EVALUASI PENGALOKASIAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DONGGALA

BAB I


PENGANTAR


1.1 Latar Belakang


Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 78 ayat (1) ditetapkan bahwa “Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai komponen utama Keuangan Daerah yang ditetapkan setiap tahun anggaran merupakan salah satu instrumen kebijakan publik dalam upaya peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu DPRD dan Pemerintah Daerah perlu berupaya secara konkrit dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang betul-betul mencerminkan kebutuhan riil masyarakat.


Dengan demikian hak-hak masyarakat sebagai konsekuensi kewajibannya membayar pajak, retribusi dan lain-lain dapat dipenuhi dan dilayani dengan baik melalui kebijakan anggaran yang peka terhadap aspirasi masyarakat. Di bidang pengelolaan keuangan daerah yang meliputi  penyusunan, pelaksanaan, pertanggungjawaban anggaran sangat mewarnai keberhasilan tugas pemerintah daerah baik di bidang pelayanan masyarakat maupun di bidang pembangunan sebagai bagian integral dari pembangunan Nasional.


Kelemahan yang cukup menonjol dalam pengelolaan keuangan daerah pada pelaksanaan otonomi daerah adalah pada aspek pembiayaanya, di daerah yang merupakan salah satu pelaksanaan konkrit dan positif untuk pelaksanaan otonomi daerah ke depan yang lebih nyata, luas dan transparan.  Mendasari hal ini perlunya suatu kegiatan yang obyektif mengarah terhadap kerangka pemikiran dari sebuah pelaksanaan yang berkaitan dengan segala bentuk pembiayaan, baik itu untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah maupun pembiayaan untuk pelayanan publik di daerah, menurut Kuncoro (1995) dasar pertimbangan di antaranya adalah dari dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif.


Pelayanan publik pada pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan salah satu kunci suksesnya pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Dengan pola desentralisasi salah satu aspek penting pelaksanaan  otonomi daerah dan desentralisasi yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah (Mardiasmo 2000:1).


Menurut Todaro (1998 22) bahwa pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik, sekaligus tekad masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Dengan demikian diharapkan pemerintah daerah dapat mencermati kesiapan keuangan daerahnya dalam pelaksanaan otonomi daerah benar-benar dapat secara gradual menghilangkan ketergantungannya terhadap pemerintah pusat. Menurut Kuncoro (1995) salah satu fenomena paling menonjol dari hubungan antara sistem pemerintahan daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat    ketergantungan ini jelas terlihat dari aspek keuangan.


Dilimpahkannya kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah, maka anggaran daerah yang dibutuhkan guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan juga semakin besar. pengelolaan pengeluaran keuangan daerah yang baik, transparan dan bertanggungjawab sangatlah dibutuhkan dan diupayakan agar penggunaan dana di laksanakan secara efektif dan efisien serta berorientasi kepada kepentingan dan akuntabilitas publik. Menurut Devas dkk (1989 : 281), ciri utama pengelolaan keuangan daerah yang baik yakni sederhana, lengkap, berhasil guna dan mudah di sesuaikan.


Pembiayaan di  daerah secara umum mengandalkan sumber pendapatannya yang kaitannya dalam kerangka APBD dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, pertama Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD dan penerimaan Dinas-Dinas daerah. Kedua, bersumber dana yang berasal dari Pemerintah Pusat yang berupa bagi hasil pajak/bukan pajak serta penerimaan sumbangan dan bantuan.


Banyak persoalan dari pembelanjaan itu sendiri yang akan berdampak pada begitu banyak masalah yang signifikan, dan akan berakibat pada setiap tahap mulai dari penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban serta evaluasi dari seluruh kegiatannya, sehingga perlunya dari setiap rincian kegiatan yang tertera dalam APBD itu dapat menerjemahkan setiap pelaksanaannya secara rinci, transparan, obyektif  dan benar-benar mengena pada kebutuhan  dari masyarakat di daerah, dalam artian bahwa APBD tidak saja      mengukur dari tinggi rendahnya anggaran yang tertera di APBD namun lebih        berarti bagi seluruh masyarakat apabila anggaran yang dialokasikan tepat pada skala prioritas. Pengalokasian yang mengarah pada kebutuhannya sedapat mungkin akan membawa suatu hasil yang mengarah pada perbaikan kehidupan masyarakat di daerah.


