EVALUASI ANGGARAN BELANJA DAERAH PEMERINTAH KOTA SABANG DITINJAU DARI PROSES DAN PENGALOKASIAN

BAB I


PENGANTAR


1.1 Latar Belakang

Tuntutan reformasi di segala bidang dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah, akuntabilitas dan transparansi pertanggungjawaban anggaran daerah merupakan salah satu kewajiban pemerintah daerah.  Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Undang-undang nomor 18 Tahun 2001 tentang pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, akan membawa suatu perubahan besar dan cukup mendasar dalam penyelenggaraan mekanisme pemerintahan di daerah, di mana otonomi benar-benar akan terlaksana dan menjadi kenyataan, sehingga diperlukan suatu kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan anggaran, baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran.


Otonomi yang dilaksanakan akan berdampak pada semakin besarnya wewenang dan  tanggung jawab yang diberikan kepada daerah. Salah satu wewenang dan tanggung jawab tersebut adalah dalam pengelolaan pembangunan dan keuangan di daerahnya masing-masing. Dengan wewenang dan tanggung jawab tersebut, maka pemerintah daerah semakin dituntut untuk mewujudkan suatu bentuk akuntabilitas dan transparansi publik yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat. Salah satu wujud pertanggungjawaban dan transparansi dalam pengelolaan pembangunan dan keuangan daerah adalah diwajibkannya kepala daerah untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan  pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya pada setiap akhir tahun anggaran.


Perubahan paradigma baru yang merubah konsep dan kewenangan daerah yang semula ditujukan atas dasar porsi kebijakan pusat yang lebih dominan dalam pembagian kewenangan pusat dan daerah selanjutnya diarahkan menjadi kemandirian daerah dalam mengelola daerahnya, termasuk kebijakan-kebijakan pembangunan di daerah. Perubahan ini menuntut kemandirian daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan menempuh berbagai strategi, alokasi dan prioritas pengeluaran sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dan pengeluaran daerah harus mampu menghilangkan kesan  terjadinya pemborosan dan kebocoran anggaran daerah. Proses penyusunan dan pengalokasian anggaran daerah yang selama ini terjadi mengunakan pendekatan top down planning dan bottom up planning  yang terkesan dominannya pemerintah pusat harus dihilangkan.


Dalam rangka pertanggungjawaban publik, pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan optimalisasi belanja yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Halim (2001:19) mengatakan proses anggaran yang telah disepakati antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan amanat rakyat. Ini adalah tantangan untuk menunjukkan bahwa sebagai pihak yang bertanggungjawab akan “kepentingan rakyat” pemerintah daerah dan DPRD harus memposisikan dirinya pada posisi yang tepat. Selain itu, hal tersebut adalah sebuah peluang untuk menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan DPRD bukan sebagai salah satu “penikmat” dana rakyat, akan tetapi dapat berbagi rasa dengan rakyat dari dana yang tersedia bagi daerah.


Berkaitan dengan adanya tuntutan terciptanya akuntabilitas publik maka DPRD memiliki peran dan kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Fungsi perencanaan anggaran daerah hendaknya sudah dilakukan oleh para anggota DPRD sejak proses penjaringan aspirasi masyarakat (needs assessment) hingga penetapan arah dan kebijakan umum APBD serta penentuan strategi dan prioritas APBD. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 18 ayat (1) butir (h) mengatakan bahwa DPRD menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat. Proses yang dapat dilakukan oleh DPRD melalui hak-hak yang dimilikinya, informasi yang diperoleh DPRD harus dikomunikasikan dan diinformasikan kepada aparat pemerintah daerah sebelum mereka menyusun APBD.


Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah sangat ditentukan oleh proses awal perencanaannya. Semakin baik perencanaannya akan memberikan dampak semakin baik pula implementasinya di lapangan. Keterlibatan berbagai lembaga/instansi dalam proses perencanaan diperlukan kesatuan visi, misi dan tujuan dari setiap lembaga tersebut. Dalam menentukan alokasi dana anggaran untuk setiap kegiatan biasanya digunakan metode incrementalism yang didasarkan atas perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Pendekatan lain yang umum dipergunakan adalah line-item budget yaitu perencanaan anggaran yang didasarkan atas item-item yang ada dimasa lalu misalnya penetapan mata anggaran yang harus didasarkan pada Kepmendagri no. 903-937 tahun 1987 tentang penggunaan sistem digit dalam pelaksanaan APBD serta petunjuk teknis tata usaha keuangan daerah, sehingga penyusunan anggaran tidak memiliki alasan rasional dalam menetapkan target penerimaan dan pengeluaran.


Kaho (1997:124), menyatakan salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah untuk mengukur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Secara realistis, praktek penyelenggaraan pemerintah selama ini menunjukkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, hal ini terlihat dari program kerja yang ada dalam keuangan daerah cenderung  merupakan arahan dari pemerintah pusat sehingga besarnya alokasi dana rutin dana pembangunan daerah belum didasarkan pada standar analisis belanja, tetapi dengan menggunakan pendekatan tawar-menawar inkremental (incremental bargaining approach).


