POTENSI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN MUNA
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pada pasal 18 merupakan dasar pelaksanaan otonomi daerah dengan ditindaklanjuti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, dimaksudkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara profesional, yang diwujudkan dengan penjabaran pembangian dan pemanfaatan sumber daya masyarakat yang adil serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut didukung pula oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Tujuan dari kedua Undang-undang tersebut bukan hanya pada keinginan pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah adanya keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan dan pelayanan yang memadai kepada masyarakat (Penjelasan PP. Nomor 105 Tahun 2000).
Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, salah satu aspek penting yang harus diatur secara hati-hati yaitu masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mewujudkan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggungjawab maka diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, akuntabel dan transparan.
Sumodiningrat (1997 : 44) mengatakan bahwa makin meningkatnya fasilitas dan mutu pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat akan memberikan kemudahan dalam melaksanakan kegiatan ekonominya dan meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak dan retribusi. Dengan adanya pelimpahan kewenangan dan pembiayaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yang tentunya juga akan membawa konsekuensi lebih besar di daerah serta ruang lingkup pelayanan yang lebih luas tentu membutuhkan tingkat pelayanan dan pembiayaan yang lebih banyak dengan kualitas yang memadai, efisien dan efektif. Tetapi kewenangan tersebut dapat dijalankan dengan baik bila didukung adanya kesiapan sumber daya manusia yang berkualitas, kelembagaan yang efektif dan pendanaan yang memadai serta sarana dan prasarana yang dimiliki.
Dalam pasal 80 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa dana perimbangan terdiri dari :
- bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
- dana alokasi umum; dan
- dana alokasi khusus.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salah satu penerimaan negara, dimana (10%) untuk pemerintah pusat dan (90%) diserahkan kembali kepada daerah yang memungutnya. (90%) bagian daerah dari PBB dibagi dengan rincian: 16,2% Propinsi, 64,8% diberikan kepada Kabupaten/Kota dan 9% untuk biaya pemungutan ( PP 104 Tahun 2000). Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan pada 5 sektor yaitu sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Di daerah Kabupaten Muna Pajak Bumi dan Bangunan dari sektor perdesaan dan perkotaan penerimaannya tidak terlalu besar. Untuk periode 2002, penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dari sektor perdesaan dan perkotaan realisasi penerimaan lebih kurang Rp773.512.717,- atau sekitar 14,63% dari total penerimaan PBB sebesar Rp. 5.286.685.030,-
Dengan diberlakukannya Undang-undang otonomi daerah baik Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah maupun Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai akibat diserahkannya sebagian tugas pemerintah pusat kepada pemerintah daerah maka peranan Pajak Bumi Bangunan bagi pemerintah daerah menjadi bertambah penting. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah pusat menyerahkan kembali bagiannya kepada daerah, sehingga di luar biaya pemungutan pemerintah daerah tetap akan menerima sepenuhnya hasil Pajak Bumi dan Bangunan.
Tetapi, akhir-akhir ini timbul sorotan terhadap Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya sektor perdesaan dan perkotaan, yaitu ada kenaikan ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan akibat adanya penyesuaian Nilai Jual Obyek Pajak selaras adanya perkembangan harga pasar. Adanya silang pendapat berkaitan karena adanya konsep dan penentuan Nilai Jual Obyek Pajak antara Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan masyarakat. Adanya kenaikan pajak tersebut nampak terasa berat bagi masyarakat, sebab dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai salah satu wujud Pajak Kekayaan (property tax), memang tidak berhubungan langsung dengan pendapatan sekarang atau current income dari wajib pajak. Berkaitan adanya hal tersebut timbul berbagai tuntutan dari wajib pajak karena merasa keberatan terhadap ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan.
Dasar penentuan tarif pajak dan Nilai Jual Obyek Pajak secara periodik dan atau pembebasan pajak untuk bumi dan bangunan dengan memperhatikan keadaan dan lokasi wilayah atau daerah diharapkan dapat dipakai sebagai pilihan yang baik, khususnya dalam memotivasi terciptanya kepastian besarnya PBB dan keadilan. Ketetapan mengenai tarif pajak 0,5% dan dasar perhitungan Nilai Jual Kena Pajak sebesar 20% sampai dengan 100% dari Nilai Jual Obyek Pajak dan pemberian NJOP-TKP (Nilai Jual Obyek Pajak-Tidak Kena Pajak) serta usaha untuk memperhatikan dan melibatkan pemerintah daerah baik kabupaten atau kota dan propinsi penting dikaji secara mendalam. Hal ini penting dilakukan agar usaha tersebut akan tetap menjamin peningkatan penerimaan PBB dengan tidak mengabaikan masalah kepastian dan keadilan bagi wajib pajak.
Pengelolaan PBB di Kabupaten Muna untuk sektor perdesaan dan perkotaan selama 5 (lima) tahun terakhir yaitu 1998/1999–2002 realisasi penerimaannya selalu tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Selain daripada itu target yang ditetapkan juga masih di bawah atau lebih kecil dari potensi yang ada, sebagaimana tampak pada tabel 1.1 berikut ini.
Tabel 1.1
Potensi,Target dan Realisasi PBB Sektor Perdesaan dan Perkotaan
di Kabupaten Muna,1998/1999-2002
NO. | Tahun Anggaran | Potensi (Rp) | Target (Rp) | Realisasi (Rp) |
1. | 1998/1999 | 991.994.228 | 589.146.348 | 534.154.599 |
2. | 1999/2000 | 1.060.207.201 | 618.746.288 | 511.858.501 |
3. | 2000 | 712.913.606 | 633.003.048 | 555.149.056 |
4. | 2001 | 811.206.143 | 731.280.097 | 617.864.456 |
5. | 2002 | 1.057.718.116 | 800.767.301 | 773.512.718 |
Sumber : Kantor Dinas Pendapatan Kabupaten Muna, Target dan Realisasi Penerimaan PBB Kabupaten Muna, beberapa terbitan (data diolah)
Berdasarkan tabel 1.1 dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 1998/1999-2002 ternyata target yang ditetapkan selalu tidak sesuai dengan potensi yang ada, dan bahkan realisasipun selalu tidak mencapai target yang ditetapkan. Oleh karena itu permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah “Mengapa target yang ditetapkan tidak sesuai dengan potensi yang ada dan mengapa realisasi yang diperoleh juga tidak mencapai target yang ditetapkan”.
0 komentar:
Posting Komentar