ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH PROPINSI SULAWESI TENGGARA DITINJAU DARI PROSES DAN PENGALOKASIANNYA PERIODE 1997/1998 s/d 2001

BAB I


PENGANTAR


1.1  Latar Belakang


Pengelolaan Anggaran Belanja Daerah telah menjadi perhatian utama bagi para pengambil keputusan dalam pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selama ini berbagai perundang–undangan dan produk hukum telah dikeluarkan dan diberlakukan dalam upaya untuk menciptakan sistem pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan perjalanan waktu, berbagai perundang-undangan dan produk hukum tersebut dirasakan sudah tidak mampu lagi mengakomodasi berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.


Seiring dengan digulirkannya gaung reformasi pada pertengahan tahun1997, telah mengakibatkan munculnya berbagai aspirasi masyarakat di segala bidang, yang kesemuanya itu merupakan gambaran kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan ide–ide dalam memandang permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, sebagai jawaban dari pendapat, ide–ide dan keinginan supaya dilakukannya perubahan dalam sendi–sendi kehidupan bernegara, maka dibuatlah berbagai peraturan dan perundang–undangan yang antara lain adalah Undang–Undang  No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang–Undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Undang–Undang Otonomi Daerah.


Otonomi daerah merupakan suatu fenomena yang memerlukan transformasi paradigmatik dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Ditinjau dari aspek ekonomis, perubahan utama terletak pada pandangan bahwa sumber–sumber ekonomis yang tersedia di daerah harus dikelola secara mandiri dan bertanggungjawab, dalam arti hasil–hasilnya harus lebih diorientasikan pada peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat di daerah. Tugas pengelolaan, merupakan mandat masyarakat di daerah yang menjadi kewajiban bagi manajemen pemerintahan di daerah untuk melaksanakannya. Pandangan tersebut juga terkait dengan perlunya mekanisme pengelolaan keuangan daerah yang efisien dan efektif dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.


Sejalan dengan diberlakukannya undang–undang otonomi daerah, maka diharapkan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki atas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat. Pemberlakuan kedua undang-undang ini juga berkonsekuensi pada perubahan pola pertanggungjawaban daerah atas dana yang dialokasikan. Pola pertanggungjawaban daerah lebih bersifat pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability) kepada masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).


Dalam rangka pertanggungjawaban publik, pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan optimalisasi belanja yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.   Halim (2001: 19) mengatakan proses anggaran yang telah disepakati antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan amanat rakyat. Ini adalah tantangan untuk menunjukkan bahwa sebagai pihak yang bertanggungjawab akan “kepentingan rakyat” pemerintah daerah dan DPRD harus memposisikan dirinya pada posisi yang tepat. Selain itu, hal tersebut adalah sebuah peluang untuk menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan DPRD bukan sebagai salah satu “penikmat” dana rakyat, tetapi dapat berbagi rasa dengan rakyat dari dana yang “tersedia” bagi daerah.


Pada era sekarang ini, peranan DPRD semakin penting. Fungsi perencanaan anggaran daerah semestinya sudah dilakukan oleh para anggota DPRD sejak proses penjaringan aspirasi masyarakat hingga penetapan arah dan kebijakan umum APBD serta penentuan strategi dan prioritas APBD. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 18 ayat (1) butir (h)  mengatakan bahwa DPRD menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.  Proses dapat dilakukan oleh DPRD melalui hak-hak yang dimilikinya dan informasi yang diperoleh DPRD harus dikomunikasikan serta diinformasikan kepada aparat pemerintah daerah sebelum menyusun APBD. Oleh karena itu, aparat pemerintah daerah untuk dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal maka diharuskan memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai dalam perencanaan dan perumusan kebijakan strategis daerah, termasuk proses dan pengalokasian anggaran belanja daerah agar pelaksanaan berbagai kegiatan pelayanan oleh pemerintah daerah dapat berjalan secara ekonomis, efisien dan efektif. Sistem dan prosedur penyusunan anggaran yang digunakan  di Propinsi Sulawesi Tenggara saat ini didasarkan atas dua pendekatan utama, yaitu pendekatan dari bawah (bottom up approach) dan pendekatan dari atas (top down approach). Dengan undang-undang yang baru, pemerintah di daerah diberikan kebebasan dan keleluasaan yang lebih besar untuk melakukan terobosan-terobosan baru guna meningkatkan sumber pembiayaan untuk mendorong proses pembangunan daerah secara keseluruhan.