Kota Sabang merupakan salah satu Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menerima otonomi dengan segala konsekuensinya untuk menyelenggarakan aktivitas pemerintahan di daerah. Sebagai gambaran dapat dilihat keadaan dan perkembangan Rencana dan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Sabang, Tahun Anggaran 1996/1997 – 2001 seperti tertera pada tabel berikut:


Tabel 1.1


Perkembangan Rencana dan Realisasi APBD Kota Sabang,


1996/1997 s/d 2001















































































Tahun Anggaran



Rencana Penerimaan (Rp)



Realisasi Penerimaan (Rp)



%



Realisasi Belanja (Rp)



%















1996/1997



8.660.173.601



8.976.343.231



103.65



7.572.860.630



84.36



1997/1998



11.373.597.022



11.191.485.178



98.40



9.693.069.941



86.61



1998/1999



17.762.145.138



17.852.554.753



100.51



16.432.377.406



92.04



1999/2000



39.252.429.324



30.176.796.946



76.88



28.380.456.331



94.05



2000



53.619.445.903



53.885.127.306



100.50



52.276.074.867



97.01



2001



121.032.584.480



117.571.353.041



97.14



113.945.664.496



96.92


Rata-rata





96.18





91.83



Sumber: Bagian Keuangan, Perhitungan APBD Kota Sabang, beberapa terbitan.


Berdasarkan data pada tabel 1.1 diketahui bahwa dari rencana yang telah ditetapkan terlihat bahwa realisasi penerimaan maupun realisasi belanja yang dialokasikan cenderung mengalami peningkatan walaupun secara persentase realisasinya sangat berfluktuatif. Secara absolut rencana yang ditetapkan juga mengalami peningkatan dari Tahun Anggaran 1996/1997 sebesar Rp8.660.173.601,- dan pada Tahun Anggaran 2001 menjadi Rp121.032.584.480,-. Bila dilihat kemampuan daerah dalam merealisasikan rencana penerimaan yang ditetapkan secara rata-rata untuk realisasi penerimaan adalah sebesar 96,18% dan untuk realisasi belanja baik rutin maupun pembangunan adalah sebesar 91,83%. Data ini menunjukkan bahwa belum seluruhnya realisasi penerimaan dapat terserap oleh alokasi belanja rutin maupun belanja pembangunan yang mengakibatkan terjadinya sisa lebih perhitungan pada setiap tahun anggaran.


Dengan memperhatikan latar belakang, maka permasalahan yang timbul adalah sejauh mana keterlibatan DPRD dan masyarakat dalam proses penyusunan APBD, dan seberapa besar pengalokasian anggaran belanja untuk kepentingan kelompok unit kerja pelayanan publik dan pelayanan aparat/penyelenggara pemerintah daerah selama periode penelitian, sebelum otonomi daerah (1996/1997-2000) dan pada masa otonomi daerah (2001). Proses dan pengalokasian anggaran belanja tersebut akan dievaluasi dalam rangka menyusun belanja pemerintah pada tahun-tahun berikutnya, baik dilihat dari paradigma lama maupun paradigma baru penyusunan anggaran.


1.2 Keaslian Penelitian


Penelitian yang berkaitan dengan belanja negara dan belanja daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan di Indonesia maupun luar negeri. Sebagai pembanding dikemukakan beberapa hasil penelitian berikut ini.


Jun Ma (1997) dalam penelitiannya membahas tentang perbandingan pengeluaran pemerintah dengan melakukan studi terhadap sembilan negara termasuk Indonesia, sehingga diperoleh suatu formula untuk menghitung kebutuhan fiskal (fiscal need) untuk berbagai kategori, dan selanjutnya pengeluaran pemerintah dapat diukur dengan melakukan pembagian pengeluaran pemerintah menjadi beberapa kategori sesuai dengan fungsi pelayanan atau kriteria yang ditetapkan. Jumlah keseluruhan dari masing-masing kategori adalah sama dengan kebutuhan pengeluaran pemerintah.


Masrizal (1998) menyimpulkan bahwa Goverment Budget mempunyai peranan cukup penting dalam program pembangunan teutama untuk mencapai stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena sekarang ini anggaran (budget) tidak hanya sebagai alat informasi bagi masyarakat, namun sekaligus merupakan alat kontrol dan akuntabilitas. Penerapan sistem anggaran tradisional di negara-negara sedang berkembang sudah tidak mampu lagi mengantisipasi kegiatan-kegiatan pemerintah yang semakin kompleks dan struktur organisasi yang semakin modern. Dengan membahas tiga model sistem anggaran yang sangat populer yaitu traditional bugeting, programming budgeting dan zero base budgeting system untuk melaksanakan program pembangunan serta merangsang pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang maka alternatif yang dipilih adalah planning, programming and budgeting system dan zero base budgeting system.


