta dan pengeluaran pembangunan karena variabel-variabel ini dapat dikategorikan sebagai variabel pemacu pembangunan perekonomian daerah. Alasan pemilihan laju pertumbuhan karena untuk mengetahui apakah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berlaku, bahwa antara pemerataan dan pertumbuhan sulit untuk diwujudkan secara bersama-sama atau dapat berjalan beriringan.

0 komentar:

Posting Komentar