Pemberian otonomi yang luas kepada Kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional.    Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang     berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (mardiasmo, 2002:102).


Pada Tabel 1.1  terlihat pengeluaran rutin Kabupaten Donggala tahun anggaran 1996/1997 sampai dengan tahun anngaran 1997/1998 lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran pembangunan yaitu masing-masing untuk pengeluaran rutin sebesar 33,45% dan 44,93% sementara untuk pengeluaran pembangunan yaitu sebesar 66,55% dan 55,07%, hal ini diduga disebabkan meningkatnya kebutuhan akan pembangunan pelayanan publik, pada tahun anggaran 1998/1999 proporsi pengeluaran rutin Kabupaten Donggala lebih besar daripada proporsi pengeluaran pembangunan dari total pengeluaran yaitu pada tahun anggaran 1998/1999 sebesar 77,19% hal ini  disebabkan meningkatnya pengeluaran rutin dari pos gaji dengan terjadinya kenaikan gaji pada tahun anggaran tersebut, begitu juga pada tahun anggaran 1999/2000, pengeluaran rutin sebesar Rp79,183 milyar atau 62,47 %, kondisi ini terjadi meningkatnya kebutuhan pelaksanaan aparatur di mana pada tahun tersebut terjadi krisis moneter dan melambungnya harga-harga menyebabkan pemerintah daerah cenderung untuk memenuhi biaya penyelenggaraan negara dibandingkan dengan pengeluaran  pembangunan.  Pada tahun anggaran 2000 pengeluaran rutin turun dari tahun sebelumnya yaitu dari   Rp79,183 milyar menjadi Rp75,151 milyar, hal ini disebabkan karena tahun anggaran 2000 hanya 9 bulan sehingga terjadi penghematan anggaran rutin, sedangkan anggaran pembangunan meningkat dari Rp47,573 milyar menjadi Rp52,618 milyar. Pada tahun anggaran 2001 terjadi peningkatan anggaran baik rutin maupun pembangunan, peningkatan ini terjadi sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah secara penuh di seluruh Indonesia,   dengan beralihnya status instansi vertikal menjadi dinas otonom, maka seluruh pengeluaran rutin ditanggung APBD Kabupaten. Juga dalam     biaya pembangunan meningkat karena  meningkatnya kewenangan yang diberikan kepada daerah kabupaten/kota sehingga banyak pembangunan yang dibiayai melalui anggaran pembangunan.


Tabel 1.1


Realisasi Pengeluaran Daerah KabupatenDonggala, 1996/1997 S/D 2001 (Dalam juta rupiah)




































































Uraian



Realisasi Pengeluaran



Jumlah


 

Rutin



%



Pembangunan



%


 

1996/1997



14.416,32


   33,45

28.682,65



   66,55



43.098,97



1997/1998



27.190,57


   44,93

33.328,73



   55,07



60.519,30



1998/1999



56.381,46


   77,19

16.658,49



   22,81



73.039,95



1999/2000



79.183,94


   62,47

47.573,06



   37,53



126.757,00



2000



75.151,16


   58,82

52.618,28



   41,18



127.769,44



2001



168.628,05


   64,75

91.789,11



   35,25



260.417,16



Sumber    :     Bagian keuangan, Perhitungan APBD Kabupaten Donggala, beberapa terbitan.


Sehubungan Kaitannya dengan pelayanan pada masyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, maka menurut Mangkusubroto (1993:3-9) pemerintahan negara pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama yaitu  :




  1. fungsi alokasi, yaitu meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat;

  2. fungsi distribusi pembangunan dan

  3. fungsi stabilisasi yaitu pertahanan dan keamanan serta ekonomi dan moneter.