Pitarakis dan Tridimas (1999) melakukan penelitian berdasarkan data pengeluaran konsumsi pemerintahan umum di United Kingdom (UK) selama tiga puluh tahun, yaitu periode 1963–1993 yang menyatakan bahwa pengeluaran total pemerintah selama periode tersebut ada lima hal yaitu pertahanan, kesehatan, pengeluaran pemerintah pusat lainnya (administrasi hukum dan tata tertib), pendidikan dan pengeluaran lainnya. Dalam penelitian ini standar permintaan konsumen yang berbeda-beda sangat kurang diberitakan dalam tatanan ini, karena kekuasaan pemerintah lokal hanya terbatas dalam meningkatkan pendapatan dan pembelanjaannya, sedangkan keputusan mengenai alokasi  pengeluaran publik dilakukan oleh pemerintah dan dalam pembuatan keputusan fiskal di United Kingdom terkonsentrasi pada kekuasaan pemerintah pusat.


Mardiasmo (2001) melakukan studi tentang masalah utama yang timbul dalam proses perencanaan dan persiapan anggaran pemerintah kabupaten/kota di Indonesia, yaitu ketergantungan keuangan terhadap pemerintah propinsi dan pusat, dan pembatasan keuangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Studi kasus pada enam kabupaten/kota dengan periode amatan 1991/1992 sampai dengan 1995/1996 yang meneliti budgetary slack dan pendekatan anggaran serta waktu pemberian bantuan menyimpulkan dua hal, pertama, ketergantungan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah propinsi dan pusat mendorong terjadinya kesenjangan anggaran, kedua, pendekatan bottom up cenderung menjadi sebuah formalitas belaka karena pemerintah kabupaten/kota dianggap tidak memiliki perencanaan strategik dan prioritas yang jelas.


Lutfieka (2001) melakukan penelitian tentang evaluasi proses penyusunan dan pengalokasian anggaran belanja Kabupaten Aceh Tenggara. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam kebijakan penyusunan APBD di Kabupaten Aceh Tenggara belum berdasarkan pada kepentingan masyarakat. Ini terbukti peran DPRD dan masyarakat belum terlibat secara aktif dan berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan penyusunan APBD. Walaupun tahapan perencanaan dilakukan melalui top down approach dan bottom up approach, tetapi proses penyusunan APBD masih didominasi oleh pihak eksekutif dalam menentukan skala prioritas dan plafon anggaran.


Mawardi (2001) meneliti tentang anggaran belanja daerah Pemerintah Kabupaten Banjar ditinjau dari proses dan pengalokasian. Hasil penelitiannnya menyimpulkan proses penyusunan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum mencerminkan aspirasi masyarakat daerah, di mana arah dan kebijakan umum anggaran lebih didominasi dan mencerminkan aspirasi pemerintah atasan. Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai wakil rakyat di daerah belum optimal, sehingga permasalahan anggaran yang dihadapi tidak tersaji secara lebih mendalam. Pengalokasian anggaran belanja daerah secara keseluruhan lebih besar dialokasikan untuk anggaran belanja pelayanan publik daripada belanja pelayanan birokrasi.


Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti yang telah disebutkan, apabila dibandingkan dengan penelitian ini mempunyai beberapa kesamaan antara lain permasalahan yang akan dibahas serta beberapa alat analisis yang relevan untuk digunakan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada daerah penelitian dan pembahasan realisasi alokasi anggaran belanja terfokus pada masa sebelum dan setelah otonomi daerah.


1.3  Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan penelitian


Berdasarkan pembahasan dari latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian adalah:




  1. untuk mengevaluasi proses penyusunan anggaran belanja di Kota Sabang, yang mencakup pula peran DPRD selama periode penelitian, tahun anggaran 1996/1997 – 2001;

  2. mengevaluasi besarnya alokasi anggaran belanja daerah Kota Sabang untuk pembiayaan kelompok unit kerja pelayanan birokrasi dan pembiayaan kelompok unit kerja pelayanan publik selama periode penelitian, sebelum otonomi daerah (1996/1997-2000) dan pada masa otonomi daerah (2001);

  3. menghitung pertumbuhan, kontribusi anggaran belanja rutin dan belanja pembangunan menurut sektor selama periode penelitian, tahun angaran 1996/1997-2001.


1.3.2 Manfaat penelitian


Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain:




  1. sebagai sumber masukan berupa sumbang dan saran atau pemikiran baru bagi Pemerintah Daerah dan DPRD Kota Sabang dalam mengambil keputusan mengenai pengeluaran daerah;

  2. memberikan tambahan ilmu mengenai pengelolaan keuangan daerah terutama dari pengalokasian belanjanya;

  3. sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya, khususnya di Kota Sabang.

0 komentar:

Posting Komentar