Dari uraian tersebut mengandung arti bahwa pemerintah daerah dituntut untuk mampu menemukan metode baru dalam meningkatkan sumber pembiayaan pembangunan di daerahnya. Di samping itu juga mengharuskan daerah untuk dapat mengalokasikan belanjanya agar hemat, daya guna dan tepat guna. Peran serta masyarakat sebagai pemilik sebagian dana sangat diharapkan dalam proses penyusunan APBD.


Proses perencanaan anggaran daerah dengan paradigma lama cenderung lebih bersifat sentralistis dan didominasi oleh pemerintah pusat dengan maksud untuk mengakomodasi berbagai kepentingan pemerintah pusat di daerah. Lemahnya perencanaan anggaran yang diikuti dengan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah secara berkelanjutan dan diikuti dengan pengeluaran daerah yang terus meningkat secara dinamis jika tidak disertai dengan penentuan skala prioritas dan besarnya plafon anggaran akan menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara target dan realisasi yang diharapkan, dan selanjutnya akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja pemerintah daerah.


Aspek pengeluaran dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak dapat dipisahkan dari mekanisme pengelolaan keuangan yang ada di daerah. Manajemen pengelolaan keuangan daerah yang baik tentunya akan lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana yang tersedia guna mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah.


Pengelolaan keuangan daerah yang dibahas pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 diatur lebih rinci pada Peraturan  Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, Peraturan  Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Peraturan  Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.


Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka permasalahan yang timbul adalah sejauh mana keterlibatan masyarakat termasuk DPRD dalam proses penyusunan APBD, dan seberapa besar pengalokasian anggaran belanja untuk kepentingan pelayanan publik dan pelayanan aparat/penyelenggara pemerintah daerah.


Proses dan pengalokasian anggaran belanja tersebut akan dievaluasi dalam rangka menyusun belanja pemerintah pada tahun-tahun berikutnya, baik dilihat dari paradigma lama maupun paradigma baru penyusunan anggaran. Di samping itu akan digunakan sebagai bahan masukan bagi DPRD dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan keuangan pemerintah daerah.


1.2   Keaslian Penelitian


Penelitian yang berkaitan dengan belanja negara dan belanja daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Sebagai pembanding dikemukakan beberapa hasil penelitian berikut ini.


Ma (1997) yang membahas penentuan kebutuhan fiskal daerah lebih bersifat absolut dan lebih mikro. Ada dua tahapan yang dilakukan untuk menentukan kebutuhan fiskal daerah, yaitu tahap pertama klasifikasi atau kategorisasi pengeluaran daerah dan tahap kedua perhitungan kebutuhan pengeluaran untuk setiap kategori yang umum digunakan seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, kesejahteraan sosial, kebakaran, konservasi lingkungan, dan jasa lainnya. Pembagian seperti ini tentu saja tergantung pada desentralisasi kewenangan yang berlaku serta ketersediaan data. Mungkin saja terjadi penggabungan antara kesehatan dengan kesejahteraan sosial ke dalam beberapa bagian lagi, dan sebagainya.


Miller dan Russek (1997) memfokuskan  penelitiannya pada semua negara di Amerika Serikat yang sedang mangalami masalah anggaran yaitu kenyataan untuk melaksanakan pemangkasan pengeluaran dan meningkatkan penerimaan pajak. Penelitian ini antara lain menyatakan bahwa peningkatan penerimaaan pajak dapat membantu mengatasi budget deficit. Akan tetapi penetapan pajak oleh pemerintah pusat dan lokal dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penetapan pajak akan merugikan pertumbuhan ekonomi, bila penerimaan pemerintah dari pajak tersebut digunakan untuk membayar transfer payment. Akan tetapi tidak merugikan bila digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.


Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pemerintah daerah harus mampu melakukan  perencanaan, program dan anggaran pengeluaran pembangunan mereka sendiri. Tidak adanya pengalaman dapat menyebabkan pemerintah daerah salah mengatur pengeluaran, karena kekeliruan-kekeliruan dalam prioritasi (penentuan prioritas) dan pentahapan proyek. Masalah kemampuan institusional yang tidak memadai untuk mengatur pengeluaran-pengeluaran negara/pemerintah daerah dapat juga disertai dengan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, bukan hanya oleh birokrasi daerah tetapi juga oleh politisi lokal.


Mardiasmo (2002; 135-136) mengemukakan bahwa dengan adanya desentralisasi fiskal akan berimplikasi pada APBD yaitu pos penerimaan dengan konsekuensinya menggelembungnya jumlah penerimaan daerah. Perubahan jumlah penerimaan tersebut harus diikuti dengan pengeluaran keuangan daerah yang efisien dan efektif yang disertai dengan peningkatan sumber daya manusia. Persoalan otonomi daerah tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan asli daerah saja tetapi lebih berfokus pada pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menentukan penggunaan dana-dana perimbangan tersebut.


Mardiasmo (2001) melakukan studi kasus di enam kota/kabupaten dengan periode amatan 1991/1992 sampai dengan 1995/1996 yang meneliti budgetary slack dan pendekatan anggaran, serta waktu pemberian bantuan menyimpulkan dua hal. Pertama, ketergantungan keuangan pemerintah daerah propinsi terhadap pemerintah pusat mendorong terjadinya kesenjangan anggaran. Kedua, pendekatan bottom up cenderung menjadi sebuah formalitas belaka karena pemerintah propinsi dianggap tidak memiliki perencanaan strategik dan prioritas yang jelas.


Lutfieka (2001) meneliti tentang evaluasi proses penyusunan dan pengalokasian anggaran belanja Kabupaten Aceh Tenggara. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kebijakan penyusunan APBD di Kabupaten Aceh Tenggara belum berdasarkan kepentingan masyarakat, hal ini terbukti peran DPRD dan masyarakat belum terlibat secara aktif dan berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan penyusunan APBD. Proses penyusunan APBD masih didominasi oleh pihak eksekutif dalam menentukan skala prioritas dan plafon anggaran.


Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti  disebutkan di atas, apabila dibandingkan dengan penelitian ini mempunyai beberapa kesamaan antara lain permasalahan yang akan dibahas serta beberapa alat analisis yang relevan untuk digunakan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain terletak pada alat analisis yaitu uji beda rata-rata 2 (dua) sisi yang membandingkan alokasi anggaran belanja daerah untuk kepentingan pelayanan publik antara sebelum dan sesudah pelaksanaan sisitem baru pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, lokasi dan obyek penelitian yaitu alokasi APBD pada unti pelayanan publik dan pelayanan birokrasi serta peranan Stockholder dan DPRD Propinsi Sulawesi Tenggara.


1.3   Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1     Tujuan penelitian


Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :




  1. mengevaluasi proses penyusunan anggaran belanja di Propinsi Sulawesi Tenggara, yang mencakup pula peran DPRD;

  2. mengevaluasi besarnya alokasi anggaran belanja Propinsi Sulawesi Tenggara untuk pelayanan publik dan pelayanan aparat/penyelenggara;

  3. menghitung dan mengevaluasi ada dan tidaknya perbedaan alokasi anggaran belanja Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara untuk pelayanan publik antara sebelum dan sesudah sistem baru pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diterapkan.


1.3.2     Manfaat penelitian


Sebagai sumber masukan berupa sumbang saran atau pemikiran baru  bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara  dalam mengambil keputusan mengenai belanja daerah.




  1. Sebagai sumber masukan berupa sumbang saran atau pemikiran baru bagi Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara dalam pengambilan keputusan mengenai proses pengalokasian anggaran belanja daerah.

  2. Memberikan tambahan ilmu mengenai pengelolaan keuangan daerah, terutama dari proses dan pengalokasian belanjanya.

  3. Sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya, khususnya di Propinsi Sulawesi Tenggara.

0 komentar:

Posting Komentar