Pemberlakuan Undang–undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang–undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka  pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah atas pengalokasian dana tidak hanya berfokus pada pemerintah propinsi dan pemerintah pusat (vertical accountability), akan tetapi lebih baik dititikberatkan pada prioritas dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat melalui DPRD (horizontal accountability), yang sekaligus dapat merubah dominasi kekuasaan pemerintah di daerah dari eksekutif kepada legislatif. Selanjutnya pemberlakuan kedua Undang–undang tersebut, maka kesempatan bagi daerah untuk merubah proses pengelolaan  dan pengalokasian keuangan daerah dari paradigma lama (Undang–undang Nomor 5 tahun 1974) yang bersifat anggaran tradsional (traditional budget), ke paradigma baru yakni anggaran yang berdasarkan kinerja (performance budget), yakni suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang  ditetapkan.


Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka permasalahan yang ingin diketahui adalah seberapa besar pengalokasian anggaran belanja untuk kepentingan pelayanan publik dan pelayanan aparat/penyelenggara pemerintah daerah pada daerah Kabupaten Donggala.


1.2  Keaslian Penelitian


Penelitian ini telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya baik di dalam maupun di luar negeri. Penelitian ini juga menggunakan metoda yang sama, hanya dibedakan oleh tempat dan tahun penelitian.


Tridimas and Pitarakis (1999) melakukan penelitian dengan menggunakan variabel pengeluaran konsumsi pemerintahan umum di United Kingdom (UK) selama peride tahun 1963-1993. Ada lima pengamatan untuk pengeluaran total selama periode tersebut, yaitu: pertahanan, kesehatan, pengeluaran pemerintah pusat lainnya (administrasi, hukum dan tata tertib), pendidikan dan pengeluaran pemerintah yang meliputi pengeluaran untuk fasilitas lokal dan pengeluaran lainnya. Dalam penelitian tersebut standar permintaan konsumen yang berbeda-beda sangat kurang diberitakan dalam tatanan ini, karena keputusan mengenai alokasi pengeluaran publik dilakukan oleh pemerintah dan dalam pembuatan keputusan fiskal di United Kingdom terkonsentrasi pada kekuasaan pemerintah pusat, sedangkan kekuasaan pemerintah lokal hanya terbatas dalam meningkatkan pendapatan dan pembelanjaannya alat analisis yang digunakan adalah dengan menerapkan uji rasio tipe Hausman dan model kemungkinan.


Mardiasmo (2000) mengemukakan bahwa dengan adanya desentralisasi fiskal akan berimplikasi pada APBD yaitu pos penerimaan dengan konsekuensinya menggelembungnya jumlah penerimaan daerah. Perubahan jumlah penerimaan tersebut harus diikuti dengan pengeluaran keuangan daerah yang efisien dan efektif yang disertai dengan peningkatan sumber daya manusia. Persoalan otonomi daerah tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan asli daerah saja tetapi lebih berfokus pada pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menentukan penggunaan dana-dana perimbangan tersebut.


Mardiasmo (2001) melakukan studi kasus di enam kota/kabupaten dengan periode amatan 1991/1992 sampai dengan 1995/1996 yang meneliti budgetary slack dan  pendekatan anggaran serta waktu pemberian bantuan menyimpulkan dua hal, pertama, ketergantungan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah propinsi dan pusat mendorong terjadinya kesenjangan anggaran, kedua, pendekatan bottom up cenderung menjadi sebuah formalitas belaka karena pemerintah kabupaten/kota dianggap tidak memiliki perencanaan strategik dan prioritas yang jelas.


1.3  Tujuan Penelitian


    Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.




  1. Untuk mengetahui tingkat perkembangan belanja rutin dan belanja pembangunan di Kabupaten Donggala.

  2. Untuk menghitung besarnya alokasi anggaran Kabupaten Donggala untuk pelayanan publik dan pelayanan aparat/penyelengara.


1.4  Manfaat Penelitian


Pada penelitian ini, diharapkan akan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut .




  1. Menambah khasanah pengetahuan dan memperkaya kajian ilmu keuangan daerah bagi Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Donggala dalam hal pengambilan keputusan mengenai pengeluaran daerah.

  2. Memberikan bahan masukan untuk memperbaiki dalam  pengelolaan keuangan daerah terutama dari pengalokasian belanjanya.

  3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

0 komentar:

Posting Komentar